Oleh: Zaqy Dafa (Peneliti Pemikiran Islam)
Pengangkatan non-Muslim sebagai pemimpin masyarakat Muslim di Indonesia selalu menjadi topik yang ramai dibicarakan, apalagi di hari-hari menjelang pemilihan wakil rakyat baik daerah maupun nasional. Terlebih lagi, akhir-akhir ini ramai diberitakan oleh media publik tentang pencalonan non-Muslim sebagai pemimpin daerah yang mendapatkan dukungan dari beberapa partai politik besar dan sebagian masyarakat kelas bawah yang (katanya) mendapat gelontoran dana yang cukup besar hingga miliaran rupiah.
Selain itu, diberitakan pula secara massif di media tentang beberapa figur non-Muslim yang ‘sowan’ ke berbagai pondok pesantren dan ndalem kiai-kiai sepuh, yang (katanya lagi) bertujuan untuk membawa aspirasi para ulama dan umat Islam pada umumnya. Beberapa kalangan yang di’sowan’i tokoh lintas agama ini pun menyambut dengan begitu meriah, bahkan seringkali terlihat kebablasan seperti foto-foto yang beredar di media tentang santriwan-santriwati yang mencium tangan laki-laki non-Muslim tersebut dan sebagainya.
Tak mau kalah, beberapa kalangan akademisi dan ‘tukang nulis’ pun aktif menulis berbagai buku dan artikel yang dimuat di media-media nasional baik cetak maupun elektronik. Topiknya seragam, tentang relevansi dan kelayakan non-Muslim sebagai pemimpin masyarakat Muslim Indonesia. Berbagai argumen dan logika pun dimainkan dan disuguhkan kepada masyarakat, bahkan nash-nash Al-Quran Hadits pun diotak-atik sekiranya dapat menjadi justifikasi umat Islam untuk mendukung calon pimpinan non-Muslim. Padahal hanya segelintir calon kepala daerah yang status agamanya bukan Islam, itupun satu nama diantaranya sudah dikenal masyarakat sebagai ‘buldoser’ penghancur perumahan warga miskin, ‘mulut jamban dan babi’ yang suka melegalkan alkohol, ‘pejuang tahun baru’ yang alergi terhadap takbir keliling, dan sebagainya. Namun media publik regional maupun nasional begitu semangat memberikan pencitraan dan ‘kultus sosial’ terhadap sosok tersebut, seakan ada kebutuhan mendesak agar masyarakat Muslim Indonesia mau memilih calon kepala daerah yang bukan Muslim.
Oleh karena itu, tulisan kali ini akan membahas tentang beberapa syubhat argumentasi yang digulirkan oleh para ‘pejuang pimpinan beda agama’ tersebut, sekaligus memberikan tanggapan seperlunya. Hal ini menjadi sangat penting karena pemilihan pemimpin umat merupakan hajat umat Islam yang sangat penting karena merupakan kewajiban agama dan menentukan baik tidaknya kehidupan masyarakat Indonesia.
Pertama: Kepemimpinan dalam Islam Bukan Hal Absolut
Argumentasi diatas disebutkan oleh salah satu ‘penyumbang’ tulisan dalam buku Fikih Kebinekaan terbitan Ma’arif Institut. Dia menulis, “Memilih pemimpin non-muslim di tengah masyarakat muslim hukumnya dibolehkan. Hal ini berdasarkan rujukan dua hal, pertama masalah kepemimpinan dalam hukum Islam merupakan persoalan yang bukan absolut. Kedua larangan memilih pemimpin non-muslim dikaitkan dengan sebab yang menyertainya, yakni manakala mereka melakukan penistaan terhadap umat Islam.”
Disebutkan pula dalam artikel yang memuat tulisan diatas, “Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa syarat seorang pemimpin ada dua, pertama orang yang kuat dan kedua orang yang amanah. Pendapat ini mengisyaratkan bahwa pemimpin non-muslim yang adil lebih baik daripada pemimpin yang beragama Islam namun tidak mampu berlaku adil.” (m.detik.com)
Menggunakan alasan kepemimpinan dalam Islam merupakan permasalahan non-absolut disini sebenarnya cukup bermasalah. Apakah yang dimaksud absolut diatas? Dan apabila memang tidak absolut, lalu apakah berarti boleh mengangkat non-Muslim sebagai pimpinan kaum Muslimin? Sepertinya ada logika yang tidak nyambung.
