Oleh: Fadh Ahmad Arifan*
Sahabat VOA-Islam...
Sepulang dari MTs Muhammadiyah 2 kota Malang, saya bergegas menuju acara Memorial Lecture dan peluncuran buku terakhir Prof Dr H. Muhaimin MA. Buku terakhir karangan almarhum ini berjudul, “Model pengembangan kurikulum dan Pembelajaran dalam pendidikan Islam kontemporer” (Malang: UIN Maliki Press, 2016).
Di dekat pintu masuk Auditorium Pascasarjana UIN Malang, saya sempatkan beramah tamah dengan mas Prayudi, Ia adalah alumni S1 di Fakultas syariah UIN Malang. Kemudian mengisi daftar hadir, melengkapi data alumni dan menerima buku dari staf yang berjaga di depan pintu auditorium.
Lewat memorial lecture inilah saya baru tahu kalau almarhum semasa hidupnya telah mendirikan LKP2-I (lembaga konsultasi dan pengembangan pendidikan islam) yang lokasinya berada di jl. Tirto mulyo no 66 C, landungsari-Malang. Pernah pula menjadi konsultan pengembangan MTsN babat Lamongan dan penguji tamu di University of Malaya, Kuala Lumpur. Tiap menjadi narasumber dalam diklat maupun bimtek K-13, beliau selalu memberikan nasehat dan hal-hal baru kepada para guru yang menjadi peserta diklat.
"Hendaknya para guru pendidikan agama di madrasah/sekolah tidak perlu takut melakukan perubahan mindset agar PAI kedepan setara bahkan diminati daripada ilmu ilmu lain".
Almarhum di dalam buku terakhirnya yang dirilis awal bulan April ini memuat banyak nasehat untuk guru PAI baik yang mengajar di madrasah maupun sekolah negeri, "Misi utama pendidikan adalah Liutammima makarim al-akhlaq" yakni memperbaiki dan menyempurnakan akhlak manusia. Memperbaiki akhlak bisa digapai dengan mengintegrasikan ajaran agama dengan bidang pengetahuan dan keterampilan, yang hasilnya diharapkan dapat mewujudkan manusia cerdas, inovatif dan terampil tetapi juga baik perilakunya menurut pandangan agama (Muhaimin, 2016, hal xv).
Pendidikan agama menurut Prof Muhaimin bukan hanya menjadi tugas guru agama saja, tetapi merupakan tugas bersama antara Kepala sekolah, guru agama, guru mapel umum, seluruh aparat sekolah, orangtua murid dan masyarakat sekitar (Muhaimin, hal 104). Hemat saya, sukses tidaknya pendidikan agama tergantung keterlibatan pihak sekolah dan komunitas disekitarnya.
Selian itu, almarhum menulis dalam bukunya, seorang guru PAI ketika datang ke madrasah, sedikitnya harus memiliki 3 bekal penting, yaitu: Pertama, selalu siap dengan materi yang diajarkan. Kata Prof Muhaimin, “guru yang baik tak kalah rajin belajarnya ketimbang peserta didik”.
Seorang guru yang baik ketika masuk ruang kelas mesti dengan hati. Dengan energi dan getaran cinta kepada anak-anak
Kedua, Keterampilan mengimplementasikan metode pembelajaran yang efektif dan menyenangkan. Bertolak dari prinsip ini, dikenal adanya joyful learning, pembelajaran menyenangkan, tetapi bukan berarti santai banget. Sejalan dengan konsep joyful learning, maka ruang kelas harus didesain senyaman mungkin. “Ruang kelas yang semerawut dan cat temboknya kusam akan mempengaruhi pikiran dan hati peserta didik.” Begitulah nasehat almarhum.
Ketiga, kesiapan mental berupa cinta kepada anak-anak. Seorang guru yang baik ketika masuk ruang kelas mesti dengan hati. Dengan energi dan getaran cinta kepada anak-anak. Karena itulah almarhum berkata: “Mengajar tanpa hati akan terasa hambar, anak anak pun tidak akan mendengarkan sepenuh hati”. (Muhaimin, hal 106-107).
Sebelum menutup artikel ini, ada satu hal yang tidak saya sepakati dari pemikiran almarhum. Contohnya mengusulkan pengembangan PAI yang berwawasan inklusif. Selama ini, hal-hal berbau “inklusif” dipasarkan gerombolan liberal yang menyebar di UIN/IAIN. Sasaran tembaknya adalah kalangan yang berusaha mengamalkan ajaran islam semaksimal mungkin sehingga dicap “radikal”, “fundamentalis” dan “garis keras”.
Dalam pembahasan PAI berwawasan inklusif, almarhum mengingatkan agar guru PAI waspada terhadap kegiatan-kegiatan keagamaan yang bersifat negatif. Yang almarhum anggap negatif masih seputar stigma “radikal” tadi. Dengan gamblang di dalam bukunya, almarhum menulis.
“Saat ini terdapat isu isu rekruitmen anggota gerakan radikal melalui Rohis atau anggota jamaah Islam di sekolah telah berjalan secara clandestine. Pola yang dilakukan melalui sistem Mentoring tertutup dan juga melalui penculikan. Pembinaan terhadap mereka dengan cara brainwash, menanamkan fanatisme buta serta memberikan doktrin kelompok lain salah bahkan dikafirkan, dan hanya kelompoknya yang benar” (Muhaimin, hal 87-88).
Harap diingat, Rohis bukanlah jamaah Islam yang awal tahun 2000-an menjadi kambing hitam proyek terorisme di Indonesia. Rohis yang tersebar di sekolah maupun kampus tidak melakukan mentoring tertutup apalagi penculikan seperti NII KW-9. Cuci otak juga tidak ada. Yang diajarkan ialah materi dasar-dasar keislaman. Buku-buku rujukannya bisa dibeli dengan mudah di toko buku. Buku Dr. Yusuf Qardhawi, Dr. Aid al-Qarni dan Dr. Kuntowijoyo. Rohis tidak mengajarkan paham takfiri seperti Syiah. Wallahu’allam. [syahid/voa-islam.com]
*) Penulis adalah alumni jurusan Studi ilmu Agama Islam di Pascasarjana UIN Malang