View Full Version
Selasa, 14 Jun 2016

Melarang Minuman Beralkohol Aja Kok Repot

Oleh: Muhammad Amilurrohman (Lajnah Siyasiyah HTI Surabaya)

Masih teringat kasus perkosaan yang terjadi pada Yuyun (14) di Bengkulu? Perkosaan keji terhadap Yuyun yang dilakukan oleh 14 pemuda hingga sampai membuatnya tewas.Sebelumnya pun puluhan orang tewas karena minuman oplosan dan tindakan kriminal lainnya akibat konsumsi minuman alkohol. Terhadap kasus tersebut, Mabes Polri menyoroti bahwa minuman keraslah yang menjadi faktor utama tindakan kekejian terhadap korban.

"Pemda harus mengeluarkan peraturan daerah agar tidak konsumsi tuak. Tidak ada alasan lagi untuk menahan perda ini," tegas Korps Bhayangkara.(http://www.jawapos.com/read/2016/05/07/27221/berkaca-dari-kasus-yuyun-polri-tak-ada-alasan-untuk-tidak-keluarkan-perda-miras/1 )

Opini terus bergulir hingga sampai pada pengesahan perda terkait larangan minuman beralkohol oleh beberapa PEMDA, salah satunya adalah PEMDA Surabaya. Raperda Pelarangan Minuman Beralkohol (Mihol) akhirnya disahkan menjadi Perda Pelarangan Mihol dalam Sidang Paripurna DPRD Surabaya, Selasa (10/5). Dalam sidang tersebut sudah disepakati bahwa di Surabaya dilarang untuk peredaran mihol, baik itu kegiatan produksi maupun konsumsi (http://radarsurabaya.jawapos.com/read/2016/05/10/1406/surabaya-bebas-minuman-keras )

Hanya saja pengesahan perda ini mendapatkan ancaman pencabutan dari Pemerintah pusat. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) hendak mencabut 3.266 peraturan daerah (Perda) yang dianggap menghambat investasi dan pembangunan. Salah satunya terkait Perda pelarangan minuman keras (miras). Menanggapi hal tersebut, Arwani – selaku Ketua Panitia Kerja (Perja) RUU Minol -  berkata "Perda miras muncul sebagai solusi keasusilaan di masyarakat. Perda miras yang ada, tidak tepat untuk dibatalkan,". ''Apabila alasan yang digunakan adalah peraturan yang lebih tinggi, semestinya Mendagri menyadari dan bersikap arif dengan menunggu selesainya pembahasan,'' Tambahnya lagi. (http://www.jawapos.com/read/2016/05/23/30032/bahas-ruu-minol-mendagri-akan-cabut-3266-perda-miras/2 )

Terkait adanya upaya melarang minuman beralkohol sampai pada pembahasan RUU Miras, Ruhut Sitompul mengatakan bahwa miras golongan A yang memiliki kadar etanol 1-5 persen atau biasa disebut bir masih diperlukan sebagian masyarakat. Terlebih mereka yang berada di daerah dengan cuaca dingin. "Yang hangatkan badan bir kan. Bir itu jangan dibilang minuman keras. Kadar alkoholnya cuma berapa," ujarnya saat dihubungi. (http://www.jawapos.com/read/2016/05/27/30803/dpr-bahas-ruu-miras-ruhut-anggap-itu-cari-sensasi  )

 

Faktor Kesimpang Siruan Larangan

Demikianlah, upaya pelarangan minum-minuman beralkohol mendapatkan hambatan yang cukup kuat justru dari pemerintah pusat. Meskipun dampak kerusakan sudah sangatlah nyata, seperti tragedi pemerkosaan sekaligus pembunuhan yang dialami Yuyun (14), tetaplah tidak bisa dijadikan sebagai pemulus melainkan hanya sebagai pemanas suasana terhadap upaya pelarangan minum-minuman beralkohol. Tidak adanya seiya dan sekata penguasa negeri ini dalam melarang mihol, menunjukan penguasa tidak serius melindungi harkat dan martabat umat manusia. Di sisi lain, kesimpangso=iuran terjadi karena disebabkan oleh tiga hal:

1)  Sistem ekonomi kapitalis mengijinkan seluruh benda-benda yang masih bisa bermanfaat dan dibutuhkan oleh sebagian masyarakat–meskipun itu sedikit–untuk terus diproduksi, didistribusi dan dikonsumsi.

