Oleh: Landung Prakoso*
SANTERNYA opini media tentang desakan pembubaran acara HTI bertitel Muktamar Tokoh Umat 1437 H oleh GP Ansor dan Banser mengingatkan kita kembali berita pada bulan Maret 2013 yang silam tentang implikasi RUU Ormas yang sudah disahkan. Awalnya kontroversi seputar konten pasal yang berpotensi akan membubarkan ormas adalah yang menolak Pancasila sebagai azas. Yang pro berpandangan bahwa pengesahan RUU Ormas justru memberikan ruang pengembangan ormas sesuai dengan koridor pilar-pilar negara diantaranya -Pancasila-. Yang kontra berpandangan bahwa pengesahan RUU Ormas justru akan mengembalikan rezim tiranik orde baru.
Membungkam daya kritis kelompok-kelompok masyarakat terhadap penguasa dengan menggunakan klaim “bertentangan dengan Pancasila”. Walaupun pada akhirnya yang disahkan adalah ormas boleh menggunakan asas yang tidak bertentangan dengan Pancasila. Dan Islam bukanlah asas yang bertentangan dengan Pancasila. Karena menghadap-hadapkan Islam sama halnya menganulir ajaran Islam beserta pengikutnya berjalan di Indonesia.
Menarik untuk dikaji, kenapa HTI (baca: Hizbut Tahrir Indonesia) menjadi sampel jika RUU Ormas disahkan saat itu hingga kemudian menyeruak ke permukaan lagi saat ini ? Dalam sebuah kesempatan saya tidak sengaja mendengar penjelasan adanya ormas tertentu yang menjadi prioritas bidikan dengan RUU ormas dulu, selain FPI yang dipandang representasi “anarkis” maka HTI mewakili arus kelompok radikal yang kontra NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Mungkin HTI sendiri menyadari ganjalan yang akan muncul seperti ini, belajar dari negara lain larangan HT beroperasi oleh penguasa setempat. Sekalipun negeri-negeri Islam yang melarang HT tersebut mengadopsi demokrasi, namun tetap tidak rela munculnya entitas gerakan semacam HT yang dianggap berpotensi meruntuhkannya. Tidak terkecuali dengan Indonesia, HTI ditempatkan dalam posisi ancaman potensial ideologis.
Maka bagi status quo, jalan elegan menurut demokrasi adalah “membungkam” dengan pendekatan legal frame (regulasi) produk parlemen. Karena ini cara satu-satunya yang legitimate untuk mempertahankan eksistensi Demokrasi. Membaca gerakan pembubaran HTI belakangan yang didorong secara masif oleh GP Ansor berikut Bansernya nampaknya ada upaya lain selain undang-undang yang akan ditempuh.
Tinggal seberapa kuat desakan pembubaran HTI itu terus dikawal. Dari perkembangan opini media, terlihat yang paling vokal menyuarakan gerakan ini adalah Abdullah Syamsul Arifin (PCNU Jember). Putra dari seorang Kyai masyhur KH As’ad Syamsul Arifin yang sangat kuat perlawanannya terhadap penguasa status quo saat itu. Hal yang sangat berbeda dengan karakter putranya saat ini. Sosok yang terkenal dengan sebutan Gus Aad ini memang yang paling vokal pertentangannya terhadap HTI selama ini. Biasanya Gus Aad didampingi oleh Idrus Romli dalam setiap kesempatan perdebatan seputar persoalan fiqih. Itu pula kenapa belakangan Gus Aad menantang dialog dengan delegasi HTI secara terbuka tentang apa yang dipertentangkan selama ini dalam sebuah forum Bahtsul Masail.
Sebuah dialog yang mesti harus dirumuskan parameter yang disepakati secara jelas sebagaimana biasanya NU Versus Salafi menggunakan sumber Al-Qur’an, Al Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Dialog yang akan dilakukan ini seyogjanya menjadi dialog untuk menguji kebenaran ide-ide islam yang diusung dan diperjuangkan HTI. Menempatkan parameter selain Islam bukanlah dialog menguji kebenaran, karena akan membuat bernuansa politis. Obyektifitas dialog antara NU diwakili oleh PCNU Jember dengan delegasi HTI jika terealisasi, seyogjanya harus benar-benar menjadi dialog keilmuan.
