Oleh:
Mukhlish AK, pemerhati budaya lokal
Tulisan sebelumnya: Ritual Adat Batui dalam Timbangan Aqidah Islam (Bagian Tiga)
DALAM pelaksanaan ritual Mosawe ini terdapat beberapa hal yang dalam hemat penulis bermasalah, antara lain :
a. Adanya doa agar dapat berdialog dengan leluhur saat hendak melaksanakan dzikir pada ritual Mosawe.
b. Adanya kesurupan massal yang diyakini sebagai roh leluhur.
c. Adanya lafadz dzikir yang tidak tepat panjang pendeknya
d. Adanya iringan musik gendang dan gong saat dzikir
e. Adanya dzikir dengan lafadz “ Ya Hasan Ya Husain”.
Penulis akan menjelaskan terkait lima hal diatas.
a-b. Adanya doa agar dapat berdialog dengan leluhur sehingga ada kesurupan massal
Pertanyaan penting yang layak untuk ditanyakan adalah: Betulkah itu roh leluhur? Bisakah orang yang sudah meninggal rohnya kembali kedunia?
Untuk menjawab masalah ini, biarlah Ayat Al-Quran dan Hadits Nabi Saw. berikut yang menjawabnya:
حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءَ أَحَدَهُمُ ٱلۡمَوۡتُ قَالَ رَبِّ ٱرۡجِعُونِ ٩٩لَعَلِّيٓ أَعۡمَلُ صَٰلِحٗا فِيمَا تَرَكۡتُۚ كَلَّآۚ إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَآئِلُهَاۖ وَمِن وَرَآئِهِم بَرۡزَخٌ إِلَىٰ يَوۡمِ يُبۡعَثُونَ ١٠٠
Hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia). Agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan. (QS. Al-Mu’minun: 99-100).
Walaupun ayat diatas berbicara tentang keadaan orang-orang kafir, namun keinginan untuk kembali ke dunia namun tidak bisa, juga terjadi pada orang-orang beriman. Berkata Syaikh Wahbah Az-Zuhailiy saat menafsiri ayat diatas :
“Dan permintaan untuk kembali kedunia bukan hanya khusus bagi orang kafir. Bahwasannya hal itu juga terjadi pada orang beriman yang sedikit dalam ketaatan serta menunaikan hak-hak Allah ta’ala sebagaimana tersebut dalam ayat :
وَأَنفِقُواْ مِن مَّا رَزَقۡنَٰكُم مِّن قَبۡلِ أَن يَأۡتِيَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوۡلَآ أَخَّرۡتَنِيٓ إِلَىٰٓ أَجَلٖ قَرِيبٖ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ ٱلصَّٰلِحِينَ ١٠
Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh? (QS. Al-Munafiqun: 10)”[1]
Ibnu Katsir juga menggunakan Surat Al-Munafiqun ayat 10 diatas sebagai penjelas dari surat Al-Mu’minun: 99-100.[2] Demikian pula dengan Surat Al-Sajadah: 12 dan ayat-ayat lain.
Berdasarkan ayat-ayat diatas, manusia yang telah meninggal, baik mukmin maupun kafir, tidak dapat kembali ke alam dunia. Walaupun mereka sangat ingin kembali.
Demikian pula hadits Nabi Saw. berikut:
مَا أَحَدٌ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ يُحِبُّ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى الدُّنْيَا وَلَهُ مَا عَلَى الْأَرْضِ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا الشَّهِيدُ يَتَمَنَّى أَنْ يَرْجِعَ إِلَى الدُّنْيَا فَيُقْتَلَ عَشْرَ مَرَّاتٍ لِمَا يَرَى مِنْ الْكَرَامَةِ
“Tidak seorangpun yang masuk surga namun dia suka untuk kembali ke dunia padahal dia hanya mempunyai sedikit harta di bumi, kecuali orang yang mati syahid. Dia berangan-angan untuk kembali ke dunia kemudian berperang lalu terbunuh hingga sepuluh kali karena dia melihat keistimewaan karamah (mati syahid).”
