View Full Version
Senin, 30 Oct 2017

Surat dari Dosenku

Oleh: Desi Purnamasari

(Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga)

Siapa yang tidak kenal Prof. Bambang Tjahjadi? Beliau adalah Kepala Program Studi S3 Akuntansi Universitas Airlangga Surabaya, salah satu jajaran staf pengajar di FEB Unair. Sehingga penulis cukup tercengang mendapati ‘curahan hati’ beliau kepada mahasiswanya yang viral di media sosial. Berikut surat dari beliau:

Surat Untuk Mahasiswaku

Dibanding dulu, aku sekarang malah banyak di kampus

Gedungnya mewah, ruangannya tambah bagus

Dikelilingi mahasiswa modis cantik dan ganteng terus

Tidak seperti dulu mahasiswanya jarang adus

Baunya kadang seperti wedhus

Tampilannya kucel dan kumus-kumus

 

Maafkanlah aku bila dikau merasa tak terurus

Aku sibuk menulis artikel untuk jurnal terindeks Scopus

Malah aku yang kadang gak sempat adus

Dikau harus sadar pendidikan bangsa sedang terberangus

Oleh standar kapitalis pendidikan global yang rakus

 

Aku rindu Ki Hajar Dewantara yang jenius

Pencetus proses Pendidikan nan religius

Bukan proses Pengajaran yang bikin dosen bak buruh kampus

Idealismeku sudah terkubur mampus

Berganti hubungan transaksional jongos-juragan kampus

Era dosen idolamu jaman dulu sudah tergerus

 

Maafkan ya mahasiswaku, aku sekarang dosen Scopus

Bambang Tjahjadi,

Surabaya, Oktober 2017

 

Penulis sangat senang dan bangga dengan  sajak yang disampaikan oleh Prof. Bambang Tjahjadi, dosen yang memiliki pemikiran dan kesadaran tinggi. Berkat tulisan beliaulah, penulis mendapat suatu pemahaman bahwa sistem pendidikan di dunia termasuk di Indonesia telah masuk dalam jerat kapitalis. Saat ini pendidikan dijadikan sebagai komoditas yang diperdagangkan. Universitas bak pedagang yang harus lihai menarik calon mahasiswa baru. Semakin bergengsi sebuah universitas semakin kuatlah daya tariknya untuk diperebutkan jutaan pelajar dalam negeri maupun luar negeri.

Pasar pendidikan semakin ramai dengan adanya narasi World Class University (WCU),  ajang pertarungan universitas di seluruh dunia untuk mendapatkan gelar Top World Class University. Bagi universitas, berhasil menjadi universitas kelas dunia adalah sarana promosi agar universitasnya tetap laku di pasaran. Para pelajarpun akan bangga bisa menempuh pendidikan di universitas kelas dunia karena bisa membuka lebar jenjang kariernya di bursa tenaga kerja. Tak cukup itu, lembaga pemeringkat universitas berperan penting meramaikan pasar pendidikan global.

Menjadi Top World Class University tidaklah mudah. Begitu banyak syarat penilaian yang harus dipenuhi universitas untuk bisa meningkatkan rengkingnya, salah satunya dilihat dari banyaknya publikasi jurnal internasional yang terindeks Scopus. Universitas akan mendapatkan banyak poin jika Profesor, Dosen maupun mahasiswanya memiliki jurnal terpublikasi di tingkat Internasional. Nyatanya tak banyak civitas akademika yang tergerak untuk menulis. Akibatnya pihak universitas harus memberikan iming-iming hadiah uang yang cukup menggiurkan kepada Profesor, Dosen maupun mahasiswa jika jurnalnya bisa terindeks Scopus.

Di zaman yang materialistik ini, cukuplah iming-iming tersebut mampu mendorong Dosen untuk melakukan penelitian untuk membuat jurnal. Mulailah para Dosen sibuk melakukan penelitian hingga mengesampingkan tugasnya sebagai pengajar. Sampai-sampai kami para Mahasiswa mempertanyakan model pengajaran para dosen. Para dosen sering memberikan materi ajaran namun batang hidungnya tak juga kelihatan, dan apabila beliau hadir di kelas, kami dituntut segera mengerti dan memahami apa yang disampaikan tanpa pernah memastikan bab-bab sebelumnya yang sebenarnya belum kami pahami. 

