Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H., Advokat,
Aktivis Hizbut Tahrir Kota Bekasi.
Sidang gugatan sengketa pemilu pilpres masih terus bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK). Selisih perolehan suara yang tidak signifikan nampaknya akan berpotensi membawa dampak pecahnya legitimasi publik. Pihak yang dianggap menang belum tentu mendapat kepercayaan untuk memimpin. Padahal, nyaris mustahil menegakandan menjaga bangunan kekuasaan minus penerimaan (ketaatan) dari rakyat yang dipimpin. Capres-cawapres yg memenangkan kontestasi suksesi politik, belum tentu mewarisi legitimasi politik dari para pemilih yg mendapati calonnya kalah. Jika demikian, tentu saja dapat dipastikan berimplikasi pada inefesiensi dan ketidakefektifan tata kelola pemerintahan, sebab akan banyak kebijakan yg tidak akseptable dan eksekusiable, baik karena keengganan, kemarahan, ketidak percayaan bahkan boleh jadi akan terjadi pembangkangan publik.
Belum lagi tingkat golput yang tinggi dalam Pemilu Pilpres tahun ini melebihi angka golput Pemilu Pilpres tahun 2004 dan tahun 2009. Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat angka golput tidak kurang 29,8% atau 56.732.857 suara yg memiliki hak pilih namun tidak menggunakan haknya. Angka tersebut jauh lebih besar ketimbang tingkat golput Pilpres 2009 yang mencapai 27,7%. Bahkan lebih buruk dibanding Pilpres 2004 yang hanya mencapai 24%. Total warga yang berhak menggunakan hak pilihnya dan masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada Pilpres 2014 adalah 190.307.134. Namun yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 133.574.277 suara. Perolehan suara Capres-cawapres pasangan Jokowi-JK: 70.997.833 suara (53,15 persen), selisih sedikit dengan perolehan suara pasangan Prabowo-Hatta: 62.262.844 suara (46,85 persen), sementara Selisih suara keduanya hanya 8,421,389 suara atau 6,3 persen.
Angka golput cenderung meningkat pada setiap hajatan pemilu legislatif maupun pilpres. Pilihan untuk tidak menggunakan hak pilih nampaknya bukan tanpa sebab, meski dengan latar belakang yg beragam. Ada yg memilih golput karena alasan tehnis administratif, karena alasan praktis pragmatis dan memilih golput karena alasan politis ideologis.
Pemilih golput dengan alasan tehnis administratif adalah orang-orang yg menjadi golput oleh sebab-sebab yg sifatnya tehnis dan administratif, seperti tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap, surat suara tidak diterima, surat suara rusak, saat pemilihan sedang diluar kota atau kendala tehnis lainnya.
Pemilih yang golput karena alasan praktis pragmatis adalah orang-orang yang memandang dengan terlibat atau tidak dalam pemilu tidak ada implikasinya terhadap kemaslahatan individual yg mereka rasakan. Mereka lebih memilih terus menjalankan usaha atau bekerja, ketimbang kehilangan waktu ber-antri ria di TPS. Sebagian yg lain memandang bahwa lebih baik berdiam diri dirumah bercengkrama bersama keluarga, atau sekedar jalan-jalan untuk menghilangkan kepenatan. Dalam bahasa serderhana, siapapun presidennya toh rakyat tetap saja kere (miskin).