[ HR. Al-Bukhari no. 2817 dan Muslim no. 1877]
أَرْوَاحُهُمْ فِى جَوْفِ طَيْرٍ خُضْرٍ لَهَا قَنَادِيلُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَسْرَحُ مِنَ الْجَنَّةِ حَيْثُ شَاءَتْ ثُمَّ تَأْوِى إِلَى تِلْكَ الْقَنَادِيلِ فَاطَّلَعَ إِلَيْهِمْ رَبُّهُمُ اطِّلاَعَةً فَقَالَ هَلْ تَشْتَهُونَ شَيْئًا قَالُوا أَىَّ شَىْءٍ نَشْتَهِى وَنَحْنُ نَسْرَحُ مِنَ الْجَنَّةِ حَيْثُ شِئْنَا فَفَعَلَ ذَلِكَ بِهِمْ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ فَلَمَّا رَأَوْا أَنَّهُمْ لَنْ يُتْرَكُوا مِنْ أَنْ يُسْأَلُوا قَالُوا يَا رَبِّ نُرِيدُ أَنْ تَرُدَّ أَرْوَاحَنَا فِى أَجْسَادِنَا حَتَّى نُقْتَلَ فِى سَبِيلِكَ مَرَّةً أُخْرَى. فَلَمَّا رَأَى أَنْ لَيْسَ لَهُمْ حَاجَةٌ تُرِكُوا
“Ruh-ruh mereka di dalam perut burung hijau, yang sarangnya bergantungan di Ars. Mereka terbang ke surga dengan sekehendaknya kemudian mereka kembali ke sarangnya. Kemudian Allah melihat dan berfirman: apakah kalian menginginkan sesuatu? Mereka menjawab: apalagi yang kami inginkan, sementara kami bisa terbang ke surga ke manapun yang kami kehendaki. Dan pertanyaan itu terulang tiga kali. Dan ketika mereka akan ditanya kembali merka langsung memohon kepada Allah: Ya Allah kami ingin, roh kami dikembalikan ke jasad kami sehingga kami bisa berjihad kembali di jalan-Mu ya Allah. Ketika diketahui mereka tidak membutuhkan apa-apa mereka ditinggalkan”. (Hr. Muslim:4993)[3]
Informasi dari hadits diatas juga menunjukkan bahwa ruh manusia yang meninggal tidak dapat kembali, walau itu adalah ruh dari seorang mujahid (orang berjihad dijalan Allah Swt.).
Bila bukan ruh leluhur, siapa gerangan yang datang? Hadits berikut memberi laporan bahwa setiap manusia ada jin yang mendampingi. Itulah yang disebut jin Qorin. Jin inilah yang dapat menyerupai orang tertentu.
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : ما منعكم من أحد إلا وقد وكل به قرين من الجن قالوا : وإياك يا رسول الله ؟ قال : وإياك إلا أن الله أعانني عليه فاسلم فلا يامرني إلا يخير
“Rasul SAW bersabda, tidaklah setiap dari kalian semua itu kecuali pasti terdapat qorin (yang menemani) dari bangsa jin. Para sahabat bertanya: juga Engkau Ya Rasul? Rasul menjawab: Iya saya juga, hanya saja Allah telah menolongku atas jin tersebut sehingga ia menyerah, maka ia tidak membisiki sesuatu kecuali dengan kebaikan”. (HR. Muslim:5143).[4]
Sehingga ritual permohonan untuk dapat berdialog dengan leluhur serta peristiwa kesurupan massal tersebut, sesungguhnya bukanlah ruh leluhur, namun itu adalah jin. Dari gerakan orang-orang yang kerasukan juga tampak bahwa hal itu adalah jin. Bentuk kerjasama antara manusia dengan jin seperti itu ditolak oleh Islam.
c. Adanya dzikir dengan panjang pendek yang tidak sesuai.
Sebagaimana dalam penjelasan diatas, bila disimak dengan teliti, terdapat bagian-bagian tertentu pada lafadz dzikir kalimat tauhid yang dibaca dengan panjang pendek yang tidak tepat.Selain itu juga ada penambahan lafadz ‘ya’, yakni Laailahaa iillallaah muhammad ya rasuulullah (لاإلها إإلا الله محمد يا رسول الله). Seharusnya Laailaaha illallaah muhammadur rasuulullaah (لاإله إلا الله محمد رسول الله).
Penulis menduga hal itu tidak disadari oleh para pegiat kegiatan mosawe. Munculnya kesalahan tersebut karena mengikuti nada atau lagi dari dzikir tersebut.
Padahal telah diketahui bersama, bahwa dalam bahasa Arab panjang pendek bacaan sangat penting. Adanya kesalahan pada bacaan panjang pendek dapat mengakibatkan kesalahan arti yang sangat fatal atau tidak memiliki makna, yang hal itu dapat menjadi pintu masuk bagi jin tertentu untuk masuk.
Demikian pula penambahan lafadz ‘ya’ juga mengakibatkan kalimat tauhid menjadi berubah baik lafadz dan maknanya. Bila Laailaaha illallaah muhammadur rasuulullaah bermakna “Tidak ada sesembahan (yang benar) kecuali hanya Allah, Muhammad adalah utusan Allah”, sedangkan Laailaha illallaah muhammad ya rasuulullah bermakna “Tidak ada sesembahan (yang benar) kecuali hanya Allah, Muhammad wahai utusan Allah”. Penambahan kata ya (wahai), walau sedikit, tapi telah menjadikan kalimat tersebut berubah tidak sebagaimana asalnya. Setidaknya telah merubah bentuk kalimat, yakni dari kalimat yang berbentuk pernyataan (ikrar) menjadi kalimat panggilan (nida’).
Bersambung...
Catatan kaki:
[1] Wahbah Az-Zuhailiy, Tafsir Al-Munir, Juz 9, hal. 429.
[2] Imaduddin Abu Fida’ Ismail Ibnu Katsir, Tafsir Alquran Al-‘Adhim, Juz 5 (Kairo: Maktabah al-Shafa, 2004), Hlm.286.
[3] Maktabah Syamilah Nomor 3500.
[4] Maktabah Syamilah Nomor 5034