View Full Version
Jum'at, 29 Dec 2017

HAM: Antara Ilusi dan Harapan

Oleh: Mia Tw

Sejak dideklarasikan 69 tahun lalu 10 Desember 1948 HAM masih banyak menyisakan persoalan. Tak hanya di negara lahirnya. Bahkan di Indonesia, pemerintah sendiri menyebutkan banyak PR pemerintah yang belum terselesaikan terkait masalah HAM. Sesuai pernyataan Jokowi dalam pidatonya di Solo ketika memperingati hari HAM sedunia.

Apa yang disampaikan pemerintah patut dicermati. Sebab penegangkan HAM yang digaungkan nyatanya menampilkan sisi lain yang berbeda. 

Pemerintah membangun retorika politik yang absurd sengaja membenturkan simbol-simbol agama tertentu, intoleransi, memecahbelah kesatuan, dsb. Dijadikan sebagai alat politik penguasa membungkam aspirasi rakyat. Tujuannya tak lain adalah untuk menghilangkan kontrol rakyat terhadap penguasa serta menghilangkan pengaruh suatu kelompok ditengah-ditengah masyarakat. Seperti apa yang telah dilakukan pemerintah melalui UU Ormas nomor 2 tahun 2017. Kesewenangan-wenangan membubarkan Ormas tanpa melalui prosedur peradilan. Sebuah kelompok yang terlalu banyak bersuara mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang sudah sering menyengsarakan rakyat.

Hal ini mengindikasikan bahwa pelanggaran HAM terbanyak terjadi dipusat Ibu Kota atas pelanggaran kebebasan berpendapat atau berekpresi mengingat panasnya konstalasi politik menjelang pilpres 2019.

Kontras sendiri mencatat, beberapa tahun belakangan penegakan HAM mengalami kemunduran. Asumsi yang muncul dibenak rakyat adalah penegakan HAM yang pilih kasih, cenderung eksklusif pada golongan, para oknum dan juga korporasi. Pemerintah memberikan ruang seluas-luasnya bagi pemilik modal menguasai hajat hidup orang banyak.

Tunduknya penguasa kepada pemilik modal menyebabkan  konflik perebutan lahan dibidang agraria, batas wilayah, pelanggaran norma-norma agama, serta pengrusakan lingkungan. Tak ayal kerap memakan korban rakyat miskin.

 

HAM Faham Sesat Demokrasi

Melalui HAM, barat melakukan penyesatan opini. Berdasarkan prinsip liberalisme (kebebasan), demokrasi berupaya memasarkan ide-ide sesat yang sangat membahayakan. Kebebasan Hak Asasi Manusia melalui 4 instrument. Kebebasan berpendapat, kepemilikan, beragama dan bertingkah laku. Kebebasan berpendapat misalnya, bukan memberikan sebebas-bebasnya orang, kelompok secara serampangan berpendapat sesuka hati bermaksud mencederai dan melukai agama (Islam) tertentu.

Seperti memberikan label radikalisme, anti Pancasila bagi segolongan orang- orang yang menyampaikan kebenaran (Islam) di muka umum (dakwah). Terutama kepada penguasa. Ujaran kebencian yang mendiskritkan Islam dan penistaan demi penistaan yang selalu berujung kata 'maaf'. Hanya isapan jempol belaka. Semua apa yang menimpa kaum muslimin nyatanya menguap begitu saja.

Kebebasan berekspresi/berbuat, nampak dalam kehidupan sosial. Sistem liberalisme telah membuat seseorang terperosok pada kegilaan yang tak terkendali. Merusak identitas sebagai mahkluk yang melawan kodratnya. LGBT, kaum yang menuntut persamaan hak dimata hukum. Atas nama kebebasan, perilaku menyimpang dari Islam ini dibiarkan. Melegalnya hubungan sesama jenis, maraknya seks bebas, dan penyakit menular. Sebagaimana dukungan Lukman Syaiduddin terhadap LGBT. 

Di bidang ekonomi mengatasnamakan kebebasan kepemilikan, liberalisasi ekonomi telah menjadi jalan perampokan sumber daya alam. Tambang minyak, emas, perak, batubara yang sebenarnya merupakan milik rakyat, dirampok. Berdalih investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Hasilnya, propaganda HAM di negeri-negeri Muslim, termasuk di Indonesia, pada dasarnya menyesatkan, dan perlunya kaum muslim memiliki kesadaran yang benar.

 

HAM Menyelisihi Islam

Seringkali HAM menjadi alat sebagai dalih toleransi dan persamaan hak. HAM menjadi senjata seolah-olah merekalah yang paling peduli dan paling mengerti. Jika diteliti ini merupakan cara Liberalis, para pengagumnya untuk menyerang Islam dan kaum muslimin diatas Hak Asasi Manusia.

Tak cukup sekali nyatanya HAM berlaku diskriminatif kepada Islam dan kaum muslimin. Sangat jelas bagaimana lambannya penguasa bertindak ketika kaum muslimin adalah korbannya. Sepanjang sejarahnya HAM tidak pernah melihat Islam dan kaum muslimin adalah korban. Melainkan Islam yang berupa pemikiran ada didalam benak kaum musliminlah yang harus dimusuhi.

Salah besar jika kaum muslimin menyandarkan harapan pada HAM demi mendapatkan keadilan. Sebab HAM sangat tidak relevan karena berasal dari pemikiran manusia (Barat). Tentu ini telah menyalahi aturan Islam. Islam berbeda dengan sistem lain dalam hal bahwa hak-hak manusia sebagai hamba Allah tidak boleh diserahkan dan bergantung kepada penguasa dan undang-undangnya.

Hak kaum muslimin merupakan kewajiban bagi negara maupun individu yang tidak boleh diabaikan. Maka negara bukan saja menahan diri dari menyentuh hak-hak asasi ini, melainkan mempunyai kewajiban memberikan dan menjamin hak-hak ini.

Negara juga menjamin tidak ada pelanggaran terhadap hak-hak ini individu. Sebab pemerintah mempunyai tugas sosial yang apabila tidak dilaksanakan berarti ia tidak berhak untuk tetap memerintah. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version