View Full Version
Jum'at, 30 Mar 2018

Kemanakah Arah Pengaturan Khutbah?

Oleh: Widyastuti, S.Pd

Negeri ini kembali disuguhi isu kontroversial. Demi dalih mencegah money politic dan politisasi isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) Bawaslu hendak mengatur materi khutbah.

Padahal selama ini para politisi gencar menyerukan bahwa jangan bawa-bawa agama dalam urusan politik. Mengapa sekarang mau mencampuri urusan khutbah yang merupakan ranah agama? Bukankah ini merupakan suatu bentuk intervensi agama?

Adanya keinginan Bawaslu untuk mengatur materi khutbah tentunya menimbulkan tanda tanya ada apa? Masyarakat akan berpikir bahwa upaya penyusunan materi khutbah sebagai bagian dari upaya untuk mengurangi pengaruh dari para pemuka agama khususnya Islam kepada umatnya. Bisa dibilang pula sebagai upaya menakuti para ustadz untuk menyampaikan Islam politik. Pengaturan itu bisa pula dibaca sebagai bentuk ketakutan penguasa kepada kekuatan gerakan Islam dalam perhelatan Pilkada 2018 yang sebentar lagi akan tiba. 

Ada nuansa ketakutan jika semangat dari Pilkada Jakarta menular ke daerah-daerah lewat tokoh-tokoh agama yang bisa membuat jago dari penguasa tumbang tak berdaya.  Masalahnya kalau alasan pengaturan materi khutbah itu dilakukan demi mencegah praktek politik uang dan politisasi SARA, kiranya alasan ini terlalu  mengada-ada. Bukankah ini juga seharusnya bukan kewenangan Bawaslu?

Seharusnya Bawaslu fokus pada upaya menghentikan menghalalkan segala cara para partai politik demi meraih kemenangan, seperti bantuan-bantuan jelang Pilkada, serangan fajar, propaganda gelap yang terbukti sangat marak jelang Pilkada.

Sebagaimana kita ketahui bersama, pada saat pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta betapa banyak sembako, uang dan sapi ditebar ke hampir seluruh wilayah Jakarta oleh salah satu pasangan paslon yang di dukung penguasa. Bahkan mereka melakukan itu semua di masa tenang dengan leluasa. Toh faktanya mereka gagal terpilih.

Sepertinya penguasa belajar bahwa gelontoran uang tak lagi menjadi jaminan kemenangan ketika lisan para ulama, ustadz dan pemuka agama menjadi panutan dan memiliki pengaruh di masyarakat. Wajar kiranya jika pengaturan materi khutbah muncul karena dugaan pemerintah mengidap penyakit akut bernama Islamophobia.

Hujjatul  Islam Imam al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin juz II mengatakan: “Sesungguhnya, kerusakan rakyat di sebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan; dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah-lah tempat meminta segala persoalan.” (Ihya’ Ulumuddin II hal. 381).

Ulama tidak boleh ditinggalkan, sebagaimana agama tidak boleh ditinggalkan oleh negara. Ulamapun harus memberikan kontribusinya dengan nasihat dan peringatan terutama nasihat-nasihat akidah dan adab kepada pemimpin.

Imam al-Ghazali — dalam teori kenegaraannya–mengutamakan perpaduan moral dengan kekuasaan. Negara dan pemerintahan di pimpin oleh manusia biasa, akan tetapi harus memiliki moral yang baik, demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara universal, kebahagian dunia dan akhirat. Ia memandang, agama dan negara tidak bisa dipisahkan; agama adalah pondasi,sedangkan pemerintahan adalah penjaga.

Sayang sekali yang terjadi saat ini adalah sebaliknya. Agama dianggap sebagai pengacau negara. Padahal orang-orang dzalim yang berkuasalah pengacau negara sesungguhnya. Karena agama dianggap sebagai penghalang bagi kekacauan yang mereka ciptakan, maka dibatasilah ranah agama. Dirantaialah lisan para ulama dengan dalih ‘pengaturan’ materi khutbah. Kepanikan penguasa terhadap sikap kritis umat islam yg mulai memahami politik dan kepemimpinan islam semakin menjadi hingga melemahkan akal sehat.

Belum hilang berita tentang kasus-kasus serangan orang gila terhadap para ulama, lalu upaya Bawaslu untuk membatasi materi khutbah, jelas sekali saat ini ajaran Islam politik dan penyampainya menjadi sasaran penguasa untuk dihentikan. Sulit untuk mengarahkan dugaan kepada aksi tanpa tendensi, karena pola serangan nya sangat nyata dan sangat terasa.

Dakwah menyadarkan umat tentang politik dan kepemimpinan Islam harus terus digencarkan hingga umat menyadari betapa penguasa dzalim saat ini sedang berusaha memasung ajaran Islam, memaksakan kehendak kepada rakyat. Umat harus disadarkan bahwa yang dibutuhkan negeri ini hanyalah pengaturan dari Allah. Penerapan aturan yang memuliakan dinullah. Wallahu a’lamu bish-shawwab. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version