Bukan dialog yang berpretensi “intelektual trap” atau “political trap”. Dengan nuansa tuduhan, pembunuhan karakter dan prasangka buruk. Murni sebagai dialog keilmuan yang harus bisa diuji kehujahan dan kesahihan dalil syara’nya. Kenapa jika dimungkinkan tidak diberikan ruang dialog daripada upaya hanya mengkriminalisasikan.
Padahal di sisi lain baru saja telah diselenggarakan dan difasilitasi diskusi bertema “Diskursus Khilafah” yang memediasi kelompok Jabhan Nushroh dengan kelompok ISIS untuk membuktikan kebenaran Khilafah yang diadopsi oleh ISIS. Menghadirkan Ust Fuad Al Hazimi, Ust Abu Thalut Al-Jawi dan Ust Harist Abu Ulya (yang tidak setuju khilafah ISIS) dengan pendukung khilafah ISIS Ust Abu Nusaibah dan Abu Umar, tanggal 01 Mei 2016 pukul 08.00 s/d selesai di masjid Al-Muhajirin, Jl Serpong Raya No 1 Grogol Jakbar.
Acara ini secara khusus dimoderatori oleh Herry Muhammad, Redaktur Pelaksana Majalah Gatra. Sebagaimana dialog tersebut, cukup bijak jika tantangan Gus Aad direspon positip untuk dipenuhi oleh delegasi HTI tinggal menentukan aturan main dialognya. Ujung dari penyelenggaraan dialog nanti diharapkan sebagai pencerahan bagi masyarakat.
Pada faktanya ada masa-masa gerakan semacam HTI akan masuk zona “turbulence”, melihat profil HTI yang cukup dikenal dengan beberapa potensi: Pertama, dari sisi massa yang cukup mampu menggerakkan dalam jumlah besar di Indonesia untuk turun jalan setelah buruh. Kedua, HTI sebagai sebuah entitas “ormas” memiliki potensi menjadi sebuah entitas kekuatan politik dalam pengertian riil. Menjadi pressure group terhadap penguasa dengan dukungan massa ideologis yang semakin meluas.
Ketiga, HTI memiliki jaringan yang dikenal rapi dan tertutup tumbuh dari ujung Aceh hingga Papua, sekalipun juga tidak menutup kemungkinan telah tersusupi oleh pihak intelijen. Keempat; banyak kalangan kelas menengah (intelektual) yang terlibat dalam gerakan ini, disamping juga mulai merambah ke segment masyarakat secara umum. Ini indikator diterimanya gerakan semacam HTI di masyarakat Indonesia yang sedang galau mencari “obat” atas problem kompleknya. Maka akankah HTI mampu menghadapi zona ‘turbulence” yang sudah kelihatan tanda-tanda kehadirannya saat ini?
Sementara dinamika politik bergerak begitu dinamis. Di sela-sela santernya isu pembubaran HTI ini secara khusus Kepala BNPT yang baru sambang ke kantor PBNU. Bahkan juga kedatangan dubes Inggris. Semakin membawa angin segar bagi organisasi massa Islam terbesar di bawah pimpinan Kang Said julukan Prof Dr KH Said Aqil Siradj.
Sementara para tokoh NU sendiri nampaknya beragam menyikapi desakan GP Ansor dan Banser ini. Diantaranya KH Saefulloh Yusuf Ketua PBNU yang dikenal dengan Gus Ipul berpendapat bahwa HTI tidak perlu dibubarkan cukup supaya tahu diri saja.
Sementara KH Hasyim Muzadi menasehati beberapa poin yang pada intinya HTI tidak perlu memaksakan konsep khilafah cukup dengan syariat Islam rahmatan lil alamin saja. Sebaliknya Hasyim juga mengingatkan NU/Ansor agar tidak menggunakan cara-cara kekerasan terhadap HTI karena akan terkesan pengalihan terhadap bahaya PKI. Berdasarkan atas beberapa perkembangan itu ke depan ada beberapa kemungkinan akan terjadi.
