JAKARTA (voa-islam.com) - Pengakuan Riyanto, salah satu pelaku pembantaian Talangsari lebih dari 25 tahun yang lalu memberikan sebuah petunjuak jelas, bahwa peran KomnasHam dan Kontras bagai agen spindoctor yang memainkan isu pesanan penguasa.
Sejak radikalisme Talangsari ala Warsidi dibungkam, praktis sekitar satu dasawarsa kemudian radikalisme –terutama yang ditandai sebagai ekstrim kanan– tidak pernah muncul ke permukaan.
Artinya, penumpasan gerakan radikal Talangsari yang dimotori oleh anak asuh Abdullah Sungkar –atau mereka yang pernah menjadi anggota gerakan Usroh Abdullah Sungkar– ternyata cukup efektif mengamankan wilayah Indonesia dari aksi serupa setidaknya untuk masa sekitar satu dasawarsa ke depan.
Komnas HAM & Kontras Terus Melestarikan Citra Buruk Kepada Islam
Menjaga keutuhan NKRI lebih penting dibandingkan dengan segalanya, termasuk adanya kemungkinan kesalahan teknis di dalam penanganan gerakan radikal dalam bentuk apapun juga. Hal inilah yang seharusnya dipahami oleh para pegiat HAM. Jangan hanya mencari-cari kesalahan teknis dari upaya konstruktif mengamankan wilayah Indonesia dari ancaman perbuatan radikal, dengan alasan HAM.
Kami para pelaku kasus Talangsari sendiri sudah berusaha sedemikian jujur dan terus terang mengakui, bahwa peristiwa itu memang sebuah gerakan radikal, sebuah peperangan yang direncanakan, sebuah perlawanan terhadap negara kesatuan RI yang sah yang didasarkan pada doktrin keagamaan tertentu yang waktu itu kami yakini kebenarannya. Kini, itu semua sudah kami posisikan sebagai lembaran masa lalu yang tak layak diungkit karena begitu menakutkan dan menyakitkan.
Para pelaku Talangsari sudah sepenuhnya menyadari bahwa radikalisme di Talangsari tak perlu diungkit meski dengan alasan HAM sekalipun. Apalagi pengungkapan kembali kasus itu memanfaatkan orang-orang yang tidak layak dijadikan narasumber. Komnas HAM dan juga Kontras sebaiknya arif bijaksana menyikap hal ini. Tidak ada seorang pun yang mau masa lalunya diungkap. Apalagi masa lalu yang penuh kegetiran.
Seolah-olah Komnas HAM –dan juga Kontras– memang sengaja ingin terus menghidup-hidupkan citra buruk tentang Islam, bahwa Islam selalu dekat dengan radikalisme.
Seolah-olah Komnas HAM –dan juga Kontras– memang sengaja ingin terus menghidup-hidupkan citra buruk tentang Islam, bahwa Islam selalu dekat dengan radikalisme.
Seolah-olah Komnas HAM –dan juga Kontras– selalu ingin menjaga ingatan masyarakat tentang radikalisme yang kami lakukan atas nama agama di masa lalu tetap hidup hingga kini.
Bila Komnas HAM –dan juga Kontras– bersikap demikian, maka jangan heran bila ada sebagian dari umat Islam yang merasa terusik dengan sikap Komnas HAM dan Kontras. Bahkan, jangan heran bila ada sebagian umat Islam yang justru memposisikan Komnas HAM –dan juga Kontras– sebagai lembaga yang mengidap Islamophobia, karena dianggap suka menghidup-hidupkan kasus masa lalu kami tentunya dalam rangka memberi stigma negatif terhadap Islam dan umat Islam secara keseluruhan.
Sebagai pelaku, kami menyadari bahwa apa yang kami lakukan saat itu telah melukai umat Islam pada umumnya. Kami hanyalah sebagian kecil saja dari umat Islam Indonesia yang banyak (ratusan juta orang).
Namun karena ulah yang segelintir ini umat Islam pada umumnya menjadi ikut ternoda. Apakah noda (stigma) ini yang sedang dihidup-hdupkan oleh Komnas HAM?
