View Full Version
Kamis, 17 Dec 2015

Papua, Ladang Emas dan Hidup Manusia yang Penuh Susah

Oleh : Raidah Athirah

Banyak yang memberitakan tentang Papua tetapi sayangnya bukan tentang manusia yang kurang gizi, fasilitas kesehatan yang sangat minim atau sekadar rumah peradaban yang sederhana bernama sekolah .

Kematian berpuluh bayi dan wabah penyakit seakan sudah menjadi bahasa harian kehidupan manusia di Papua. Di waktu bersamaan elit-elit politik hanya meracau tentang pendapatan yang pada realitanya memunculkan tanya: Untuk siapa pendapatan itu ?

Angka buta huruf, penyakit gizi buruk dan sarana pendidikan yang jauh dari kesan layak, belum lagi beragam konflik sosial, semuanya karena kemiskinan yang terstruktur .

Dulu saya berpikir bahwa program transmigrasi yang memindahkan manusia yang padat ke tempat yang sedikit manusianya merupakan solusi pembangunan terutama di Papua .Nyatanya ini solusi parsial yang melahirkan masalah baru .

Perkelahian sering bahkan hampir selalu kita dengar antara penduduk lokal dan pendatang karena kecemburuan sosial dan ekonomi. Siapa yang ridho melihat kemiskinan tak ada ujung menimpa nasib jutaan orang asli Papua? Di saat yang sama ribuan ton batangan emas atau bahkan yang lebih berharga dari itu diangkut atas nama kebanggaan teknologi .

Lalu, keuntungannya untuk siapa?

Seharusnya manusia asli Papua berdiri di atas ladang emasnya dengan kemampuan mengerti akan teknologi, cara mengelola sumber daya alam dan paham betul mata uang asing. Namun realitanya adalah sebaliknya, bahkan orang selalu membentuk image Papua dengan kehidupan keterbelakangan 'Koteka & Hanoi'. Sementara para garong berdasi mengeruk sumber-sumber emas tiada henti.

Mengapa bukan anak-anak daerah yang dididik, dibangun dan kemudian diberikan peluang mengelola sumber daya yang ada? Lagi-lagi karena konspirasi politik. Bila anak manusia Papua semuanya cerdas, maka akan susah merampok sumber daya mereka.

Masihkah kita ingat pelajaran sejarah SD tentang tujuan kedatangan bangsa asing ke Indonesia? Sederhana saja yakni 3 G ,Gold ,Glory dan Gospel. Mencari kekayaan kalau bisa merampoknya. Dan kekayaan selalu identik dengan emas bukan uang kertas.

Kekayaan masih tak cukup untuk menghentikan rasa kehausan manusia-manusia garong. Ada satu hal lagi yakni mencari kekuasaan dan menguasai sumber daya. Yang akhir dari tujuan ini adalah penjajahan baik secara ekonomi maupun politik. Peradaban yang akan muncul adalah pemilik ladang emas menjadi budak di tanah sendiri.

...orang selalu membentuk image Papua dengan kehidupan keterbelakangan 'Koteka & Hanoi'. Sementara para garong berdasi mengeruk sumber-sumber emas tiada henti...

Hal lain adalah menyebarkan agama. Dalam pemikiran kita agama akan menjadi benteng terhadap tindakan manusia untuk lebih beradab. Nyatanya agama malah menjadi komoditas politik .

Media terkadang berpihak bahkan menyembunyikan fakta tentang kehidupan manusia di Papua. Betapa ironis dan paradoks kehidupan pemilik ladang emas yang nota bene masyarakat Papua dibandingkan dengan para pengeruk rakus yang berdiri atas nama investor asing. Belum lagi kisah tragis (anak) rakyat yang dijual oleh (orang tua) pemerintah atas nama pengelolaan sumber daya alam melalui serangkaian penandatanganan kerjasama dengan dalih INVESTASI.

Bak sebuah pribahasa "ayam mati di lumbung padi". Begitulah pribahasa yang menggambarkan kehidupan manusia di Papua. Dikenal tapi tidak dipedulikan. Diambil emasnya tapi ditinggalkan hancur pada lingkungan kehidupan. Yang tersisa hanya kerusakan dan kesusahan.

Berita tentang Papua hanya berkisar tentang gunung emas yang dikeruk tiada henti dan euforia politik. Selebihnya promo wisata tentang tanah-tanah surga yang mempesona .

Belum lagi drama Papua yang melahirkan "Scene Papa Minta Saham" kalah tenar dengan berita prostitusi artis. Begitu mudahnya konspirasi politik dan media massa membuat kita lupa, bahkan hilang ingatan untuk memikirkan kehidupan manusia di Papua.

*****

Rasa hormat dan salut pantas diberikan kepada orang-orang yang mendedikasikan hidupnya di tanah Papua. Mereka jJauh dari keluarga, fasilitas dan ketenaran. Hanya ada satu rasa yakni keikhlasan untuk mengabdi. Sayangnya, pengabdian ini minim perlindungan dan dukungan.

Kisah para dokter yang meninggal, guru yang hidupnya sangat memprihatinkan, dan TNI yang berjuang menjaga perbatasan dan keamanan. Tanyalah para Dai yang tak mengenal publikasi mengajarkan Islam di tanah Papua! Mereka manusia berhati emas yang dipilih untuk mengabdi di tanah emas walau lelah mereka tak dihargai layaknya logam emas.

Mengapa tak pernah ada solusi untuk kehidupan layak bagi manusia-manusia di Papua?  Di sana, seakan manusia tak dianggap. Kehidupan di sana tak selalu jadi prioritas bagi Jakarta. Raja-raja daerah sibuk mengamankan kenyamanan diri sendiri dan keluarga. Sehingga, jangan heran kalau sering muncul gejolak di tanah bergelimang emas ini.

Gejolak ini di kemudian hari bisa menjadi bom waktu ketika rasa lapar sudah di puncak rasa. Lalu, siapa yang beruntung atas gejolak ini? Orang di luar rumah atau orang asinglah yang sedang menunggu untuk merampok semua emas yang berada di bawah tanah rumah/Indonesia.

Kita sebut orang Papua saudara tapi perilaku dari ibukota tak benar-benar hadir sebuah kepedulian, dari masa ke masa. Saatnya kini kepedulian itu hadir dengan melek terhadap kasus perpanjangan izin Freeport.

Apa yang disumbangkan oleh pengeruk -pengeruk gunung emas kepada tanah Papua?

Adakah selama bertahun-tahun gurita Freeport mengambil emas menjadikan manusia di Papua mengalami pertumbuhan pendidikan dan ekonomi?

Ada yang bilang orang awam tak mengerti jalannya politik. Apakah raja-raja daerah hasil dari pilkada bisa diharapkan menjadi pelindung bagi anak-anak tanah emas atau sebaliknya menjadi pendukung perampok rakyat?

Saya bukan orang Papua, tetapi saya adalah putri dari timur yang sekian tahun hidup bersahabat dengan teman-teman dari Papua. Saya benar-benar mengagumi rasa hangat sebuah pertemanan, yang menyaksikan perjuangan anak-anak daerah berjuang untuk pendidikan.

Saya peduli Papua. Saya inginkan anak -anak Papua menjadi tuan di negeri sendiri. Di ladang emas seharusnya hidup mereka tak perlu susah.

Peduli seharusnya melahirkan tindakan. Tindakan untuk sama-sama sadar akan berharganya hidup manusia dari garong-garong berdasi baik nasional maupun internasional.

 

Kota Ambon Manise ,16 Desember 2015

Editor: RF


latestnews

View Full Version