View Full Version
Rabu, 11 Nov 2015

Menjaga Toleransi di Negeri Seribu Mimpi

Sahabat VOA-Islam...

Kusut diselesaikan, keruh diperjernih. Begitulah peribahasa yang “pas” untuk permasalahan toleransi antar umat beragama di Indonesia yang kian meruncing.  Seperti halnya masalah kabut asap, masalah tolerensi antarumat agama sebaiknya juga menjadi hal yang urgent untuk diselesaikan secara adil, proposional dan tuntas.

Agar benih-benih konflik sosial bisa terminimalis. Sedang hidup rukun, adil dan sejahtera tidak lagi sporadis. Makna semboyan Bhineka tunggal Ika pun kini menjadi tanda tanya besar ketika permasalahan Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) riskan terjadi. Negeri yang memiliki ragam perbedaan agama budaya dan suku ini pun tengah mencari model perlindungan sejati.

UU (pasal 28 E ayat 1) mengenai kebebasan memeluk agama, peraturan Bersama (Perber) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 8 dan 9 tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadah serta Rancangan Undang-Undang Perlindungan Agama, ternyata belum cukup menyentuh akar dan solusi masalah toleransi antarumat beragama.

Masih segar dalam ingatan kita, konflik di Aceh singkil. Puncaknya, terjadi pembakaran Gereja dan undung –undung liar yang dilakukan sekelompok umat muslim. Adanya Pelanggaran kesepakatan yang berulang tahun 1978 dan 2001 oleh umat kristen tentang jumlah pendirian rumah ibadah dan tidak adanya izin dari pemerintah setempat menjadi pemicu konflik. Umat muslim pun dianggap sangatlah tidak toleran terhadap minoritas umat kristen. Sekalipun hingga saat ini terdapat 23 gereja dan undung-undung di wilayah kabupaten Aceh Singkil.

Beberapa diantaranya juga tidak memiliki izin pendirian. Gayung pun tersambut, masalah intoleran ini dengan sigap direspon oleh jajaran Media, Komnas HAM juga Presiden RI. Dalam pesannya, Presiden meminta aparat setempat dengan cepat menghentikan kekerasan di aceh singkil. Tentu tindakan ini begitu berarti guna menjaga keharmonisan umat kristen minoritas dan mayoritas umat muslim. Namun sudahkah tindakan yang diambil oleh pihak pelindung keharmonisan berlaku proposional?

Penjagaan dalam harmonisasi yang sempurna antar umat beragama tentu dapat kembali kita rasakan ketika penjaga negeri ini memahami pentingnya hidup dalam aturan illahi

Menengok kasus yang serupa tapi tak sama. Juli 2015 lalu, sikap intoleran juga ditampakkan oleh sekelompok jemaat Gereja Injil Di Indonesia (GIDI) di Tolikara – Papua. Bentrokan dan  pembakaran masjid terjadi saat momentum Idul fitri. Sebelumnya telah terdapat surat larangan umat Muslim melaksanakan Shalat Id dan larangan pemakaian jilbab bagi wanita Muslim. Sikap intoleran oleh non muslim dalam hal aqidah kali ini sayang menuai respon tak sesigap konflik aceh singkil. Pemerintah cenderung gemulai. Komnas HAM dan media pun tak ramai. Semakin tampak “njomplang” (dalam bahasa Jawa) ketika Presiden Jokowi mengundang sejumlah pengurus Gereja Injili di Indonesia (GIDI) di Istana Merdeka untuk menyelesaikan  konflik Tolikara dengan damai. Tentu ini bukan sikap yang adil dan proposional.

Perlindungan keberagaman dalam kebhinekaan hanya akan menjadi mimpi jika sang penguasa masih meraba bagaimana jalan menuju keharmonisan. Pun jika sikap tidak adil dan proposional terus terpatri. Menjadi ironi, ketika negeri ini mayoritas umat muslim dengan penguasa muslim justru menempatkan umat muslim menjadi “the second choice”. Atas nama toleransi, umat muslim justru membiarkan aqidahnya menjadi sasaran atas pemakluman ide keberagaman di indonesia. Maka, perlu didudukkan kembali tentang makna toleransi. Istilah toleransi sendiri merupakan istilah baru yang lahir bukan dari pemahaman Islam, melainkan dari paham Barat sebagai reaksi atau tanggapan dari berbagai macam kondisi penyelewengan dan penindasan.

Islam sejatinya, memiliki pandangan yang khas mengenai bagaimana hidup berdampingan dengan agama lain dalam sebuah negara. Adapun orang yang berpendapat bahwa hal yang mustahil ketika Islam diterapkan dalam suatu pemerintah mampu mengayomi umat non muslim. Akan terjadi ketimpangan, ketidakadilan dan kerusuhan ketika umat muslim dan non muslim hidup berdampingan dalam sistem pemerintahan Islam. Jika kita kaji lebih dalam, akan  kita dapati betapa aturan Islam telah memberikan panduan rinci bagaimana menangani urusan kaum muslim, juga non-muslim yang disebut sebagai dzimmi. Jaminan keamanan dzimmi yang diberikan pemerintahan Islam telah disampaikan Rasul dalam sabdanya:“Barangsiapa membunuh seorang mu’ahid (kafir yang mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang haq, maka ia tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun”.(HR. Ahmad). Menjaga kehidupan umat muslim dengan dzimmi juga diberikan dalam hal beribadah. Tidak ada pelarangan apalagi pemaksaan untuk memeluk Islam. Allah berfirma dalam Al –Qur’an surat Al- Baqarah ayat 256 “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)”.

Sejarah pun membuktikan keharmonisan umat muslim dengan umat lain dalam sebuah sistem pemerintahan Islam. Bahwa T.W. Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam, menuliskan, “Perlakuan pada warga Kristen oleh pemerintahan Ottoman -selama kurang lebih dua abad setelah penaklukkan Yunani- telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa. Kaum Kalvinis Hungaria dan Transilvania, serta negara Unitaris (kesatuan) yang kemudian menggantikan kedua negara tersebut juga lebih suka tunduk pada pemerintahan Turki daripada berada di bawah pemerintahan Hapsburg yang fanatik; kaum protestan Silesia pun sangat menghormati pemerintah Turki, dan bersedia membayar kemerdekaan mereka dengan tunduk pada hukumIslam… kaum Cossack yang merupakan penganut kepercayaan kuno dan selalu ditindas oleh Gereja Rusia, menghirup suasana toleransi dengan kaum Kristen di bawah pemerintahan Sultan.”

Penjagaan dalam harmonisasi yang sempurna antar umat beragama tentu dapat kembali kita rasakan ketika penjaga negeri ini memahami pentingnya hidup dalam aturan illahi. Menjadikannya sebagai standar dalam setiap pengambilan keputusan negeri. Tentu ini bukan ada di negeri seribu mimpi. Juga bukan sekedar teori. Hanya akan bisa terealisasi dengan mengganti aturan manusia dengan aturan dari sang pemilik Bumi ini. Perlindungan sejati terhadap umat pun tidak lagi menjadi mimpi. Semoga negeri ini segera memiliki misi perlindungan sejati dibawah payung aturan Islam yang hakiki. [syahid/voa-islam.com]

Penulis: Desmaniar Ika T, S.E. (Guru SMK PGRI 2 Bojonegoro)


latestnews

View Full Version