Oleh: Ririn Ummi Hanif (Pemerhati Ibu dan Anak – Gresik)
Sahabat VOA-Islam...
CIA World Factbook 2015, menempatkan Indonesia sebagai negara berpenduduk terbesar ke-4 di dunia, yakni 255 juta jiwa dengan laju pertumbuhan 1,32%.
Kondisi kependudukan Indonesia juga pernah dipaparkan oleh PLH Deputi Bidang Pelatihan dan Pengembangan BKKBN Ida Bagus Permana dalam Lokakarya Wartawan dengan Jajaran Pejabat Badan Keluarga Berencanan Nasional (BKKBN) Pusat di Cimacan, Cianjur, JABAR, tahun 2015 lalu.
“Indonesia akan mendapatkan bonus demografi, yaitu jumlah usia angkatan kerja (15-64 tahun) mencapai sekitar 70 persen, sedang 30 persen penduduk yang tidak produktif (usia 14 tahun ke bawah dan usia di atas 65 tahun) yang akan terjadi pada tahun 2020-2030. Namun, jika bangsa Indonesia tidak mampu menyiapkan akan terjadinya bonus demografi, seperti penyediaan lapangan kerja dan peningkatan kualitas SDM seperti pendidikan yang tinggi dan pelayanan kesehatan dan gizi yang memadai, maka akan terjadi permasalahan, yaitu teradinya pengangguran yang besar dan akan menjadi beban negara”. (AntaraNews, okt 2015).
Memantapkan langkah untuk menghadapi ledakan penduduk ini, maka pada akhir Januari 2016 lalu, diadakan Konferensi Internasional Keluarga Berencana ke-4 di Bali. Dalam sambutannya presiden Joko Widodo menegaskan bahwa KB menjadi investasi strategis untuk memastikan kesehatan generasi masa depan dan pencapaian kemakmuran dunia. Program KB menjadi satu investasi untuk generasi yang akan datang karena diasumsikan bahwa keberhasilan KB akan menekan laju pertumbuhan penduduk.
Pemerintah kapitalis selalu beranggapan bahwa besarnya jumlah penduduk menyebabkan naiknya biaya pendidikan, kesehatan dan lain – lain yang harus ditanggung pemerintah
Rendahnya pertumbuhan penduduk dianggap akan mengurangi beban negara untuk membiayai rakyatnya. Pemerintah kapitalis selalu beranggapan bahwa besarnya jumlah penduduk menyebabkan naiknya biaya pendidikan, kesehatan dan lain – lain yang harus ditanggung pemerintah. Sehingga mereka akan fokus menyelesaikan masalah kependudukan dengan cara mengurangi jumlah penduduk. Konsep ini juga berusaha ditanamkan kepada keluarga – keluarga yang ada, bahwa jika anak sedikit, maka biaya kesehatan, pendidikan dan lain – lain akan lebih sedikit sehingga mereka bisa menabung untuk masa depan.
Adapun langkah – langkah yang telah diambil pemerintah untuk mensukseskan program KB ini adalah dengan menyediakan dana sebesar 3,8 M pada anggaran 2016 (TribunNews.com, 25/9/2015) dan kerja sama dengan lembaga asing The Bill and Melinda Gates foundation, yang akan memberi bantuan sebesar USD 120, yang diberikan sampai tiga tahun mendatang (beritasatu.com, 28/01/2016). Langkah praktisnya, akan dibentuk kampung – kampung KB dengan edukasi massif bagi, kader PKK, Posyandu, PKB/PLKB, bidan maupun dokter. Program utamanya adalah tercapainya penekanan jumlah pertumbuhan penduduk melalui program KB terjangkau bahkan gratis.
Data kependudukan Indonesia juga diterjemahkan kementrian PP dan PA dengan nada yang seirama. Pada 13 Oktober 2015, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengeluarkan pernyataan pers yang berjudul Peningkatan Perempuan Guna Memantapkan Bonus Demografi. Pernyataan pers ini menggarisbawahi pentingnya peran perempuan untuk memantapkan potensi bonus demografi di Indonesia.
“Bonus demografi memiliki 4 prasyarat, salah satunya adalah partisipasi perempuan dalam pasar kerja harus ditingkatkan,“ ujar Yohanna Yembise, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Ia menekankan bahwa potensi perempuan dalam ketenagakerjaan lebih besar dibandingkan laki-laki. Namun, potensi tersebut belum dioptimalkan peran dan partisipasinya dalam pasar kerja.