2) Sistem demokrasi–senada dengan sistem ekonomi kapitalis–sebagai sistem pengambilan kebijakan di negeri ini tidak mampu membuat larangan yang tegas terhadap minuman beralkohol selama itu masih bermanfaat dan dibutuhkan. Akibatnya argumen yang disampaikan oleh Ruhut Sitompul bisa dijadikan pijakan untuk menampik larangan tersebut.

3) Peredaran minum-minuman beralkohol juga memberikan keuntungan kepada pemerintah secara materi dalam bentuk cukai 6 Triliun dan pajak hingga 21% http://www.kemenperin.go.id/artikel/11699/Larangan-Jual-Bir,-Pengusaha-Protes-Pemerintah )

Ketiga hal inilah yang menjadi faktor kesimpang siuran larangan minuman beralkohol. Maka, kalaupun ada undang-undang terkait minum-minuman keras, sifatnya hanya mengatur bukan melarang. Sehingga masih memberikan ruang kesempatan bagi pengusaha minol untuk melakukan kegiatannya. Pemda pun tidak bisa melarang 100% peredaran minol di daerahnya. Untuk itulah butuh solusi komperhensif yang menjadikan kehidupan ini bebas dari minol.

 

Ketegasan Sistem Islam

Di dalam sistem Islam, tiga faktor tersebut tidak akan ada. Hal itu dikarenakan tiga hal:

1) Sistem ekonomi Islam menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai standar boleh tidaknya barang dan jasa dijadikan sebagai komoditas perekonomian untuk diperdagangkan. Oleh karenanya, peredaran minol jelas dilarang – meskipun ada sebagian masyarakat yang membutuhkannya –  sebagai wujud implementasi

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaithan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Al Maidah 90).

2) Sistem politik Islam menjadikan kedaulatan berada di tangan Allah SWT bukan di tangan kapitalis, bukan pula di tangan rakyat dan juga penguasa. Benda apa yang telah diharamkan Allah, maka selamanya haram untuk dikonsumsi hingga hari kiamat.

“Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus” (Yusuf 40).

3) Adanya sanksi yang tegas bagi para pelaku minol. Sanksinya hanya satu, yakni cambuk sebanyak 40 kali sebagaimana yang diteladankan oleh Rasul

Dari Anas, bahwasanya Nabi SAW dahulu memukul peminum khamr (sebgai hukuman) dengan menggunakan sandal dan pelepah kurma sebanyak empat puluh kali dera. [HR. Muslim juz 3, hal. 1331]

Selain ketiga hal di atas, kepribadian masyarakat termasuk di dalamnya pengusaha dididik dengan berasaskan pada kepribadian Islam melalui proses pendidikan dari tingkat keluarga, tingkat sekolah hingga tingkat masyarakat. Dengan proses pendidikan semacam itu, tindak tanduk warga termasuk kegiatan usahanya senantiasa menyesuaikan dengan apa yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya bukan semata-mata manfaat materialnya semata-mata.

Dengan sistem ekonomi, politik dan sanksi Islam – serta didukung karakter masyarakat yang Islami – pelarangan minol dari sektor produksi sampai konsumsi bisa ditegakkan dengan mudah. Kemudahannya seperti seseorang yang hendak menegakkan puasa, tidak memerlukan pembentukan panitia khusus pembahasan RUU yang menghabiskan anggaran negara – itu pun kemungkinan besar menghasilkan keputusan yang tidak tegas dan jauh dari kesempurnaan.

Maka sudah sewajarnya, upaya perjuangan menerapkan syariah harus disertai dengan menegakkan khilafah. Hal itu dikarenakan, di alam demokrasi, jangankan menerapkan syariah Islam secara total, menerapkan hukum yang jelas keharamannya dan kerusakannya juga berlangsung alot sekali. Melarang minol aja kok repot! Wallahu a’lam Bisshawwab. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version