Kasus Talangsari, Jama’ah Islamiyah dan Komnas HAM 01
Oleh RIYANTO (Mantan Komandan Pasukan Khusus Warsidi)
Mungkin sebagian orang masih belum bisa meyakini bahwa radikalisme yang disandingkan dengan doktrin agama benar-benar faktual dan menjadi salah satu cara sekelompok orang di dalam mencapai cita-citanya. Misalnya, tentang keberadaan Al-Jama’ah Al-Islamiyah atau biasa disingkat JI. Terhadap keberadaan JI ini, tidak hanya orang awam yang menyangsikan eksistensinya, tetapi juga orang terhormat yang duduk di lembaga legislatif. Bahkan, Menkopolkam saat itu (2002) menyangkal keberadaan JI di Indonesia. Menurut Menkopolkam, organisasi JI keberadaannya hanya di Malaysia dan di Singapura; namun demikian tidak tertutup kemungkinan ada beberapa orang Indonesia yang terlibat di dalam JI.
[Demikian redaksional pembukaan penuh fitnah dari Blog Riyanto, selanjutnya akan kami kritisi satu-persatu untuk membuka tabir sebenarnya] Seolah-olah Komnas HAM dan juga Kontras memang sengaja ingin terus menghidup-hidupkan citra buruk tentang Islam, bahwa Islam selalu dekat dengan radikalisme.
Baca Berita selengkapnya: AM Hendropriono Dalang Pembunuhan Tragedi Munir, Talangsari, Lampung
Fakta keberadaan JI sebenarnya sudah mulai terkuak sejak sebelum 2002, setidaknya melalui tulisan Djohan Effendi pada harian Kompas edisi 7 November 2002. Melalui tulisannya berjudul Jamaah Islamiyah dan Abdullah Sungkar, Djohan Efendi mengatakan bahwa Abdullah Sungkar dengan tegas pernah menyatakan keberadaan Jamaah Islamiyah, melalui sebuah wawancara dengan majalah Nidaul Islam edisi 17 yang terbit sektar Februari-Maret 1997.
Pada kesempatan itu, Abdullah Sungkar menceritakan tentang keberadaan gerakan Jamaah Islamiyah sebagai organisasi yang bercita-cita membangun Daulah Islamiyah (Pemerintahan Islam), dan JI memiliki perbedaan yang jelas dibandingkan dengan organisasi-organisasi Islam lainnya. Menurut Abdullah Sungkar, bila parpol dan ormas Islam yang ada di Indonesia memilih jalan kooperatif dengan pemerintah, maka JI bersikap nonkooperatif.
Kami kritisi, ini tentu tudingan sepihak dan fitnah dari Riyanto.
Menurut Abdullah Sungkar, bila parpol dan ormas Islam yang ada di Indonesia memilih jalan kooperatif dengan pemerintah, maka JI bersikap nonkooperatif. Tentu ini sebagai fitnah dari Riyanto
Menurut Abdullah Sungkar, JI bukanlah gerakan yang sama sekali baru, karena embrio JI adalah gerakan DI/TII yang telah memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) pada tanggal 7 Agustus 1949. NII diproklamasikan selain untuk menentang pemerintahan kafir Belanda juga untuk menentang rezim sekuler Republik Indonesia. Menurut klaim Abdullah Sungkar, JI merupakan gerakan yang berusaha mengembalikan kesadaran akan kewajiban membangun Daulah Islamiyah melalui jalan jihad, sebagai kelanjutkan gerakan DI/TII. Upaya itu ditempuh dengan membangun tiga kekuatan, yaitu kekuatan aqidah, kekuatan persaudaraan dan kekuatan milisi. JI juga menerapkan strategi yang sama dengan DI/TII dalam mencapai cita-citanya, yaitu Iman, Hijrah dan Jihad.
Kian hari, fakta keberadaan JI kian terkuak lebih meyakinkan, antara lain melalui pengakuan mantan anggota JI sendiri. Pada bulan Juli 2005, munafikin Nasir Abas meluncurkan buku berjudul Membongkar Jamaah Islamiyah; Pengakuan Mantan Anggota JI yang diterbitkan oleh Penerbit Grafindo Khazanah Ilmu, Jakarta. Nasir Abas adalah mantan petinggi JI dengan jabatan terakhir sebagai Amir Mantiqi III (meliputi Sabah, Serawak, Brunei, Kalimantan, Sulawesi, dan Filipina Selatan).
