View Full Version
Rabu, 15 Jun 2016

Optimalisasi Peran Orang Tua dalam Pendidikan Anak

Oleh: Adi Permana Sidik, S.I.Kom., M.I.Kom.

(Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Sangga Buana dan Fisip Unpas)

Seorang anak kecil seumuran anak sekolah dasar, menangis, murung, kecewa, dan kesal saat pulang ke rumah. Ia pulang ke rumah dalam keadaan seperti itu karena dikatakan “gila” oleh teman-temannya saat di sekolah. Begitu ia bercerita kepada ibunya. Setelah mendengar anaknya selesai bercerita, ibunya kemudian tersenyum memeluk anaknya dan mengatakan kepadanya bahwa ia  tidak “gila” justru ia anak yang cerdas.

Ibunya meminta kepada anaknya untuk tidak sekolah lagi dan belajar di rumah saja. Dikemudian hari anak ini benar-benar seorang ilmuwan yang sangat cerdas dan terkenal di seantero dunia. Anak itu adalah Albert Einstein.

Sekitar dua tahun belakangan ini, masyarakat Indonesia, dibuat takjub, bangga, sekaligus terharu oleh seorang anak kecil sekitar berusia 6,5 tahun bernama Musa. Musa yang mengikuti kontes hafidz Quran yang ditayangkan oleh salah televisi swasta ini, adalah hafidz (hafal) 30 Juz Quran. Musa pada April 2016 telah mengharumkan nama Indonesia di dunia Internasional setelah berhasil menjadi juara III Musavaqah Hifzil Quran (MHQ) di Sharm El-Sheikh, Mesir. Prestasi Musa yang membanggakan ini juga sangat besar dipengaruhi besar oleh kedua orang tuanya. Ayah dan Ibunya sangat sabar, tekun, dan sungguh dalam mendidik anaknya.   

Dua kisah singkat di atas, dapat kita simpulkan secara sederhana betapa dahsyatnya peran keluarga utamanya orang tua (ayah dan ibu) bagi pendidikan seorang seorang anak. Di luar dua kisah di atas, tentu aja ada banyak kisah-kisah lainnya yang lebih mengangumkan dan dasyhat bagaimana pengaruh orang tua terhadap pendidikan anak.

 

Optimalisasi Perang Orang Tua

Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa alam keluarga bagi setiap orang (anak) adalah alam pendidikan permulaan. Untuk pertama kalinya, orang tua (ayah maupun ibu) berkedudukan sebagai penuntun (guru), sebagai pengajar, sebagai pendidik, pembimbing dan sebagai pendidik yang utama diperoleh anak. [1]

Entah karena sudah tradisi, atau kekurang pamahaman, atau bisa jadi karena memang adanya ketidakpedulian terhadap pendidikan anaknya sendiri, orang tua saat ini belum memaksilan perannya sebagai tempat pendidikan pertama bagi anaknya. Orang tua saat ini masih berpikiran bahwa sekolah adalah tempat satu-satunya yang dapat memberikan pendidikan yang baik bagi anaknya. Sehingga orang tua merasa sudah berperan ketika sudah memilihkan sekolah yang terbaik bagi anaknya. Setelah itu orang tua tinggal menunggu “hasil” dari pendidikan sekolah tersebut.

Berusaha untuk “memutus” pemahaman di atas, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anis Baswedan satu tahun yang lalu sampai meminta kepada orang tua untuk mengantarkan anaknya pada hari pertama anak masuk sekolah. Kegiatan mengantar anak ini terlihat sepele, tapi ternyata dibalik itu sebenarnya sangat memberikan makna yang sangat mendalam bagi anak maupun proses pendidikan itu sendiri.

 

Bagaimana Cara Mendidik Anak  di Rumah?

Lazimnya sebagai pendidik, maka saat di rumah, orang tua baik itu ayah maupun ibu harus senantiasa memberikan pengajaran kepada anaknya. Pengajaran di sini tentu saja dengan maknanya yang luas. Pengajaran tidak hanya terbatas pada teks-teks yang ada dibuku saja, akan tetapi pengajaran di sini juga  bisa berarti pengajaran tentang sebuah sikap, perilaku, ataupun cara pandang dalam melihat sebuah peristiwa.

Setelah pengajaran, bentuk pendidikan yang harus diberikan kepada anak adalah, pemberian motivasi. Selain sebagai “guru” orang tua juga adalah sebagai motivator bagi anak. Tentu saja, anak tidak akan selalu dalam suasana batin yang terus menyenangkan. Kondisi batin anak adakalanya dalam keadaan kecewa, terpuruk, malas, bahkan tidak menutup kemungkinan stress. Nah, dalam kondisi seperti itulah, peran orang tua sebagai motivator sangat-sangat vital dalam rangka membangkitkan semangat dan batin sang anak, seperti yang dilakukan oleh Ibunya Albert Einstein dalam awal tulisan ini.

Selain itu, bentuk pendidikan orang tua kepada anak, yang tidak kalah pentingnya dari pengajaran dan motivasi adalah keteladan. Karakter orang dewasa maupun anak-anak pada dasarnya adalah peniru, tentu saja dengan derajat tingkatan yang berbeda-beda. Anak adalah peniru ulung. Anak akan senantiasa memperhatikan apa saja yang dilakukan oleh kedua orang tuanya, sedikit ataupun banyak. Jika yang ditiru oleh anak adalah sebuah kebaikan dari orang tuanya, tentu ini sangat bagus untuk pendidikan anak. Namun, akan sangat menjadi masalah besar ketika anak juga meniru perbuatan buruk yang dilakukan oleh orang tuanya.

Oleh karena itu, menguatkan orang tua dalam konteks pendidikan anak adalah sebuah program yang harus segera dilaksanakan. Orang tua dalam konteks pendidik anak, tidak hanya berperan saat anak masih kecil saja, akan tetapi sesungguhnya peran orang tua juga terus belanjut ketika anak mulai remaja, bahkan saat anak sudah mulai berkeluargan.  

So, orang bukan hanya sebagai guru pertama, melainkan guru sepanjang hidup seorang anak. 

 

 

[1] Jailani,  Teori Pendidikan Keluarga dan Tanggung Jawab Orang Tua dalam Pendidikan Anak Usia Dini, Jurnal Pendidik Islam, Vol.8, Nomor 2, 2014, IAIN Walisongo   


latestnews

View Full Version