Kemungkinan pertama; desakan pembubaran itu akan dilawan dengan membangun argumentasi seperti logika-logika yang sering disampaikan oleh Jubir HTI (Ismail Yusanto) dalam banyak retorikanya, misalkan (menyerap esensinya); HTI bukan ancaman bagi NKRI, kalau mau obyektif, justru pelanggar dan pengkhianat terbesar terhadap Pancasila dan UUD 1945 adalah para penguasa negeri ini (legislatif, yudikatif dan eksekutif). Lihatlah UU Liberal yang lahir dari produk legislatif dan eksekutif seperti UU Migas, UU PMA, UU PT dan masih banyak produk UU di negeri ini sangat bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Ini menunjukkan bahwa nama "Pancasila" hanya sebagai stempel untuk membungkam bahkan membubarkan gerakan-gerakan dari berbagai kelompok masyarakat yang mengancam eksistensi rezim dan penguasa, etc.Tapi langkah pertama ini nasibnya bergantung kepada seberapa Jokowi berani memenuhi desakan NU dan Ansor untuk segera mengeluarkan Inpres atau Keppres jika memang benar-benar HTI keukeuh dengan pendiriannya.
Kemungkinan kedua; selain kemungkinan pertama akan melakukan tekanan publik melalui berbagai aksi (bahasa HTI;masiroh) dan opini, bila perlu menggerakkan jaringan tokoh dan ulama yang interes atas perjuangan HTI untuk mengeluarkan “fatwa”. Cuma dari pengamatan saya selama ini, langkah tekanan dengan aksi demonstrasi oleh HTI tidak signifikan memberikan pengaruh di kebijakan. Meski sudah sedemikian masif yang dilakukan oleh HTI, aksi yang dilakukan masih pada level membangun opini eksistensi HTI dan masih sebatas edukasi kepada khalayak.
Kemungkinan ketiga; pendekatan-pendekatan formal maupun informal oleh petinggi HTI atau tokoh-tokoh masyarakat pendukungnya akan di lakukan kepada pihak pemegang kunci sebuah keputusan.Nah di sini saya juga belum menemukan banyak jejak yang signifikan bahwa HTI sudah menjadi dan memiliki kekuatan yang bisa memberikan pengaruh perubahan kebijakan produk rezim sekuler hari ini.
Kemungkinan keempat; ini adalah persoalan yang jauh lebih penting, sekiranya HTI gagal dengan beragam strateginya menghentikan langkah status quo untuk memberangusnya maka ini akan berimplikasi kepada internal gerakan HTI.Akankah HTI akan mengambil strategi politik abu-abu, dalam artian membangun retorika “hitam diatas putih” di AD-ART-nya yang bisa menjadi sebab legitimasi eksistensi HTI oleh status quo.Kalau ini yang diambil, sudah pasti PR besarnya bagi para petinggi HTI adalah menjelaskan kepada seluruh anggota dan simpatisannya agar mereka menerima, baik secara syar’i maupun rasionalitas. Dan kalau yang diambil adalah sikap “tawakkal” itu berarti ibarat pesawat, HTI harus segera menyiapkan seluruh kru awak pesawat dan penumpangnya untuk bersiap-siap sebelum benar-benar masuk zona turbulence.
Dan menjadi sunatullah, sebuah tantangan bagi gerakan menghadapi fase kristalisasi bagi gerakan itu sendiri. Apakah gerakan semacam HTI adalah benar-benar sebuah gerakan ideologis dengan para angotanya berkarakter ideologis, maka saat-saat goncangan dan goyangan menimpanya akan membuktikan kebenarannya.
Ibarat nelayan dengan sampannya, makin ketengah lautan maka sudah tobi’inya ia akan menghadapi terjangan gelombang dan bahkan badai yang tidak terduga. Kecuali jika nelayan itu melaut ditepi pantai dengan angin sepoi-sepoi. Zona aman dan minat selalu dalam sebuah zona aman dalam sebuah perjuangan ideologis tidak akan pernah bisa membuktikan kebenaran perjuangan.Kita semua akan melihat bagaimana HTI bertahan kedepan, mengingat masyarakat sebagian besar sudah terlanjur simpati dengan perjuangan non kekerasannya. Wallahu a’lam bis shawab. *Penulis pengamat gerakan Islam kontemporer