Dalam akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, ihwal pengangkatan pemimpin (imam) merupakan kewajiban umat Islam yang bersumber dari ajaran Syari’ah. Ia bukan merupakan asas Rukun Iman hingga orang yang mengingkari kewajiban tersebut dicap telah keluar dari agama seperti keyakinan ekstrim Syi’ah yang menjadikan Imamah sebagai Rukun Iman. Ilmuwan teologi Sunni Syaikh Ibrahim al-Laqqani dalam Nazham Jauharah al-Tauhid menulis:
وواجبٌ نصبُ إِمامٍ عَدْلِ # بالشَّرعِ فاعْلَمْ لا بِحُكْم العَقْلِ
Mengangkat imam adil wajib hukumnya # Secara Syara’ bukan karena hukum logika
Mengomentari keterangan diatas, Syaikh Ibrahim al-Baijuri menulis bahwa yang dimaksud adil diatas adalah konsep adil dalam persaksian. Keadilan ini tidak terwujud kecuali memenuhi lima persyaratan salah satunya adalah Islam, karena non-Muslim tidak dapat mewujudkan kemaslahatan kaum Muslimin. (Syaikh Ibrahim al-Baijuri, Tuhfah al-Murid, hlm. 219)
Dalam berbagai literatur Fiqh Syafi’i, semua sepakat bahwa syarat imam atau pemimpin tertinggi negara adalah harus Islam. (lihat: Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj, juz 38 hlm. 185; Muhammad Syaraf al-Nawawi, Raudlah al-Thalibin, juz 10 hlm. 42; Sulaiman al-Bujairimi, al-Hasyiyah ‘ala al-Minhaj, juz 15 hlm. 66; Sulaiman Jamal, al-Hasyiyah ‘ala Syarh al-Manhaj, juz 21 hlm. 42; Syihabuddin al-Qalyubi, al-Hasyiyatani ‘ala al-Minhaj, juz 15 hlm. 101; Abdul Hamid al-Syirwani, al-Hawasyi ‘ala al-Tuhfah, juz 9 hlm. 75)
Kesimpulan penulis diatas tentang pendapat Ibn Taimiyah juga keliru. Dalam buku sekaligus disertasinya di Universitas Azhar berjudul al-Nazhariyyah al-Siyasah ‘inda Ibn al-Taimiyyah, Hasan Konakata menyatakan bahwa dari berbagai tulisannya dapat disimpulkan Ibn Taimiyyah menetapkan dua syarat umum pemimpin, yakni al-quwwah wa al-amanah. (Ibn Taimiyyah, al-Siyasah al-Syari’yyah, hlm. 15)
Namun yang perlu diperhatikan, bahwa Ibn Taimiyyah juga menyatakan bahwa pengangkatan pemimpin ditujukan untuk menjadi jalan umat Islam melakukan amar ma’ruf nahi munkar, jihad, serta penegakan hukum-hukum had. Menurutnya, agama dan dunia tidak dapat berjalan kecuali dengan ada pemerintahan. (al-Siyasah al-Syari’yyah, hlm. 168) Tentu semua ini secara faktual dari dulu sampai sekarang tidak akan pernah terwujud kecuali jika kepemimpinan umat Islam dipegang oleh orang Islam juga. Oleh karena itu, jika disimpulkan bahwa Ibn Taimiyyah membolehkan umat Islam dipimpin oleh non-Muslim akan menjadi sangat janggal, terlebih lagi melihat sosok Ibn Taimiyyah yang jauh lebih radikal dalam masalah kekafiran dibanding ulama-ulama al-madzahib al-arba’ah.
Kedua: Mengangkat Pejabat Eksekutif Non-Muslim Hukumnya Boleh
Berbagai keterangan Fiqh yang seringkali dikutip oleh kalangan yang menolak kepemimpinan non-Muslim adalah ibarat-ibarat tentang syarat-syarat al-imam al-a’zham (pemimpin tertinggi negara) yang relatif mudah ditemukan dalam kitab-kitab Fiqh. Oleh karena itu, para pejuang pimpinan beda agama mencari celah lain dengan mengangkat tema kepemimpinan pejabat yang menjadi kaki tangan pemimpin tertinggi negara seperti pemerintahan daerah, menteri, dan sebagainya.
Ibarat yang seringkali mereka kutip untuk membenarkan kepemimpinan non-Muslim dalam lingkup regional dan sektoral pemerintahan (bukan kepemimpinan tertinggi negara) adalah keterangan al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyah:
وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ هَذَا الْوَزِيرُ مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ وَإِنْ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ وَزِيرَ التَّفْوِيضِ مِنْهُمْ .