Melalui pengakuan Nasir Abas, fakta tentang keberadaan JI seharusnya tak lagi bisa dibantah. Tidak hanya itu, pengakuan itu menunjukkan fakta lain kepada masyarakat luas bahwa radikalisme yang disandingkan dengan doktrin agama bukanlah tuduhan tanpa bukti. Dan fakta lain yang juga turut terungkap melalui pengakuan Nasir Abas, adalah bahwa cita-cita mendirikan negara Islam sebagaimana dipromotori oleh Kartosoewirjo tetap hidup di dalam benak sebagian orang.
Yang juga turut terungkap melalui pengakuan Nasir Abas adalah kekeliruan memahami dan memaknai jihad khususnya sebagaimana dipaparkan oleh Imam Samudera yang sebelumnya telah lebih dulu meluncurkan sebuah buku berjudul Aku Melawan Teroris yang diterbitkan oleh Jazeera, Solo, Jawa Tengah, pada September 2004.
Padahal sejatinya Nasir Abas terkena racun deradikalisasi alias terbuai materi.
Melalui bukunya, Nasir Abas antara lain menceritakan bahwa ia di tahun 1985 awal, berkenalan dengan sejumlah orang Indonesia, antara lain ustdaz Abdul Halim dan ustadz Abdus Somad. Barulah setelah tiga belas tahun berselang, yaitu di tahun 1998, Nasir Abas mengetahui nama sesungguhnya kedua ustadz tadi. Ustadz Abdul Halim tak lain adalah nama alias dari Abdullah Sungkar. Sedangkan ustadz Abdus Somad adalah nama alias dari Abu Bakar Ba’asyir. Keduanya merupakan tokoh Darul Islam (DI) atau NII yang hengkang ke Malaysia pada tahun 1985.
Di tahun 1993, menurut pengakuan Nasir Abas, Abdullah Sungkar memisahkan diri dari NII faksi Ajengan Masduki. Maka sejak saat itulah (Januari 1993) Abdullah Sungkar menjadi imam Al-Jamaah Al-Islamiyah. Di tahun 1999, Abdullah Sungkar meninggal dunia di Bogor. Maka, pimpinan JI berada di tangan Abu Bakar Ba’asyir yang selama ini menjadi orang kedua. Salah satu kewenangan amir JI adalah melantik Ketua Mantiqi sebagaimana diatur dalam PUPJI (Pedoman Umum Perjuangan Al-Jamaah Al-Islamiyah). Nasir Abas dilantik oleh Abu Bakar Ba’asyir pada April 2001 sebagai Ketua Mantiqi III menggantikan Mustapha alias Abu Tolut alias Hafid Ibrahim alias Pranata Yuda. Dari sini, sudah bisa disimpulkan bahwa Abu Bakar Ba’asyir saat itu sudah menduduki kursi imam JI pasca meninggalnya Abdullah Sungkar.
Abu Bakar Ba’asyir sendiri pada awalnya tidak menutup-nutupi keterlibatannya di dalam JI. Terbukti, pada majalah Sabili No. 6 Th. VIII bertanggal 6 September 2000, yang sudah beredar menjelang atau bersamaan waktunya dengan pelaksanaan Kongres Mujahidin pertama. Secara khusus di halaman 45 tertera Biodata Abu Bakar Ba’asyir, yang pada kolom organisasi tertulis beberapa hal seperti:
- Salah seorang pendiri Pondok Pesantren Ngruki (Solo)
- PII (1959-1963)
- GPII anak cabang Mojoagung (1960)
- LDMI (1965)
- Jama’ah Islamiyah
Ketika itu Abu Bakar Ba’sayir memang belum resmi menjadi Amir Mujahidin (MMI). Sampai akhirnya hasil Kongres Mujahidin pertama mengukuhkannya sebagai Amir Mujahidin.