Orientasi kami dalam memahami tiap kalimat ajaran berubah menjadi digit angka nilai sempurna di hadapan manusia dengan bermodal menggandakan tugas yang diamanahkan, pengoreksian yang kami tak mengerti jawaban dari kesalahannya. Hari sudah dekat dengan ujian, tapi kami memiliki tuntutan untuk mempelajari materi presentasi yang jarang diterangkan, dan hanya sekedar dibagikan.

Siklus belajar kami di kampus menjadi kurang sehat. Kami mulai lelah dengan rutinitas yang harus kami jalani sekarang ini. Waktu kami tersita penuh oleh tanggung jawab sebagai mahasiswa yang tertekan oleh sistem pendidikan sekarang ini. Sistem pendidikan yang lebih mementingkan sebuah digit nilai agar diakui Kartu Hasil Studi sehingga ia tak meriah dengan huruf D dan E.  Begitulah rutinitas kehidupan kami sebagai mahasiswa saat ini. 

Siklus kehidupan kampus yang demikian membutuhkan pengorbanan besar. Idealisme mahasiswa dibangun megah di balik tempurung kepala, harus terbakar hangus menjadi abu. Setelah 13 tahun lamanya melewati siklus belajar akhirnya hanya menjadi jongos China atau Amerika. Kami berharap bisa menjadi agent of change, memberikan sebuah perubahan agar bangsa dan negara menjadi lebih baik lagi, serta dapat membantu mengatasi kondisi negeri yang dibebani dengan hutang seperti sekarang ini. Kami berharap agar beban hidup masyarakat tak seberat sekarang.

Namun, bagaimana mungkin hal itu bisa dilakukan sedangkan para mahasiswa tidak pernah diarahkan untuk melihat permasalahan di negeri ini. Mahasiswa tidak pernah diajak untuk berfikir bagaimana menyelesaikan setiap masalah yang menimpa masyarakat. Mahasiswa hanya dituntut untuk belajar, menyelesaikan tugas, lulus ujian, dan mengerjakan skripsi agar lulus tepat waktu dan berusaha mendapatkan pekerjaan untuk menyambung hidup agar tidak menjadi pengangguran terdidik.

Penulispun rindu dengan sistem pendidikan Islam yang pernah diterapkan di dunia kala itu. Pendidikan adalah hak seluruh warga negara yang harus dipenuhi negara tanpa memungut biaya dari warganya. Negara menyediakan fasilitas pendidikan di seluruh wilayah negara tanpa adanya diskriminasi. Pengajarpun dipastikan terpenuhi kebutuhan hidupnya sehingga mereka bisa fokus untuk mengajar hingga muridnya benar-benar memahami pelajaran yang diberikan.  Hingga apabila masyarakat ditimpa suatu masalah, para intelektual akan berlomba-lomba untuk menyelesaikannya.

Wajarlah jika kehidupan masyarakat saat ini sangat sejahtera. Tentu akan sulit dibayangkan bagaimana negara Islam kala itu bisa memenuhi kebutuhan pendidikan masyarakat ketika kita menggunakan kacamata sistem ekonomi kapitalis yang 80 % pemasukan negara berasal dari pajak yang dipungut rakyat. Maka untuk memahaminya kita harus menggunakan sistem politik dan ekonomi Islam.

Penulis bersyukur ada Profesor seperti Prof. Bambang yang menyadari bahaya kapitalisasi pendidikan di negeri ini, dan berharap Profesor maupun dosen lain bisa ikut sadar dan bersama merumuskan sistem pendidikan yang jauh dari cengkeraman kapitalis. Semoga pula para intelektual ini dapat menjadi dosen pendidik yang mampu membentuk paradigma berpikir yang benar pada mahasiswa, karena kelak mahasiswa di zaman inilah yang akan mengisi peradaban. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version