View Full Version
Selasa, 10 May 2016

Mencermati Efektifitas Peraturan Miras dalam Kubangan Kriminalitas

Oleh: Ririn Umi Hanif (Pemerhati Ibu dan Anak)

Beberapa pekan lalu, dunia maya diramaikan dengan hastag #nyalauntukyuyun. Yuyun siswi SMP yang cerdas dan mahir baca Al Quran tewas mengenaskan diperkosa 14 pemuda tanggung pada 4 april 2016 lalu. Mereka melakukan perbuatan bejatnya setelah mabuk berat tuak yang ternyata dijual bebas di Bengkulu.

Yuyun dan keluarganya yang miskin tinggal di Desa Kasie Kasubun, Kecamatan Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rejang Lebong , Propinsi Bengkulu. Biro Pusat Statistik 2015 menunjukkan bahwa Bengkulu adalah propinsi termiskin di Sumatra. Menyusul di bawahnya, propinsi Aceh. 17,16 persen penduduk Bengkulu miskin diatas rata-rata nasional yang 11,13 persen. Dari 1533 desa dan kelurahan di Bengkulu, 48 persennya atau 670 desa adalah desa terisolir yang masuk dalam kategori Desa Tertinggal.

Kemiskinan disinyalir telah memicu sejumlah kejahatan di Bengkulu, termasuk kejahatan seksual. Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ( BP3A) Provinsi Bengkulu, Ir Diah Iryanti mengatakan sepanjang tahun 2015 hingga sekarang, tercatat sebanyak 513 kasus perkosaan terjadi di Provinsi Bengkulu, tapi kasus Yuyun yang terparah, karena pelakunya mencapai 14 orang. Ini artinya, setidaknya dua kali perkosaan terjadi setiap hari di propinsi ini.

Malangnya, baik pemerintah propinsi, kabupaten dan desa seolah tidak berdaya mengatasi kemiskinan dan kejahatan di wilayahnya. Ketidak berdayaan itu sangat kentara dengan lumpuhnya pemerintahan disana dalam menghambat peredaran tuak.

Kasus yuyun sebenarnya bukanlah satu - satunya kasus kriminalitas yang terjadi  akibat minuman keras. Telah jamak di media pemberitaan serupa, meski memang kasus yuyun begitu menguras emosi. Di sisi lain, masyarakat dan terlebih pemerintah seakan menderita amnesia. Kasus yang berulang tidaklah dijadikan pelajaran berharga. Pengusutan kasus - kasusnya hanya berakhir dengan penjara ataupun denda,  Tanpa menyentuh sumber utama.

Permasalahan minuman keras di Indonesia, sesungguhnya berpangkal dari penerapan sistem kapitalisme. Sistem ini akan membuka ruang bermunculannya bisnis haram termasuk minuman keras. Prinsipnya, selama ada permintaan pasar, menguntungkan bagi pengusaha dan ada pemasukan buat negara, maka bisnis apapun termasuk yang merusak masyarakat akan difasilitasi. Alasan inilah sesungguhnya yang menjadi latar belakang terbitnya Keppres No. 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Keppres inilah yang membuka ruang bagi para pengusaha untuk memproduksi minuman beralkohol dengan izin dari Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Pasal 2). Selain itu, Keppres ini pun membedakan minuman beralkohol yang termasuk dalam kategori barang dalam pengawasan dan yang tidak diawasi. Minuman beralkohol yang diawasi adalah yang kadar alkoholnya antara 5% hingga 55% (golongan B dan C), adapun yang kadar alkoholnya 1%-5% (golongan A) tidak termasuk dalam pengawasan (pasal 3). Itu artinya, minuman yang kadar alkoholnya 5% atau di bawah itu, bebas dijual tanpa ada pembatasan tempat.

Bisa dilihat, Keppres ini menyisakan banyak ruang untuk bebas beredarnya minuman keras. Sangat bisa dipahami jika banyak kriminalitas terjadi dikarenakannya. Bagi kita di Jawa, kasus yuyun terjadi jauh di Bengkulu sana. Tapi esok, tidak ada yang bisa menjamin, kita, anak kita atau orang - orang yang kita cintai menjadi yuyun - yuyun berikutnya. Masihkah kita menunggu kejadian menakutkan ini menimpa kita? Mashkah kita menunggu menjadi korban kebuasan  kapitalisme? Belum saatnyakah kita semua merenungkan solusi yang ditawarkan islam untuk mengatasinya?

Syariat Islam jelas mengharamkan minuman keras (khamr) (Al-Maidah [5]: 90) dan memandang meminum khamr sebagai kemaksiatan besar dan pelakunya harus dijatuhi sanksi had. Adapun hukuman bagi peminum khamr adalah dijilid 40 kali dan bisa lebih dari itu. Islam juga mengharamkan dan menghilangkan semua hal yang terkait dengan khamr, mulai dari perizinan, produksi (pabrik), distribusi (toko yang menjual minuman keras), hingga yang meminumnya. Semuanya dilaknat Allah swt. Dalam hal ini, pemerintah wajib mengambil kebijakan mencabut Keppres 3/1997 dan menggantinya dengan kebijakan yang melarang total miras mulai dari hulu hingga hilir.

Bahaya khamr dan semua keburukan akibatnya hanya akan bisa dihilangkan dari masyarakat dengan penerapan syariah Islam secara utuh. Karena itu, impian kita akan masyarakat yang tentram, bersih, bermartabat dan bermoral tinggi, hendaknya mendorong kita melipatgandakan perjuangan untuk menerapkan syariah Islam dalam bingkai sistem politik yang diemban oleh sebuah negara. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version