Barulah ketika Amerika Serikat mencanangkan war againts terorism pasca tragedi WTC 11 September 2001, dan nama Abu Bakar Ba’asyir disebut-sebut sebagai imam spiritual JI, dan JI diduga kuat mendalangi serangkaian kasus bom di Indonesia, maka Ba’asyir pun mulai menyangkal keterlibatannya di dalam JI.
Bahkan proses hukum tidak dapat membuktikan bahwa Abu Bakar Ba’asyir adalah imam JI.
Artinya Di pengadilan semua sudah batal di sisi hukum dan fitnah tidak lagi bisa dikenakan pada Ustadz Abu Bakar Baasyir.
Bahkan proses hukum tidak dapat membuktikan bahwa Abu Bakar Ba’asyir adalah imam JI.
Bukan hanya Nasir Abas yang menguak keberadaan JI tetapi juga Farihin, yang mengaku sebagai mantan aktivis JI dan pernah merakit bom di Cilacap, Jawa Tengah, namun belum sempat digunakan. Kemunculan Farihin sebagai mantan aktivis JI dapat dilihat melalui TVONE edisi 21 Juli 2009 pada acara Apakabar Indonesia yang tayang sekitar jam 21.00 wib.
Sebelumnya, salah satu petinggi JI asal Kudus yaitu Abu Rusydan ini juga sudah mulai membuka diri. Antara lain bisa dilihat pada majalah Risalah Mujahidin edisi 24 (Dzulhijjah 1429H/Nov-Des 2008). Dalam buku Nasir Abas Membongkar Jamaah Islamiyah; Pengakuan Mantan Anggota JI sosok Abu Rusydan mempunyai berbagai nama alias seperti Hamzah dan Ustadz Thoriqudin.
Jauh sebelum itu, menurut pemberitaan Kompas edisi Selasa 13 Januari 2004, Thoriquddin alias Abu Rusydan alias Hamzah mengakui bahwa di dalam pertemuan Megamendung (Puncak, Jawa Barat) yang dilaksanakan sekitar April-Mei 2002 disepakati bahwa ia menjadi pelaksana harian tugas Amir JI, menggantikan Abu Bakar Ba’asyir yang kala itu sibuk bergiat di Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).
Pasca kasus peledakan di Hotel JW Mariott dan Hotel Ritz Carlton 17 Juli 2009 lalu, Abu Rusydan jadi lebih sering tampil di depan publik, antara lain di TVONE dan di detikcom edisi Kamis 30 Juli 2009. Di detikcom ia ditanya soal pengkaderan yang dilakukan Noordin M. Top. Detikcom menyebut Abu Rusydan sebagai mantan petinggi Jamaah Islamiyah (JI).
Di majalah Sabili No. 2 Th. XVII yang sudah beredar di Jakarta sejak 31 Juli 2009, khususnya di halaman 16-21 Abu Rusydan ditampilkan dalam sebuah wawancara khusus. Dengan jelas Sabili menuliskan identitas Abu Rusydan sebagai Tokoh Jamaah Islamiyah. Salah satu materi pertanyaan Sabili kepada Abu Rusydan adalah “Jadi apa jabatan Anda sekarang?” Pertanyaan itu dijawab dengan untaian kalimat yang menegaskan bahwa JI itu faktual dan Abu Rusydan masih tokoh JI: “Yang penting bagi saya, konsumsi media beda dengan konsumsi kepolisian. Kalau Polisi sudah tahu. Tapi, yang jelas saya bukan mantan. Karena JI itu bukan sesuatu yang buruk sehingga harus saya tinggalkan.”
Sabili juga menanyakan keada Abu Rusydan hubungan JI dengan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) pimpinan Abu Bakar Baasyir yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Amir Majelis Mujahidin. Menurut Abu Rusydan, pemikiran dasar JI dan JAT tidak ada perbedaan, sama-sama mengambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. “Adapun ekspresi dan aksi itu adalah ruang-ruang pilihan. Itu berdasarkan pengalaman. Kalau sudah masuk gerakan itu soal kepercayaan.” Demikian penjelasan Abu Rusydan kepada Sabili.
Berdasarkan data-data di atas, jelaslah bahwa keberadaan JI adalah nyata, bukan sebuah wacana belaka. Sebagai organisasi bawah tanah atau tandzim sirri, tentunya JI tidak punya alamat lengkap dengan nomor RT dan RW segala. Hanya orang bodoh yang meminta pembuktian keberadaan JI melalui kelengkapan domisili sebagaimana layaknya sebuah organisasi berbadan hukum.