Jabatan wazir tanfidz boleh dipegang oleh non-Muslim dzimmi meskipun mereka tidak boleh menjadi wazir tafwidl. (Abu Hasan Ali al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 44)
Menurut mereka, jabatan wazir tanfidz bila dikaitkan dalam konteks pemerintahan Indonesia sama dengan kekuasaan eksekutif di dalam pemerintahan (presiden, menteri, gubernur, bupati, camat, kepala desa, ketua RT-RW, dsb) dan jabatan tersebut boleh diisi oleh non-Muslim. Sementara wazir tafwidl adalah kekuasaan legislatif dan yudikatif (DPR, MPR, dsb) dan jabatan tersebut tidak boleh diisi oleh non-Muslim. (nu.or.id)
Namun, apabila mau meneliti lebih banyak keterangan al-Mawardi tentang tema ini, maka kita akan mendapatkan kesimpulan yang jauh berbeda dengan kesimpulan diatas.
Pertama, dalam kitab yang sama, Al-Mawardi membagi jabatan pemerintahan di bawah pemimpin tertinggi negara menjadi empat:
(1) Kekuasaan nasional yang mengurusi kewenangan general (keseluruhan), dijabat oleh wazir atau kementerian.
(2) Kekuasaan regional yang mengurusi kewenangan general, dijabat oleh umara’ al-aqalim wa al-buldan atau pemerintah daerah.
(3) Kekuasaan nasional yang mengurusi kewenangan sektoral, seperti qadli al-qudlah atau hakim agung, naqib al-juyusy atau jenderal militer, dan sebagainya.
(4) Kekuasaan regional yang mengurusi kewenangan sektoral, seperti qadli balad atau hakim daerah dan kordinator per sektor di bawah pemerintahan daerah. (al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 35)
Dari sini dapat disimpulkan bahwa kekuasaan eksekutif dalam pemerintahan tidak hanya terkhusus pada kekuasaan nomor (1) sebagai wazir saja, namun juga pada mencakup kekuasaan nomor (2), (3), dan (4). Mestinya pejuang pimpinan beda agama tersebut membuat perincian lebih dalam lagi yang sesuai dengan keterangan al-Mawardi diatas.
Kedua, al-Mawardi membagi jabatan wazir menjadi dua yakni tafwidl dan tanfidz. Wazir tafwidl adalah wazir yang diberi wewenang oleh pemimpin tertinggi negara untuk mengurusi berbagai bidang pemerintahan sesuai dengan inisiatif dan kebijakannya sendiri selama tidak keluar dari peraturan perundangan negara (otonom). (al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 41) Untuk jabatan wazir tanfidz ini harus dipenuhi seluruh persyaratan yang harus ada pada pemimpin tertinggi negara kecuali syarat dari keturunan Quraisy. Selain itu, ditambahkan pula syarat harus memiliki kapasitas yang memadai atas wewenang dia diberikan kepadanya. (al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 36) Karena harus memenuhi persyaratan seorang imam kecuali nasab, maka wazir tafwidl tidak boleh dipegang oleh non-Muslim.
Sedangkan wazir tanfidz kekuasaannya lebih sempit karena hanya menjadi pelaksana kebijakan imam dan mediator antara pemerintah dengan rakyat. Wazir tanfidz sepenuhnya terikat dengan pemerintahan pusat dan tidak memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan dan peraturan otonom. Oleh karena itu pada jabatan wazir tanfidz tidak disyaratkan merdeka dan memiliki kecakapan serta ilmu karena tidak diberi wewenang membuat kebijakan. (al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 43) Bahkan boleh dijabat oleh non-Muslim dzimmi seperti keterangan yang telah lewat. (al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 44)
Dari keterangan diatas, maka pernyataan bahwa kekuasaan eksekutif adalah wazir tanfidz menurut kami merupakan kesimpulan yang keliru. Hal ini karena kekuasaan eksekutif di Indonesia baik yang mengurusi bidang sektoral nasional (kementerian) maupun bidang regional (pemerintahan daerah) diberikan hak otonom yang memperbolehkan mereka mengatur kebijakan dan membuat peraturan perundangan, sehingga lebih sesuai dengan wazir tafwidl yang disyaratkan harus Muslim. Dengan ini maka justifikasi para pejuang pimpinan beda agama dengan pendapat al-Mawardi diatas merupakan pengambilan dalil yang salah. Bersambung. [syahid/voa-islam.com]