Ini menarik, narasi kebijakan pemerintah dunia termasuk Indonesia, hanya menerjemahkan hubungan bonus demografi dan kesetaraan gender – semata dalam bahasa ekonomi, yakni jumlah penduduk yang banyak akan membebani negara. Sehingga harus ada upaya bagaimana mengurangi penduduk. Dan jika ledakan penduduk sudah terlanjur terjadi, minimal bagaimana potensi pemuda usia produktif (termasuk perempuan) bisa memberi keuntungan bagi pembangunan ekonomi di negeri Muslim terbesar ini.
Konsep depupolasi (pengurangan jumlah penduduk), kalau dicermati lebih dalam sebenarnya kurang tepat digunakan untuk menentukan sejahtera – tidaknya sebuah bangsa. Kesejahteraan amat dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu faktor terpentingnya adalah sistem distribusi kekayaan negara. Selama sistem ekonomi tidak dibangun berdasarkan politik ekonomi yang menjamin terpenuhinya kebutuhan individu per individu, kesejahteraan individu tetap merupakan sebuah mimpi. Hal ini bisa dilihat dari data Bank Indonesia. Rasio gini Indonesia sampai desember 2015 sebesar 0,41.
Ini menunjukan adanya ketimpangan ekonomi sebesar 41%, artinya hanya ada 1% rumah tangga di Indonesia yang menguasai 41% kekayaan di Indonesia. Sehingga PR besar Indonesia sebenarnya adalah bagaimana cara negara mengatur distribusi kekayaan, agar semua rakyat bisa terpenuhi kebutuhan utamanya. Dan hal ini tidak ada kaitannya dengan berapa jumlah penduduknya. PR selanjutnya adalah membuka seluas – luasnya lapangan pekerjaan bagi para lelaki agar kebutuhan keluarga bisa tercukupi.
Di sisi lain, politik depopulasi akan membawa dampak ikutan di tahun – tahun yang akan datang, karena pada suatu titik tertentu akan menghasilkan komposisi penduduk yang tidak seimbang. Tengok saja Cina dan Singapura, kebijakan negara untuk membatasi jumlah anak rakyatnya telah membawa dampak cukup serius. Cina banyaknya penduduk usia lanjut yang tidak terawat. Sementara singapura menghadapi kekurangan tenaga kerja produktif dari anak bangsa sendiri.
Dan yang tidak kalah menariknya adalah upaya menarik kaum perempuan untuk ikut terjun di dunia ekonomi, seperti yang disampaikan oleh mentri PP dan PA. Pemerintah Indonesia seakan tak mampu melihat hubungan strategis antara peran keibuan kaum perempuan dan kualitas generasi. Berapa banyak contoh yang harus dipaparkan untuk menunjukan hubungan kualitas seorang ibu dengan kualitas anak – anaknya?
Bukankah dengan menjamin fitrah peran keibuan tetap efektif di masyarakat dengan dukungan sistem pendidikan, sosial dan ekonomi dari sebuah negara dapat memastikan keberlanjutan lahirnya generasi umat terbaik? Seharusnya pemberdayaan utama perempuan, adalah optimasi perannya sebagai penjaga peradaban dan pendidik generassi masa depan BUKAN sebagai angkatan kerja.
Di sisi lain ambisi terhadap pertumbuhan ekonomi – membuat penguasa negeri ini menumbalkan kualitas generasi mudanya hanya karena memandang mereka sekedar sebagai pekerja dan mesin pertumbuhan ekonomi, bukan sebagai generasi pembangun peradaban yang memiliki integritas kepribadian yang luhur.
Atau sebenarnya sistem kapitalis telah menemukan titik kritisnya, yakni tidak lagi mampu menyelesaikan persoalan manusia yang terus berkembang
Dari sini, cukuplah bahan untuk kita merenungkan kembali, masihkah sistem kapitalis ini mampu menyelesaikan setiap permasalah negeri ini dengan solusi yang tidak mendatangkan masalah baru? Atau sebenarnya sistem kapitalis telah menemukan titik kritisnya, yakni tidak lagi mampu menyelesaikan persoalan manusia yang terus berkembang.
Sehingga butuh alternatif baru dari sudut pandang kita? Belum saatnyakah kita semua melihat solusi yang selalu ditawarkan Islam dalam segala masalah kehidupan? Wallua’lam bi ash showab. [syahid/voa-islam.com]