Hubungan Talangsari dengan JI
Lalu, apa hubungan antara kasus Talangsari (Lampung) dengan JI (Jamaah Islamiyah)? Keduanya punya titik persinggungan dengan sosok bernama Abdullah Sungkar.
Sebagaimana disebutkan di atas, Abdullah Sungkar adalah tokoh NII yang hengkang ke Malaysia sejak 1985. Kemudian di tahun 1993 ia memisahkan diri dari NII dan membentuk Jama’ah Islamiyah (JI).
Kasus Talangsari terjadi pada Februari 1989, ketika Abdullah Sungkar masih berada di Malaysia. Ini dapat diartikan, meski secara fisik Abdullah Sungkar berada di Malaysia, namun komunikasi dan pembinaan terus berlanjut hingga ke Talangsari sekalipun.
Semasa masih berada di Indonesia, saat masih menjadi kader NII, Abdullah Sungkar aktif membina gerakan keagamaan yang dinamakan Usroh.
Sejumlah pelaku kasus Talangsari merupakan bagian dari gerakan Usroh Abdullah Sungkar ini. Misalnya, Sukardi, yang bergabung ke dalam gerakan Usroh Abdullah Sungkar pada tahun 1984. Selain menjadi aktivis gerakan Usroh Abdullah Sungkar, Sukardi juga anggota tim pencari dana Fa’i pimpinan Nur Hidayat bin Abdul Mutholib.
Nur Hidayat sendiri merupakan salah satu anggota gerakan Usroh Abdullah Sungkar Jakarta Selatan, yang mengenal gerakan Usroh Abdullah Sungkar pada tahun 1984 dari Ibnu Toyib alias Abu Fatih. Sosok Ibnu Toyib alias Abu Fatih kemudian hari dikenal sebagai salah satu petinggi JI, yang pernah menjabat sebagai Ketua Mantiqi II.
MUSHONIF
Nama-nama lain yang juga terkait kasus Talangsari yang juga menjadi anggota gerakan Usroh pimpinan Abdullah Sungkar adalah Mushonif, Abadi Abdillah, Margotugino, Suryadi, Alex alias Muhammad Ali, Arifin bin Karyan (mantan aktivis gerakan Usroh Abdullah Sungkar Jakarta Ring Condet).
Mushonif yang divonis 20 tahun penjara dalam kasus Talangsari, sebenarnya tidak terlibat dalam peristiwa itu.
Mushonif yang divonis 20 tahun penjara dalam kasus Talangsari, sebenarnya tidak terlibat dalam peristiwa itu. Ia adalah alumnus Pondok Pesantren al-Mukmin Ngruki (1983-1986) yang diutus untuk mengajar di Pondok Pesantren Al-Islam di Way Jepara, Kabupaten Lampung Tengah.
Kala itu ia bersama Abadi Abdullah ditugaskan pimpinan ponpes Ngruki untuk mengajar di ponpes Al-Islam, Way Jepara, Lampung. Selama di Way Jepara, Mushonif aktif mengikuti pengajian yang diselenggarakan Warsidi. Karena, ia merasa satu pemahaman dengan Warsidi. Ketika ditangkap aparat, dengan jujur dan terus terang Mushonif mengakui dirinya anggota jamaah Warsidi, namun tidak terlibat aksi kekerasan.
WAHIDIN AR, Ia Hilang Ditelan Bumi
Nama lain yang ikut membidani kasus Talangsari adalah Wahidin AR Singaraja alias Zainal, mantan aktivis gerakan Usroh Abdullah Sungkar Ring Condet (sejak 1984) yang terakhir bekerja sebagai Satpam Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta Utara. Ketika Nur Hidayat dalam masa pelarian, Wahidin menjadi semacam tempat singgah. Nur Hidayat sesekali mengikuti pengajian yang dikelola Wahidin. Ketika kasus Talangsari meledak, Wahidin hilang bagai ditelan bumi. Ia sama sekali tidak pernah mengikuti proses hukum sebagaimana Nur Hidayat dan sebagainya, karena buron hingga kini.