Adapun mereka yg menjadi Golput karena faktor politis ideolodis, mereka terbagi menjadi dua kelompok. Pertama : mereka yang menjadi golput karena alasan politis, yg terkategori orang-orang dalam barisan sakit hati dan orang-orang yang anti kemapanan. Masuk barisan kelompok ini adalah orang-orang yang merasa tidak diberi ruang dalam kontestasi politik, atau mereka yang merasa dikerdilkan perannya dalam suksesi demokrasi. Pilihan golput sekedar manifestasi keengganan, kemarahan dan perlawanan terhadap marginalisasi politik yg dialaminya, baik dalam konteks sebagai bagian dari pelaku politik maupun hanya sekedar suporter politik. Kedua: mereka yang memilih golput sebagai bagian dari perjuangan dan perlawanan terhadap sistem eksisting. Mereka yang memandang kapitalisme sekular yang diterapkan di negeri ini adalah akar persoalan dari serangkaian kompleksitas problematika bangsa yang menghasilkan kemiskinan, kesenjangan, ketidakadilan, tirani, kerusuhan sosial, perampokan terhadap aset SDA indonesia, dekadensi moral, alienasi, keterpurukan ekonomi serta berbagai permasalahan multidimensi yang menimpa negeri ini. Mereka memandang bahwa sistem politik demokrasi adalahsistem politik untuk mengimplementasikan ideologi kapitalisme. Terjun dan bermain dalam demokrasi sama halnya dengan melanggengkan Kapitalisme dan sederet permasalahan yang mendera bangsa ini. Sementara mereka berkeyakinan, Kapitalisme sekulerisme adalah Ideologi global yang harus dilawan dengan ideologi global –bahkan tidak hanya sekedar itu- ideologi Kapitalisme harus dipandang sebagai ideologi Material yang terhadapnya harus dilawan dengan ideologi transenden, ideologi yang berasal dari Dzat yang maha pengatur, ideologi yang berasal dari dzat yang menciptakan manusia, alam semesta dan kehidupan.
Hanya saja sampai hari ini belum ada satu lembaga survei maupun penelitian yang mencoba untuk menguak secara rinci Fenomena Golput dalam Pemilu serta kecenderungannya. Namun lepas dengan alasan apapun, baik karena alasan tehnis administratif, praktis pragmatis maupun politis ideologis, ketiganya berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan pada presiden terpilih. Dengan demikian, potensi pemerintahan yang tidak memiliki legitimasi semakin besar. Kekuasaan yang demikian memerlukan entitas lain untuk menyokong dan mempertahankan legitimasi politik bagi pemerintahan terpilih dari potensi gerakan massa (People Power) atau bahkan gerakan massif dari kelompok kekuatan tertentu (Kudeta).
Anatomi dukungan dan kekuatan
Mahkamah Konstitusi –dengan putusan apapun- baik menerima maupun menolak gugatan yang diajukan Capres-cawapres prabowo-hatta, secara psikis relatif tidak memiliki beban politis. Karena kedua pasangan Capres-cawapres, sama-sama memiliki basis dukungan yang sama-sama kuat. Selisih perolehan suara yang hanya sekitar 6,3 % tidaklah terlalu signifikan jika harus dijadikan alat legitimasi politik, apalagi jika pasangan Capres-cawapres –dari kubu manapun- mampu menarik dan menjadikan pemilih golput sebagai bagian pendukung gerbong politiknya, maka selisih angka 6,3 persen tidak akan berarti jika dibandingkan angka golput yang mencapai 29,8%.
Hanya saja sejak awal MK harus berani menanggung resiko politik, sebab dengan putusan apapun maka sudah dapat dipastikan pihak yang dikalahkan akan menganggap MK tidak adil, memihak dan politis. Sejak awal resiko ini disadari MK, maka pada setiap kesempatan MK selalu menegaskan akan bersikap adil, independen, imparsial dan tidak memihak. [http://pemilu.metrotvnews.com/read/2014/07/19/267810/hadapi-gugatan-pilpres-mk-pastikan-hakim-independen].
Jika anatomi Dukungan kedua pasangan calon pada tataran elit, maka pasangan Prabowo-hatta sesungguhnya memiliki kepercayaan diri yang lebih. Suara gabungan PDIP 18,95%, PKB 9,04%, Nasdem 6,72%, dan Hanura 5,62%, hanya sebesar 39,97% dukungan. Sementara akumulasi suara Gerindra 11,81%, PAN 7,59%, PPP 6,53 %, PKS 6,79%, Golkar 14,75%, dan PBB 1,46%, adalah sebesar 48,93% dukungan. Dukungan partai politik dapat ditafsirkan sebagai dukungan elit politik. Kohesi internal dalam bangunan koalisi merah putih lebih banyak secara kuantitas baik dari politisi, birokrat, pengusaha, dan tokoh masyarakat seperti kalangan kiyai dan ulama. Sementara kubu Jokowi kuat di basis massa yang berasal dari partai inti pengusungnya PDIP, yang dikalangan akar rumput memiliki basis dukungan yang relatif dianggap militan dan loyal. Jika kalkulasi tersebut dihadap-hadapkan secara vis a vis, maka kekuatan kedua kubu relatif seimbang. Semuanyamemerlukan energi yang cukup besar untuk memenangkan pertarungan politik, baik pra putusan maupun pasca putusan MK, dan untuk merubah bandul kesetimbangan politik, masing-masing harus mendapatkan dukungan politik dari unsur lain yang memiliki kekuatan, yaitu militer.
