JAKARTA (voa-islam.com)—Huzaemah Tahido Yanggo, Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat berpendapat bahwa tidak semua orang atau kelompok bisa menyusun fikih. Penyusunan fikih adalah domain ulama.
Pernyataan Huzaemah ini menanggapi rencana komunitas waria di Yogyakarta yang ingin menyusun fikih wariah.
“Fikih itu disusun oleh ulama-ulama. Mereka (waria) itu memang siapa? ” kata Huzaemah saat ditemui Voa-Islam pada acara Rapat Koordinasi Komisi Fatwa se-Indonesia di Hotel Mercure Ancol, Jakarta Utara baru-baru ini.
Menurut Huzaemah, fikih itu merupakan hasil ijtihad al-Qur`an dan Hadits.
“Tapi apa yang mau diambil (dari al-Qur`an dan Hadits), kan sudah jelas waria itu haram dalam Islam. Dalam Hadits disebutkan Allah mengutuk laki-laki menyerupai perempuan dan perempuan menyerupai laki-laki,” ungkap Huzaemah yang juga ahli fikih ini.
“Bisa saja dibuat fikih waria, tapi di dalam fikih itu dijelaskan perbuatan mereka itu benar atau tidak menurut hukum Islam. Isinya kedudukan waria dalam Islam."
Seperti diketahui, fikih waria yang rencannaya disusun kelompok waria di Yogyakarta mengatur tentang tata cara ibadah mulai dari shalat hingga pengurusan jenazah bagi seorang waria.
Huzaemah melanjutkan, boleh saja fikih waria disusun, hanya dalam fikih tersebut dijelaskan kedudukan waria dalam Islam.
“Bisa saja dibuat fikih waria, tapi di dalam fikih itu dijelaskan perbuatan mereka itu benar atau tidak menurut hukum Islam. Isinya kedudukan waria dalam Islam,” jelas Huzaemah.
Menurut Huzaemah, memang ada seseorang yang berkelamin ganda secara alami. Dan itu bisa diputuskan statusnya berdasarkan fatwa ulama, apakah dia terkategori laki-laki atau perempuan.
“Kalau dia (diputuskan) laki-laki, tetap pakai pakaian laki-laki. Kalau dia perempuan pakai pakaian perempuan,” ujar Huzaemah.* [Syaf/voa-islam.com]