Wahidin hilang bagai ditelan bumi. Ia sama sekali tidak pernah mengikuti proses hukum sebagaimana Nur Hidayat dan sebagainya, karena buron hingga kini.
Wahidin AR Singaraja alias Zainal kelahiran Dusun Betung, Kecamatan Cempaka, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Palembang, merupakan anggota tertua dari empat sekawan yang disebut-sebut sebagai aktivis dari Jakarta.
Wahidin lahir pada tanggal 24 Agustus 1948. Meski sempat merencanakan gerakan makar di Talangsari bersama-sama dengan Nur Hidayat, Sudarsono dan Fauzi Isman, dan ikut menjalin kesepakatan dengan anggota tim perunding Warsidi, kasus Talangsari keburu meledak (7-8 Februari 1989), sebelum ia sempat menginjakkan kakinya untuk hijrah dan menetap di dukuh Cihideung.
Nama lain yang layak dikutip di sini adalah Abdul Haris alias Haris Amir Falah. Ia sempat menjadi bagian gerakan Usroh Abdullah Sungkar sejak 1984, dan pada tahun 1987 pernah menjadi bagian dari kelompok Nur Hidayat yang di kemudian hari merancang gerakan makar di Talangsari.
Ketika itu Nur Hidayat mengawali persiapan perangnya dengan membentuk empat shaf yang dipimpin oleh empat orang.
Pertama, shaf Ali dipimpin oleh Nur Hidayat (mengurusi masalah kemiliteran).
Kedua, shaf Usman dipimpin oleh Sudarsono (mengurusi masalah pendanaan)
Ketiga, shaf Abu Bakar dipimpin oleh Haris Amir Falah (mengurusi masalah dakwah).
Keempat, shaf Umar dipimpin oleh Arifin Agule (mengurusi masalah perhubungan).
Belakangan, Haris mengundurkan diri, sehingga ia tidak terlibat kasus Talangsari. Nama Haris Amir Falah kembali mencuat ketika ia ikut mendirikan MMI (Majelis Mujahidin Indonesia). Bahkan terakhir kali, Haris menjabat sebagai Ketua MMI Wilayah DKI Jakarta. Ketika Abu Bakar Ba’asyir mundur dari MMI dan mendirikan Jama’ah Ansharut Tauhid, Haris Amir Falah merupakan salah satu pendirinya. Bersama-sama dengan Abu Bakar Baasyir dan Fauzan Al-Anshari, Haris Amir Falah hengkang dari MMI.
Berdasarkan kenyataan di atas, sesungguhnya gerakan Usroh Abdullah Sungkar yang mengalir ke Lampung, menghasilkan gerakan Warsidi (1989). Sebelumnya, ia mengalir ke Tanjung Priok (kasus Tanjung Priok 1984).
Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menafikan keberadaan gerakan perlawanan disandingkan dengan doktrin agama, tidak ada alasan menafikan keberadaan JI, juga keberadaan jamaah NII yang tidak sekedar bercita-cita mendirikan negara ideologisnya tetapi mengupayakan cita-citanya itu melalui sebuah upaya sistematis dan terencana yang berdarah-darah sekalipun.
Kalau saja radikalisme Talangsari versi Warsidi tidak segera ditumbangkan saat itu juga, mungkin di tempat itu akan menjelma menjadi sebuah basis pemberontakan yang jauh lebih dahsyat. Pada masa itu (1989) radikalisme berupa pemberontakan bersenjata dilakukan dengan panah beracun, golok, clurit atau bendorit (perpaduan antara bendo alias golok dengan clurit). Kini, radikalisme itu sudah menjadi sesuatu yang sangat mengerikan, termasuk bom bunuh diri sebagaimana terjadi akhir-akhir ini di JW Marriott dan Ritz Carlton pada 17 Juli 2009. Benarkah?
Counter Issue! Komnas HAM Menstigma Islam?
Sejak kasus pengajian Talangsari Warsidi dibungkam, praktis sekitar satu dasawarsa kemudian tidak pernah muncul ke permukaan.