Komnas HAM Membela Pelaku Makar?
Letnan Jenderal TNI (purnawirawan) Saiful Sulun mantan Pangdam Brawijaya dan mantan Wakil Ketua DPR RI yang juga menjabat sebagai Koordinator Forum Komunikasi Punawirawan TNI/Polri pernah mengatakan, kepentingan politis di balik upaya pengusutan kembali kasus Talangsari oleh Komnas HAM lebih kental dibanding keinginan menyelesaikan kasus tersebut. (Rakyat Merdeka, 6 Maret 2008).
Tidak hanya Saiful Sulun, salah seorang pelaku kasus Talangsari, Fadillah, yang juga pernah menjadi bagian dari gerakan Usroh Abdullah Sungkar pernah mengatakan, “…kami merasa direndahkan, jika kasus Talangsari disebut sebagai pelanggaran HAM.” Pernyataan itu disampaikan Fadillah saat diwawancarai harian Rakyat Merdeka 16 Juli 2007. Ketika itu Fadillah beralasan, “Kami ini pejuang. Kasus Talangsari itu bukan pelanggaran HAM, tapi perang antara aparat pemerintah dengan kami sebagai mujahidin yang ingin mendirikan hukum Islam dengan cara apapun dan risiko apapun. Saat itu, kami berkeyakinan, mati adalah syahid, kalau ditawan adalah ujian. Tidak ada kata-kata pelanggaran. Mana ada aktivis DI yang teriak-teriak minta pengusutan pelanggaran HAM termasuk minta kompensasi, tidak ada karena memang itulah prinsip utamanya kita berjuang.”
Upaya Komnas HAM membentuk tim ad hoc untuk mengungkap kembali kasus Talangsari, menurut Fadillah itu merupakan kebijakan yang tidak perlu. Karena, menurut Fadillah, “…saya dan teman-teman sudah tentram, nggak mau diributkan. Komnas HAM nggak perlu repot-repot memulihkan nama baik saya, karena saya sendiri bisa menyelesaikannya. Saya juga heran, bukankah Komnas HAM sudah menutup kasus ini karena tidak ditemukan ada pelanggaran HAM. Kenapa sekarang dibuka lagi? Kita nggak mau kasus Talangsari dijadikan komoditas politik. Kalau ini yang terjadi, saya khawatir, Komnas HAM yang merupakan lembaga terhormat akan menjadi kurang berbobot.”
Penilaian Fadillah terhadap Komnas HAM nampaknya memang beralasan, karena dalam prakteknya Komnas HAM telah menjadikan korban dan saksi gadungan sebagai narasumber penyelidikannya. Sebagaimana dikatakan Sudarsono, mantan pelaku kasus Talangsari, saksi-saksi yang dimintai keterangan Komnas HAM itu ngawur dan direkayasa. Sebab, orang-orang yang dimintai keterangan banyak yang tidak pernah terlibat dan (tidak) mengetahui kejadian sebenarnya. Mereka, menurut Sudarsono, adalah anak-anak mantan pejuang Talangsari dan anak-anak petani yang tidak mengerti sejarah perjuangan NII sama sekali.
Upaya Komnas HAM kala itu (2007) untuk mengungkap kembali kasus Talangsari dinilai Fadilah dan Sudarsono sebagai langkah yang mengherankan, mengingat di tahun 2000, BN Marbun SH yang kala itu dalam kapasitasnya sebagai Wakil Ketua Sub Komisi Pemantauan Komnas HAM pernah melayangkan sepucuk surat kepada Fauzi Isman. Surat bertanggal 26 April 2000 itu justru meminta agar Fauzi kembali berkoordinasi dengan teman-temannya yang pernah sama-sama menempuh jalur islah untuk kasus Talangsari.
