Oleh: Eka Sugeng Ariadi
(Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya)
Kata Wedhus berasal dari Bahasa Jawa, yang artinya (hewan) kambing dalam bahasa Indonesia, atau sheep di Bahasa Inggris. Ketika menyebut kata ini dalam Bahasa Inggris, maka film tentang Shawn the Sheep akan muncul dibenak kita dan terasa sudah kadaluarsa, mungkin mata dan telinga anak-anak juga sudah tidak tertarik melihatnya. Kalau menyebutnya dalam Bahasa Indonesia, mungkin pikiran kita akan melayang ke aneka macam kuliner, seperti sate/gule kambing dan berbagai olahan yang lain.
Yang menarik, ketika beberapa hari ini, jenis hewan ini (bak artis) mendadak sangat akrab di mata dan telinga kita, karena namanya menjadi lirik sebuah lagu dan dilantunkan juga dalam bahasa sehari-hari orang Jawa. Di kota dan segala macam tempat termasuk juga kendaraan umumnya, di desa dan segala jenis kegiatannya, serta penikmatnya mulai dari balita hingga orang tua, menyukai lantunan kata ini. Stakatonya yang rancak membuat kaki dan tangan tidak bisa diam dan (bisa juga) kembali semangat kerja. Ah, uforia ini mungkin hanya sementara, tapi bisa juga malah akan melegenda.
Dalam essai ini, penulis melihat Wedhus sudah dalam posisi beranjak menjadi Doxa di masyarakat, lebih dari sekedar penggunaannya secara denotatif dalam Bahasa Indonesia. Populerisasi kata Wedhus lewat lagu berjudul Wedhus dan konotasi yang diberikan, mau tidak mau, disadari atau tidak telah melahirkan dan menaikkannya ke tingkat pemaknaan yang lebih tinggi dari makna denotasi dan (bahkan) konotasinya. Jelas, denotasi kata Wedhus adalah (hewan) kambing, sedangkan konotasi (yang telah dibuat dan akan diyakini oleh masyarakat sekarang) adalah menikah dan menjadi pasangan suami-istri.
Lawan makna konotasinya (bukan lawan denotasi) dalam lirik lagu tersebut tak lain adalah sate, sebagaimana dalam lirik pertama, “Mending tuku sate timbang tuku wedhuse.” Di luar dugaan, barangkali, kata sate ini telah bergeser pula dari makna dari denotasinya sebagai salah satu jenis makanan, menjadi istilah untuk orang yang hanya ingin pacaran, bahkan gonta-ganti pacar, tanpa harus repot-repot menikah. Demikianlah simpulan yang tersirat dari lirik, “Mending tuku sate timbang tuku wedhuse, Mending gendakan timbang dadi bojone.”
Kembali ke Doxa, sebagaimana dipopulerkan oleh Roland Barthes. Ahli semiotik bahasa, pengikut Ferdinand de Saussure ini mendefinisikannya sebagai “a kind of unconscious’ and as such is ‘the essence of ideology’. Penulis memahami Doxa adalah sesuatu yang awal keberadaan dan kehadirannya tidak sadari (di alam bawah sadar), namun seiring berjalannya waktu menjadi esensi dari suatu ideologi. Graham Allen menjabarkan ide Barthes sebagai berikut, “the doxa is a stereotypical meaning, a fragment from the intertextual environment of the social text, constituted by established discourses, by the already written and the already read.”
Singkatnya bisa disimpulkan bahwa makna denotasi dan konotasi suatu kata akan naik ke level Doxa, jika makna kata tersebut secara tidak disadari telah/dalam proses menjadi suatu cara pandang hidup suatu kelompok masyarakat akibat dari perkembangan wacana-wacana sosial yang tersebar di berbagai media cetak maupun elektronik.
Dalam konteks kehidupan sosial masyarakat kita, sebenarnya bukan hanya makna dari kata Wedhus dan Sate yang telah beranjak levelnya menjadi Doxa, ada beberapa kata yang mengalami hal sama, tentu muncul sesuai konteksnya masing-masing. Misalnya: Cecak dan Buaya (muncul dalam ranah politik), Balon (muncul dalam ranah sosial), Rompi Kuning (dalam ranah hukum), dan sebagainya.
Hemat penulis, urgensi dan benang merah dari uraian singkat diatas, bukanlah semata teori dan proses pergeseran level makna suata kata, akan tetapi ada semacam kekhawatiran yang sangat terhadap kebebasan berkreasi dan berinovasi dalam bermain-main makna kata tanpa ada kontrol masyarakat dan regulasi yang baik dari pemerintah. Fenomena sosial dalam merebaknya lirik lagu Wedhus dan Sate di tengan-tengah kampung, di dekat sekolah-sekolah, di pusat-pusat keramaian, disadari atau tidak, dua kata ini lambat laun akan menjadi semakin populer dan ending-nya mengkristal menjadi pandangan hidup (ideologi) masyarakat kita, sebagaimana teori yang dikemukakan oleh Roland Barthes dan Graham Allen.
Sebagai akhir essai ini, sedikit informasi saja, bahwa telah masyhur gaya pergaulan remaja kita saat ini sangat bebas, tanpa peduli segala macam norma, yang penting bisa berbuat sesukanya. Data secara nasional dari Komisi Perlindungan Anak tahun 2015, tentang perilaku seksual anak SMP dan SMU, menyebutkan bahwa 93,7% anak-anak ini pernah ciuman, petting, dan oral seks.
Sebanyak 62,7% yang masih remaja SMP tidak perawan, 21,2% remaja (yang masih) SMU pernah aborsi dan 97% mereka mengaku pernah nonton film porno. Karenanya, penulis sangat berharap bisa menyelamatkan generasi muda sebanyak-banyaknya (termasuk anak kandung kita sendiri) dengan cara memberikan makna kata yang baik dan bermanfaat sehingga kelak pun menjadi ideologinya sendiri dan masyarakatnya, tentu agar kualitas kehidupan seluruhnya menjadi lebih baik. Setuju?