Artinya, penumpasan gerakan radikal Talangsari yang dimotori oleh anak asuh Abdullah Sungkar –atau mereka yang pernah menjadi anggota gerakan Usroh Abdullah Sungkar– ternyata cukup efektif mengamankan wilayah Indonesia dari aksi serupa setidaknya untuk masa sekitar satu dasawarsa ke depan.
Faktanya, Komnas HAM & Kontras Terus Melestarikan Citra Buruk Kepada Islam
Menjaga keutuhan NKRI lebih penting dibandingkan dengan segalanya, termasuk adanya kemungkinan kesalahan teknis di dalam penanganan gerakan radikal dalam bentuk apapun juga. Hal inilah yang seharusnya dipahami oleh para pegiat HAM. Jangan hanya mencari-cari kesalahan teknis dari upaya konstruktif mengamankan wilayah Indonesia dari ancaman perbuatan radikal, dengan alasan HAM.
Kami para pelaku kasus Talangsari sendiri sudah berusaha sedemikian jujur dan terus terang mengakui, bahwa peristiwa itu memang sebuah gerakan radikal, sebuah peperangan yang direncanakan, sebuah perlawanan terhadap negara kesatuan RI yang sah yang didasarkan pada doktrin keagamaan tertentu yang waktu itu kami yakini kebenarannya. Kini, itu semua sudah kami posisikan sebagai lembaran masa lalu yang tak layak diungkit karena begitu menakutkan dan menyakitkan.
Para pelaku Talangsari sudah sepenuhnya menyadari bahwa kasus Talangsari tak perlu diungkit meski dengan alasan HAM sekalipun. Apalagi pengungkapan kembali kasus itu memanfaatkan orang-orang yang tidak layak dijadikan narasumber. Komnas HAM dan juga Kontras sebaiknya arif bijaksana menyikapi hal ini. Tidak ada seorang pun yang mau masa lalunya diungkap. Apalagi masa lalu yang penuh kegetiran.
Komnas HAM dan juga Kontras sebaiknya arif bijaksana menyikapi hal ini. Tidak ada seorang pun yang mau masa lalunya diungkap. Apalagi masa lalu yang penuh kegetiran.
Seolah-olah Komnas HAM –dan juga Kontras– memang sengaja ingin terus menghidup-hidupkan citra buruk tentang Islam, bahwa Islam selalu dekat dengan radikalisme.
Seolah-olah Komnas HAM –dan juga Kontras– memang sengaja ingin terus menghidup-hidupkan citra buruk tentang Islam, bahwa Islam selalu dekat dengan radikalisme.
Seolah-olah Komnas HAM –dan juga Kontras– selalu ingin menjaga ingatan masyarakat tentang radikalisme yang kami lakukan atas nama agama di masa lalu tetap hidup hingga kini.
Bila Komnas HAM –dan juga Kontras– bersikap demikian, maka jangan heran bila ada sebagian dari umat Islam yang merasa terusik dengan sikap Komnas HAM dan Kontras. Bahkan, jangan heran bila ada sebagian umat Islam yang justru memposisikan Komnas HAM –dan juga Kontras– sebagai lembaga yang mengidap Islamophobia, karena dianggap suka menghidup-hidupkan kasus masa lalu kami tentunya dalam rangka memberi stigma negatif terhadap Islam dan umat Islam secara keseluruhan.
Bahkan, jangan heran bila ada sebagian umat Islam yang justru memposisikan Komnas HAM –dan juga Kontras– sebagai lembaga yang mengidap Islamophobia, karena dianggap suka menghidup-hidupkan kasus masa lalu
Sebagai pelaku, kami menyadari bahwa apa yang kami lakukan saat itu telah melukai umat Islam pada umumnya. Kami hanyalah sebagian kecil saja dari umat Islam Indonesia yang banyak (ratusan juta orang).
Namun karena ulah yang segelintir ini umat Islam pada umumnya menjadi ikut ternoda. Apakah noda (stigma) ini yang sedang dihidup-hdupkan oleh Komnas HAM?
Namun, Komnas HAM Membela Pelaku Makar?
