View Full Version
Senin, 23 Apr 2018

The twin Heart 6: Menggambar Lampau (Part B)

Assalamu'alaikum sobat muda voa-islam,

Apa kabar semua? Alhamdulillah semoga semua dalam kondisi sehat iman dan Islam serta fisiknya juga ya. 

Mohon maaf kisah Dave dan Sharon sempat libur seminggu. Insya Allah mulai hari ini akan hadir lagi seperti semula, tiap Senin dan Kamis. 

Jadi, sudah pada kangen sama the twin brown terutama Dave kan? Yuk, cuss aja segera lahap kisahnya dalam episode kali ini.

Salam

-----------

The Twin Heart - Bagian 6

Menggambar Lampau (part B)

 Oleh: Ria Fariana

Sesampainya di apartemen, dilihatnya Mike duduk di depan komputernya. Tapi Dave yakin ia tak akan bisa menyalakannya tanpa password untuk melindungi data-data yang disimpan di sana.

“Hi, Dave. Wajahmu kusut sekali. What’s wrong? Sharon baik-baik saja kan?”

Dave hanya mengangguk.

“Hei…tapi wajah itu, hmm…aku tahu,” Mike beranjak dari depan komputer yang sia-sia saja berusaha untuk dinyalakannya. Ia mendatangi Dave.

“Kamu telah mengambil keputusan untuk sesuatu yang sulit, betul kan?”

“Sok tahu kamu.”

“Iyalah, berapa tahun kita berteman? Bodoh sekali aku kalau tak bisa menebak ekspresi wajah itu. Kenapa hah…? Sharon mengajakmu masuk apartemennya, dan kamu menolak meski di sisi hatimu yang lain kamu juga menginginkannya?”

Huks. Tebakan Mike meninju tepat di jantungnya.

Hahahahaha, Mike tertawa keras.

“Ayolah bro, kamu tak perlu terlalu keras pada dirimu. Memalukan sekali di usiamu yang sudah kepala dua ini masih virgin.” Mike terus memojokkan Dave. Ia memang pakar bila soal perempuan. Dave tak mengindahkan olok-olok Mike. Ia masuk kamar mandi dan berusaha menenangkan diri di sana. Sementara Mike terus berteriak-teriak tanpa diindahkannya sama sekali.

“Dave, apa password komputer ini???”

Malam itu Dave menghabiskan waktunya lebih banyak di depan komputer. Sudah dua hari ia tak bertemu Sharon. Dan itu cukup bagus buat kesehatan jantungnya yang selalu berdebur keras setiap melihat sosoknya. Yah..hanya melihat sosoknya saja sudah cukup membuatnya sport jantung. Apalagi bila harus berdekat-dekat dengan seluruh pesona yang ada di dirinya, Dave tak yakin ia akan mampu bertahan lebih lama.

Syukurlah Sharon butuh istirahat beberapa hari ini sejak kecelakaan misterius itu. Misterius karena polisi tak mampu melacak pelakunya. Mungkinkah? Bukankah polisi USA terkenal canggihnya? Atau memang tak ada niat untuk menuntaskan kasus ini? Entahlah. Dave belum mau berpusing memikirkan hal itu. Perhatiannya lebih tersedot ke mimpi-mimpinya yang selalu sama akhir-akhir ini. Dan saat ini ia berusaha mencari jawab itu dengan teknologi yang membuat dunia seperti kampung global. Internet.

            Berkali-kali dibukanya google untuk mencari gambaran pantai yang kerap hadir di mimpinya. Sudah berjam-jam masih juga belum ditemukannya pantai yang mendekati kemiripan itu. Kalau sosok anak kecil laki-laki itu, sepertinya khas wajah Asia. Malaysia, Singapura, Thailand, Burma, Indonesia? Ah…sepertinya Malaysia dan Indonesia lebih mendekati. Berkali-kali dikliknya situs yang menampilkan sosok anak kecil laki-laki dengan latar belakang pantai. Malaysia lebih mendominasi situs-situs itu karena promosi pariwisatanya yang gencar. Tapi pantai yang dicarinya belum ketemu. Apalagi wajah bocah laki-laki kecil seperti dalam mimpinya.