Kekuatan Militer dan kecenderungannya
Tidak dapat dipungkiri kekuasaan dengan sistem apapun selalu ditopang oleh dua pilar utama, yaitu Rakyat dan Militer. Dukungan Rakyat saja tidak cukup untuk menjaga eksistensi apalagi melanggengkan kekuasaan. Sebaliknya, kekuasaan dengan dukungan militer berubah posisinya dari kekuasaan yang melayani menjadi kekuasaan yang memaksa (Diktator). Kekuasaan yang memaksa cenderung akan melemahkan dirinya sendiri, bahkan tidak jarang menyampaikannya pada ajal.
Militer tidak boleh dianggap remeh, bahkan militer adalah pilar kedua untuk menopang kekuasaan selain rakyat/umat. Suksesi politik yang mulus dengan jalan mencari dukungan umat, tidaklah cukup aman sebelum ia mendapatkan dukungan dan loyalitas dari militer. Kasus kekuasaan Ahmad Moursi di Mesir adalah contoh paling mutakhir tentang kekuasaan yang telah didapat dari umat/rakyat minus dukungan dan loyalitas militer. Hanya dalam waktu sekejap, militer dapat menumbangkan Moersi dan mengambil alih kekuasaan.
Peristiwa politik di Thailand dapat menambah gambaran yang utuh bagaimana peranan militer sangat signifikan dalam konteks suksesi politik. Di Thailand, Junta militer lebih banyak memainkan peranan untuk mendudukan atau menurunkan kekuasaan di Thailand. Contoh paling abadi dalam konteks pilar penyangga kekuasaan adalah pada saat rasulullah SAW hendak menegakan Daulah Islam yang pertama di Madinah. Rasulullah mengutus Mus’ab bin Umair untuk membina dan mempersiapkan rakyat (umat) di Madinah untuk menegakan kekuasaan islam, pada saat yang sama beliu meminta mus’ab bin umair meminta dukungan ahlul nusyroh (militer) yang ketika itu terepresentasikan dalam suku Aus dan Khazrat. Setelah dua pilar diraih (Rakyat dan Militer) Rasululullah SAW melalui duta beliau Mus’ab bin Umair, dapat menjalankan kekuasaan dan pemerintahan secara paripurna tanpa ada hambatan yang berarti.
Hanya saja betapapun strategisnya peran militer dalam mengambil alih atau mendudukan kekuasaan, militer indonesia memiliki kultur dan sejarah yang menjadikannya tidak pernah menggunakan kekuatannya untuk melakukan suksesi politik. Militer bangsa ini adalah anak bangsa yang lahir dari rahim umat yang memiliki akidah islam yang lurus, mereka adalah cucu-cucu jenderal Sudirman, seorang Jenderal sekaligus ulama yang sholih, penerus generasi Hisbulloh, maka tidak aneh jika kultur kekerasan (kudeta) tidak pernah diambil oleh militer bangsa ini karena bertentangan dengan syariah Islam.
Posisi militer yang strategis dapat merubah bandul kesetimbangan politik yang amat signifikan, jika militer menggunakan kekuatannya utuk merubah konstelasi politik. Hanya saja militer sebagai bagian dari anak bangsa akan menghitung secara cermat atas segala kemungkinan yang terjadi. Potensi gerakan People Power oleh massa salah satu pasangan calon akan mudah diredam oleh militer hanya dalam hitungan jari. Disamping itu, massa pendukung pasangan capres sebenarnya mayoritas adalah kalangan pragmatis yang dalam setiap mengambil tindakan akan selalu mempertimbangkan kemaslahatan pribadinya. Opsi untuk memberikan dukungan All Out kepada Capres-cawapres untuk mendudukan mereka di kursi kekuasaan bukanlah pilihan yang realistis.