Letnan Jenderal TNI (purnawirawan) Saiful Sulun mantan Pangdam Brawijaya dan mantan Wakil Ketua DPR RI yang juga menjabat sebagai Koordinator Forum Komunikasi Punawirawan TNI/Polri pernah mengatakan, kepentingan politis di balik upaya pengusutan kembali kasus Talangsari oleh Komnas HAM lebih kental dibanding keinginan menyelesaikan kasus tersebut. (Rakyat Merdeka, 6 Maret 2008).
Tidak hanya Saiful Sulun, salah seorang pelaku kasus Talangsari, Fadillah, yang juga pernah menjadi bagian dari gerakan Usroh Abdullah Sungkar pernah mengatakan, “…kami merasa direndahkan, jika kasus Talangsari disebut sebagai pelanggaran HAM.” Pernyataan itu disampaikan Fadillah saat diwawancarai harian Rakyat Merdeka 16 Juli 2007.
Ketika itu Fadillah beralasan, “Kami ini pejuang. Kasus Talangsari itu bukan pelanggaran HAM, tapi perang antara aparat pemerintah dengan kami sebagai mujahidin yang ingin mendirikan hukum Islam dengan cara apapun dan risiko apapun. Saat itu, kami berkeyakinan, mati adalah syahid, kalau ditawan adalah ujian. Tidak ada kata-kata pelanggaran. Mana ada aktivis DI yang teriak-teriak minta pengusutan pelanggaran HAM termasuk minta kompensasi, tidak ada karena memang itulah prinsip utamanya kita berjuang.”
Upaya Komnas HAM membentuk tim ad hoc untuk mengungkap kembali kasus Talangsari, menurut Fadillah itu merupakan kebijakan yang tidak perlu. Karena, menurut Fadillah, “…saya dan teman-teman sudah tentram, nggak mau diributkan. Komnas HAM nggak perlu repot-repot memulihkan nama baik saya, karena saya sendiri bisa menyelesaikannya. Saya juga heran, bukankah Komnas HAM sudah menutup kasus ini karena tidak ditemukan ada pelanggaran HAM.
Kenapa sekarang dibuka lagi? Kita nggak mau kasus Talangsari dijadikan komoditas politik. Kalau ini yang terjadi, saya khawatir, Komnas HAM yang merupakan lembaga terhormat akan menjadi kurang berbobot.”
Penilaian Fadillah terhadap Komnas HAM nampaknya memang beralasan, karena dalam prakteknya Komnas HAM telah menjadikan korban dan saksi gadungan sebagai narasumber penyelidikannya. Sebagaimana dikatakan Sudarsono, mantan pelaku kasus Talangsari, saksi-saksi yang dimintai keterangan Komnas HAM itu ngawur dan direkayasa. Sebab, orang-orang yang dimintai keterangan banyak yang tidak pernah terlibat dan (tidak) mengetahui kejadian sebenarnya. Mereka, menurut Sudarsono, adalah anak-anak mantan pejuang Talangsari dan anak-anak petani yang tidak mengerti sejarah perjuangan NII sama sekali.
Upaya Komnas HAM kala itu (2007) untuk mengungkap kembali kasus Talangsari dinilai Fadilah dan Sudarsono sebagai langkah yang mengherankan, mengingat di tahun 2000, BN Marbun SH yang kala itu dalam kapasitasnya sebagai Wakil Ketua Sub Komisi Pemantauan Komnas HAM pernah melayangkan sepucuk surat kepada Fauzi Isman. Surat bertanggal 26 April 2000 itu justru meminta agar Fauzi kembali berkoordinasi dengan teman-temannya yang pernah sama-sama menempuh jalur islah untuk kasus Talangsari.
Surat BN Marbun kepada Fauzi Isman selaku aktivis Koramil (Korban Kekerasan Militer) yang saat itu beralamat di jalan Cipinang Cempedak IV No. 5 Jakarta, merupakan balasan atas pengaduan Fauzi Isman pada 20 Maret 2000 tentang kasus Talangsari. Pengaduan Fauzi Isman itu kemudian mendapat perlawanan dari Sudarsono yang bersama-sama Fauzi pernah mencanangkan Gerakan Islah Nasional.
