View Full Version
Jum'at, 23 Oct 2015

Tak Pernah Dilakukan di Zaman Nabi, Khutbah Pakai Pengeras Suara Bid'ahkah?

Memakai Pengeras suara di zaman modern sekarang ini merupakan hal yang sangat biasa. Tapi tahukah kita ternyata ini adalah hal yang baru ada di akhir zaman ini? Lalu bagaimana sebenarnya hukum memakai alat pengeras suara saat beribadah kepada Allah seperti shalat, khutbah atau dzikir dan lainnya? Kami nukilkan di bawah ini tulisan Syaikh Dr Suud Syuraim agar semua terlihat jelas.

Masalah ini bukan masalah penting. Bukan pula perkara yang mendesak untuk diketahui Khatib sebab menggunakan pengeras suara dalam khutbah dan shalat adalah perkara yang tidak sepatutnya diperdebatkan kebolehannya oleh orang yang adil dalam menilai. Lagipula, mayoritas kaum muslimin tidak merasa bermasalah menggunakan alat ini.

Hanya saja , saya membahasnya di sini dalam rangka sekadar memberi faedah. Sebab ini masalah yang ternyata dibahas oleh ulama. Alasan lain karena di setiap zaman selalu ada yang memperdebatkan masalah sejauh manakah pengeras suara itu disyariatkan penggunaannya dalam ibadah, sebagai sebuah sarana. Atau minimal masih ada yang mendebatkan apakah itu baik atau tidak. Dan orang orang seperti mereka jumlahnya sedikit, tidak begitu berarti. Oleh karena itu, saya akan sebutkan ucapan sebagian ulama tetang masalah ini.

Syaikh Abdurahman bin Sa’di pernah ditanya, “Apa pendapat anda tentang penggunaan pengeras suara oleh seorang khatib?” Maka beliau menjawab “Kami berpendapat itu tidak mengapa. Di sini ada faedah yang bermanfaat, baik dalam masalah ini maupun masalah lainnya, yaitu perkara baru yang terjadi sepeninggal nabi itu ada dua : ibadah dan kebiasaan. Adapun ibadah, maka siapa saja yang mengadakan ibadah baru yang tidak disyariatkan oleh Allah dan Rlasunya, ia adalah seorang pelaku bid’ah.

Adapun kebiasaan, pada aslinya halal, maka siapa yang mengharamkan suatu kebiasaan yang muncul belakangan, dia harus mendatangkan dalil. Jika dia mendatangkan dalil yang menunjukan larangan dan pengharaman dari Al Quran, sunah Nabi atau qiyas yang sesuai denga syar’i, berarti perbuatan itu memang dilarang. Jika tidak maka hukumnya boleh.

Syaikhul Islam menyebutkan dua kaidah dasar ini dalam Iiqtidha Ashirath Al Mustaqim dan buku-buku lainnya. Jadi alat-alat baru ini termasuk di dalamnya, yang pada aslinya adalah boleh. Sedangkan semua perkara mubah jika itu membantu terlaksananya kebaikan, maka itu baik. Namun jika membantu terlaksanya kejahatan, maka itu buruk. Wallahualam bishowab [Abdrurahman as Sa’di. Al majmuah al kamilah lilmualafat asyaikh as’di juz vii hl 130]

Syakh Ibnu Sa’di bahkan punya khutbah Jumat yang isinya tentang penggunaan pengeras suara di masjid, yang sebagian orang masih merasa aneh dengan penggunaan alat di masjid itu. Mereka bahkan menganggap sebagai perkara bid’ah yang diada-adakan. Maka Syaikh membantah anggapan tersebut dalam satu khutbah penuh.

Lajnah Daimah pernah ditanya hukum seorang imam yang naik mimbar menggunakan mikrofon agar suaranya keras. Maka Lajnah menjawab “Itu boleh, agar membantu suara sampai kepada jumlah manusia sebanyak mungkin.” [Lajnah daimah juz VIII hal 250]

Dalam keputusan Komisi Fiqih Rabithah Alam Islami dinyatakan, “Adapun penggunaan pengeras suara dalam menyampaikan khutbah Jumat dan dua sholat Id, begitu juga ketika membaca Al quran dalam shalat serta takbir intiqal, maka sebaiknya hanya di gunakan di masjid masjid besar, sebab hal itu bisa mendatangkan kebaikan kebaikan yang syar’i. Wallahualam [Abdul Muhsin al abyakan. Ghayah al maram syarh mugni dzawy al afham juz VII h 201]

Syaikh Bakr Abu zaid memiliki ucapan yang bagus seputar masalah ini, saya hanya akan membawakan sebagian kecil dari ucapan tersebut karena di dalamnya ada faedah. Beliau katakan:

“Saya tidak melihat pengeras suara selain nikmat Allah kepada kaum muslimin, untuk memaklumatkan syiar-syiar Islam menyampaikan kebaikan kepada manusia dan mengantarkan suaranya kepada telinga sebanyak mungkin manusia, baik di suatu pemukiman di dalam masjid dan di forum-forum. Tidak ada yang mengingkari kebaikan selain jiwa yang sakit."

Dan tidak perlu mempedulikan ucapan sebagian mereka yang mengharamkan penggunaannya dalam kebaikan sebagaimana dalam kejahatan. Sampai-sampai saya mendengar ada di antara para petualang yang mengatakan saya menceritakan di sini bukan untuk sandiwara, fun itu adalah salah satu nama setan, makrufun adalah bagian dari makar setan.

Hal seperti itu tidak perlu dianggap aneh, sebab menolak dan mengharamkan perkara yang baru adalah fenomena yang lumrah sejak jaman dahulu. Salah satunya yang diceritakan oleh Al Fakhr Ar Rozi dalam tafsirnya Juz I H 433 bahwa ketika jam air ditemukan, sebagian orang menanggapi dengan menganggapnya sebagai sihir. Penolakan ini ada dalam diri kaum muslimin.

Disalin dari kitab Asyamil Fi Fiqih Al Khatbib wal khutbah oleh syaikh Dr Suud syuraim. [protonema/voaislam.com]

Editor: RF 

 
 
 
 
 

latestnews

View Full Version