            Setelah lima jam tanpa beranjak dari duduknya, Dave memutuskan rileks sejenak. Balkon kamarnya yang mengarah ke langit lepas adalah tempat favorit yang ditujunya. Mendung. Awan terlihat berarak di tengah kerlipan lampu-lampu jalan yang benderang. Hanya sebentar Dave di balkon. Ia tak suka suasana mendung. Karena ia tak suka air yang tercurah dari langit. Seperti rasa tak sukanya pada air yang lain. Air laut.

            Dave masuk, menutup pintu dan menarik tirai yang memisahkannya dengan suasana suram di luar. Kembali dihadapinya komputer yang menampilkan gambar pantai. Deretan pohon kelapa, gelombang tenang yang beriak dan berbuih indah, hembusan angin pantai yang semilir, pasir pantai yang lembut, sampan sederhana yang berayun-ayun di kejauhan, bocah-bocah kecil berlari-lari dan wajah-wajah melayu itu begitu lekat dan dekat. Dave terus menggerakkan mouse-nya untuk menemukan gambaran pantai yang dicarinya. Dan satu lagi, sayup-sayup suara nyanyian tradisional menyapa gendang telinganya.

            Dave dalam kondisi sadar saat itu. Tak mungkin pula ia browsing internet dalam keadaan tidur. Tapi semua gambaran itu serasa tersaji di depanya secara nyata, seakan-akan ia pernah ke sana dan sekarang sedang diputar ulang dalam memorinya. Di tengah seriusnya Dave mengamati gambar pantai di komputernya, tiba-tiba Hpnya berbunyi.

Sharon! Tap! Desiran itu datang lagi. Ia memilih tak mengangkat HP, ditekannya ON sehingga tangan dan konsentrasinya tetap focus ke layar komputer.

-          Hallo

-          Dave, how’s life?

-          Not too good.

-          Why? Missing me?

-          Uhm…(Dave kehilangan kata-kata karena Sharon seakan ingin menelanjangi perasaannya. Tapi menceritakan bahwa ia sedang mencari pantai dalan mimpinya jauh lebih terlihat bodoh)

-          Kamu tega sekali Dave

-          Maksudmu?

-          Aku sakit tapi kamu tak muncul sekalipun menjengukku.

Dave terdiam.

-          Dave?

-          Yap?

-          Aku berhasil mewawancarai Indah sebelum kecelakaan itu. Tape recordernya ada di aku tapi belum sempat kusalin dalam bentuk ketikan. Kamu mau mengambilnya dan mengerjakannya ? Deadline kita semakin dekat.

-          Baiklah. Besok sepulang kuliah aku akan mampir ke tempatmu.

-          Okay. Bye Dave.

-          Bye.

 

Dave menarik nafas panjang dan berat setelah suara itu lenyap. Konsentrasinya pecah setelah mendengar suara Sharon di telepon. Tanpa minat lagi dipandangnya layar komputer di depannya. Lelah sekali ia. Di luar suara kilat menggelegar. Rintik hujan mulai jatuh menimpa bumi. Dibiarkannya layar komputer itu menyala di depannya. Selama beberapa menit ke depan, komputer itu akan mati sendiri bila keyboard atau mouse-nya tak dipegang. Sistem keamanannya sudah dipasang sedemikian rupa oleh Dave, shut down-nya permanen hingga dihidupkan lagi dengan menggunakan password yang hanya diketahuinya.

            Untuk beberapa saat setelah komputer mati dengan sempurna, Dave termenung. Kelebat Sharon, renyah suaranya, bertingkah diselingi gemuruh suara hujan di luar dan suara debur ombak di pantai, diseling lagi oleh nyanyian menyayat lagu tradisional yang ia belum tahu dari daerah mana. Tanpa terasa, semua itu bertumpang tindih dalam benak Dave. Ia pun tak sempat membaringkan tubuhnya ke ranjang. Dave sudah terbuai mimpi dalam kondisi duduk di depan komputer.

Sharon, haruskah kubiarkan rasa ini ada untukmu? Ataukah harus kubunuh saja demi cintaku pada tuhanku? 

Dave terlelap dengan benak yang berkelindan, berusaha memilih dua cinta yang menurutnya sama-sama tak mudah. 

#Bersambung Kamis yaaa....

Ini link episode sebelumnya:

http://www.voa-islam.com/read/smart-teen/2018/04/12/57281/the-twin-heart-5-menggambar-lampau-part-a/#sthash.nMmmDrpp.dpbs

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version