Ketika sebagian pelaku kasus Talangsari masih mendekam di Nusakambangan, Fauzi Isman telah lebih dulu menggulirkan dan menggerakkan konsep islah. Bahkan dari ishlah yang digulirkannya itu, Fauzi banyak memperoleh keuntungan materi. Setelah cukup banyak menggerogoti Hendropriyono, dorongan sifat tamaknya mulai menonjol. Maka, ia berbalik arah melawan konsep islah yang pernah ia gulirkan sendiri bersama Sudarsono dan Nur Hidayat.
Koramil berdiri tahun 1998, dengan Nur Hidayat sebagai koordinatornya, sebelum akhirnya Koramil dikomandoi Fauzi. Salah satu kegiatan Koramil adalah menemui Komnas HAM untuk mengungkap kasus Talangsari.
Mereka inilah yang mendorong-dorong Komnas HAM mengusut kasus Talangsari. Padahal sebelumnya mereka juga yang menggulirkan konsep ishlah ketika pelaku kasus Talangsari masih mendekam di Nusakambangan. Bila Komnas HAM dan juga Kontras mau mengusut kasus Talangsari berdasarkan pengaduan para petualang politik yang mengatasnamakan agama, betapa tidak profesionalnya Komnas HAM, betapa tidak profesionalnya Kontras. Betapa tidak berbobotnya Komnas HAM, betapa tidak berbobotnya Kontras.
Sebab, Komnas HAM dan Kontras didorong-dorong mengungkap kasus Talangsari, yang dimotori oleh oknum tadi sebagai penyebabnya. Kemudian ketika aparat menghabisi gerakan radikal Talangsari, oknum tadi tidak ikut berdarah-darah di Talangsari, tetapi tetap berada d Jakarta. Ketika pelaku Talangsari masih mendekam di Nusakambangan, oknum tadi justru merangkai gerakan islah. Ketika sifat tamaknya tidak dapat tersalurkan dengan baik, maka mereka pun kembali meminta kasus Talangsari diungkap. Betapa bodohnya Komnas HAM dan Kontras mau mengikuti oknum berjiwa labil yang hanya menuruti hawa nafsunya sendiri, namun mengatasnamakan agama tertentu.
Kasus Talangsari adalah serpihan gerakan Darul Islam (DI/TII). Kalau kasus Talangsari (1989) yang tergolong makar dapat diungkap kembali atas nama HAM, maka pemberantasan gerakan DI/TII di masa lampau (1960-an) pun dapat diungkap kembali atas nama HAM. Begitu juga dengan kasus makar lainnya, dapat diungkap lagi atas nama HAM. Apakah ini yang diinginkan Komnas HAM? Padahal, makar adalah gerakan melawan negara.
Sebagai lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara, Komnas HAM seharusnya berpihak kepada kepentingan negara, bukan kepada sekelompok orang yang jelas-jelas menurut pengakuannya sendiri telah bermaksud melawan negara.
BACA KONTRA TULISAN RIYANTO INI
Melawan Lupa (1): Kasus Talangsari, Jama'ah Islamiyah dan Komnas HAM 01
Melawan Lupa (2): Beberapa Nama, Saksi Palsu dan Islah Talangsari
Melawan Lupa (3): 'Licence To Kill' Muslim Talangsari Lampung 1989
Melawan Lupa (4): 'License To Kill' ABRI Merah & LB Moerdani Cs
Melawan Lupa (5): Peran 'Jenderal Jagal' LB Moerdani Pada Kerusuhan 1998
AM Hendropriono Dalang Pembunuhan Tragedi Munir, Talangsari, Lampung
Riyanto 'Talangsari': Komnas HAM & Kontras Lestarikan Citra Buruk Pada Islam
Susilo Bambang Yudhoyono Adalah Penerus LB Moerdani
Jangan remehkan lawan anda karena lawan akan mudah menyerang anda kembali. Begitulah bunyi kata bijak tentang perlunya mawas diri dan mengetahui lawan anda.
Ingat, SBY itu intelijen militer yang berperan dalam membangun musuh bersama rakyat dalam melengserkan Suharto.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/intelligent/2013/12/16/28150/the-godfather-16-sby-penerus-lb-moerdani-sumber-masalah-indonesia/#sthash.AfVrt7Uh.dpuf
Innalillah, Jenderal-Jenderal Dalang Kerusuhan Mei 1998 Mendukung Jokowi