Chaos sulit terjadi, peluang Revolusi Islam terbuka lebar
Rasanya agak sulit –jika tidak bisa dikatakan mustahil- kerusuhan massa dan chaos terjadi pasca pembacaan putusan MK. Massa yang tidak terlalu militan, latar belakang yang pragmatis, kecenderungan militer yang tidak mengambil inisiatif mengambil alih kekuasaan, politisi yang oportunis, perbandingan kekuatan antara kedua kubu capres-cawapres yang relatif seimbang, adalah beberapa hal yang menjadi pertimbangannya.
Di negeri ini selain entitas politik yang berkecimpung dalam politik praktis, ada entitas politik lain yang memahami hakekat kerusakan yang terjadi sekaligus memiliki konsep alternatif untuk menawarkan solusi paripurna. Potensi untuk memainkan peranan (perubahan) diluar sistem sangat terbuka, apalagi pada kondisi munculnya ekspektasi publik yang anti klimaks terhadap politisi praktis yang masuk dalam sistem demokrasi.
Hizbut Tahrir adalah sebuah partai politik yang berideologi Islam. Politik merupakan kegiatannya, dan Islam adalah ideologinya. Hizbut Tahrir bergerak di tengah-tengah umat, dan bersama-sama mereka berjuang untuk menjadikan Islam sebagai permasalahan utamanya, serta membimbing mereka untuk mendirikan kembali sistem Khilafah dan menegakkan hukum yang diturunkan Allah dalam realitas kehidupan.
Hizbut Tahrir sangat berpeluang mempelopori perubahan (Revolusi) dengan terus menerus melakukan pembinaan umat dengan pemahaman syariah islam yang menyeluruh dan memantik perasaan umat agar hanya ridlo diatur dengan syariah islam, bukan yang lainnya. Pemahaman yang menyeluruh tersebut juga harus sampai pada kesimpulan bahwa penerapan syariah islam hanya bisa diterapkan secara sempurna dalam naungan Daulah Khilafah. Jika Hizbut Tahrir telah mampu mempersiapkan masyarakat dengan pemikiran yang islami, perasaan yang islami maka akan terciptalah sebuah masyarakat yang merindukan atas mereka diterapkan aturan yang islami. Kerinduan ini akan mendorong masyarakat meminta “atau bahkan memaksa” penguasa yang ada untuk menerapkan syariah islam.
Tinggal satu kunci kekuasaan setelah umat, yaitu militer. Militer negeri ini adalah militer yang lahir dan dibesarkan dari rahim umat. Mereka adalah putra-putra terbaik islam yang dalam dadanya terhujam mendalam akidah islam. Dari akidah yang menghujam terpancarlah kecenderungan untuk melakukan pembelaan dan pertolongan terhadap islam. Pada saat yang sama, umat ini (baik sipil maupun militer) dapat mengindera dengan jelas dan dapat memaparkannya secara gamblang tentang banyaknya kerusakan yang ditimbulkan ideologi kapitalisme sekular yang diterapkan di negeri ini. Jika tidak segera menyelamatkannya dengan ideologi islam, maka disisi jalan yang lain ideologi sosialisme komunisme telah dengan sangat siap untuk memangsa umat dan menjadikannya harta rampasan perang (Ghanimah).
Hizbut Tahrir sendiri telah berulang kali menyeru kepada militer agar segera memberikan dukungan dan pertolongan kepada hizbut tahrir untuk mengambil alih kekuasaan –dengan kekuatannya- untuk menegkan Khilafah bersama Hizbut Tahrir.
[http://hizbut-tahrir.or.id/2014/07/21/hti-seru-militer-ambil-kekuasaan-untuk-tegakkan-khilafah/].
Hizbut Tahrir telah menyiapkan seluruh konsep dan pranata untuk menerapkan syariah islam dalam bingkai Khilafah. Hanya saja, apakah jenderal-jenderal militer sudah merasa harus mengambil tindakan Ekstra Ordinary untuk mengambil inisiatif melakukan “Operasi Politik Tanpa Kekerasan” demi menyelamatkan bangsa ini yang sudah sangat terpuruk? Apakah Hizbut Tahrir mampu meyakinkan umat dan militer untuk segera hijrah dari kapitalisme sekulerisme menuju islam serta segera mengambilalih kekuasaan untuk menegakan Khilafah? Apakah pasca pengumuman Putusan MK seluruh komponen umat, Militer dan Hizbut Tahrir menemukan momentumnya?
Wallahu ‘alam bi ash Showab.