Surat BN Marbun kepada Fauzi Isman selaku aktivis Koramil (Korban Kekerasan Militer) yang saat itu beralamat di jalan Cipinang Cempedak IV No. 5 Jakarta, merupakan balasan atas pengaduan Fauzi Isman pada 20 Maret 2000 tentang kasus Talangsari. Pengaduan Fauzi Isman itu kemudian mendapat perlawanan dari Sudarsono yang bersama-sama Fauzi pernah mencanangkan Gerakan Islah Nasional.
Ketika sebagian pelaku kasus Talangsari masih mendekam di Nusakambangan, Fauzi Isman telah lebih dulu menggulirkan dan menggerakkan konsep islah. Bahkan dari ishlah yang digulirkannya itu, Fauzi banyak memperoleh keuntungan materi. Setelah cukup banyak menggerogoti Hendropriyono, dorongan sifat tamaknya mulai menonjol. Maka, ia berbalik arah melawan konsep islah yang pernah ia gulirkan sendiri bersama Sudarsono dan Nur Hidayat.
Koramil berdiri tahun 1998, dengan Nur Hidayat sebagai koordinatornya, sebelum akhirnya Koramil dikomandoi Fauzi. Salah satu kegiatan Koramil adalah menemui Komnas HAM untuk mengungkap kasus Talangsari. Mereka inilah yang mendorong-dorong Komnas HAM mengusut kasus Talangsari. Padahal sebelumnya mereka juga yang menggulirkan konsep ishlah ketika pelaku kasus Talangsari masih mendekam di Nusakambangan. Bila Komnas HAM dan juga Kontras mau mengusut kasus Talangsari berdasarkan pengaduan para petualang politik yang mengatasnamakan agama, betapa tidak profesionalnya Komnas HAM, betapa tidak profesionalnya Kontras. Betapa tidak berbobotnya Komnas HAM, betapa tidak berbobotnya Kontras.
Sebab, Komnas HAM dan Kontras didorong-dorong mengungkap kasus Talangsari, yang dimotori oleh oknum tadi sebagai penyebabnya. Kemudian ketika aparat menghabisi gerakan radikal Talangsari, oknum tadi tidak ikut berdarah-darah di Talangsari, tetapi tetap berada d Jakarta. Ketika pelaku Talangsari masih mendekam di Nusakambangan, oknum tadi justru merangkai gerakan islah. Ketika sifat tamaknya tidak dapat tersalurkan dengan baik, maka mereka pun kembali meminta kasus Talangsari diungkap. Betapa bodohnya Komnas HAM dan Kontras mau mengikuti oknum berjiwa labil yang hanya menuruti hawa nafsunya sendiri, namun mengatasnamakan agama tertentu.
Kasus Talangsari adalah serpihan gerakan makar Darul Islam (DI/TII). Kalau kasus Talangsari (1989) yang tergolong makar dapat diungkap kembali atas nama HAM, maka pemberantasan gerakan DI/TII di masa lampau (1960-an) pun dapat diungkap kembali atas nama HAM. Begitu juga dengan kasus makar lainnya, dapat diungkap lagi atas nama HAM.
Apakah ini yang diinginkan Komnas HAM? Padahal, makar adalah gerakan melawan negara.
Sebagai lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara, Komnas HAM seharusnya berpihak kepada kepentingan negara, bukan kepada sekelompok orang yang jelas-jelas menurut pengakuannya sendiri telah bermaksud melawan negara.
Hingga pencapresan 2014 ini, lagi-lagi isu ini kembali dilestarikan untuk membangun kebencian pada rakyat Islam, agar umat Islam membenci gerakan islam, termasuk semua yang berbau Islam menjadi 'angker' dibuatnya. [hudzaifah/voa-islam.com]
Berita Terkait :
Melawan Lupa (1): Kasus Talangsari, Jama'ah Islamiyah dan Komnas HAM 01
Melawan Lupa (2): Beberapa Nama, Saksi Palsu dan Islah Talangsari
AM Hendropriono Dalang Pembunuhan Tragedi Munir, Talangsari, Lampung
Innalillah, Jenderal-Jenderal Dalang Kerusuhan Mei 1998 Mendukung Jokowi