View Full Version
Senin, 29 Oct 2018

RUU Pesantren, Antara Harapan dan Kenyataan

Oleh: Yulida Hasanah*

Walaupun sudah lewat dari tanggal 22 Oktober, namun semangat dari peringatan Hari Santri Nasional masih terasa hangat. Berbicara tentang santri, tidak lepas dari sebuah lembaga/institusi yang menaunginya yaitu Pondok Pesantren.

Disetujuinya RUU Pondok Pesantren sebagai usulan inisiatif DPR menjadi kado santri di Hari Santri tahun 2018 ini. Hal ini, tentu sangat menjadi berita gembira bagi pihak yang sangat berharap RUU yang sempat diusulkan sejak tahun 2013 ini kembali dibahas di DPR.

Tentu saja, banyak harapan yang ingin diwujudkan dari RUU Pesantren ini. Sebagaimana pernyataan anggota Fraksi PPP Muhammad Iqbal, berharap dengan lahirnya RUU ini, generasi ke depan tidak hanya cerdas secara intelektual, tapi juga memiliki kualitas moral dan spiritual. Dan tujuan utama dari RUU ini adalah memperbaiki kualitas lembaga pendidikan keagamaan dan pondok pesantren yang selama ini ada.

Selain itu, Anggota Baleg DPR Bachtiar Aly memastikan penyusunan RUU ini, pihaknya akan mengedepankan pelestarian kekhasan atau keistimewaan kurikulum pendidikan pesantren. Harapannya, RUU ini jangan sampai melakukan upaya fatal menyeragaman.

Jadi, kekhasan dari pesantren itu dari sejarah, kyai-nya dan sebagainya, dengan kitab-kitab yang dipelajari di sana itu jangan dihapus. Akan tetapi, RUU ini juga diharapkan tidak tumpang tindih dengan UU Pendidikan yang sudah ada.

Lalu, ketika RUU pondok pesantren ini harus beriringan dengan UU Pendidikan yang ada, apakah akan menjamin nantinya akan tetap mengedepankan agama (Islam)  sebagai karakter khas yang selama ini telah melekat pada Pesantren termasuk para santri yang ada di dalamnya?

Sedangkan UU Pendidikan yang ada hari ini jelas berasal dari pemisahan agama dalam kurikulum pendidikannya, dan mengambil asas kebebasan (Demokrasi) dalam pelaksanaan pendidikan nasionalnya di negeri ini.

Adakah jaminan bagi Pondok Pesantren yang notabene merupakan lembaga pendidikan Islam yang sudah ada di negeri ini bahkan sebelum negeri ini, tetap pada arah pendidikan berbasis Islam? Mengingat, berdirinya pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam pada umumnya untuk menyelenggarakan pendidikan yang memiliki misi mengkader umat untuk menjadi tafaqquh fiddin dan memotivasi kader ulama dalam misi dan fungsinya sebagai warasat al-anbiya.

Dan dalam sejarahnya, dunia pesantren bukan hanya lembaga pendidikan yang mencetak kader sebagai Ulama, tetapi juga terkenal dengan peranannya dalam menyebarkan agama Islam dengan Dakwah dan Jihad.

Sedangkan, hal ini tidak mungkin terwujud jika kurikulum pesantren terkontaminasi dengan kurikulum sekuler dalam mendidik para santri. Sebab telah banyak kerusakan yang menimpa generasi kita disebabkan tidak adanya integritas agama dalam membentuk kepribadian mereka. Belum lagi, akhir-akhir ini mulai muncul polemik seputar draft RUU Pesantren dan Pendidikan keagamaan.

Sebagaimana dirilis dari detiknews.com, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan Kementerian Agama akan mengeluarkan rancangan persandingan terkait RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan karena mendapat banyak keluhan. Komisi VIII DPR menegaskan mereka siap menerima draf itu untuk dibahas bersama-sama.

Menurut Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily, pemerintah punyak hak untuk memiliki pandangan sendiri, dan DPR juga punya daftar isian masalah tersendiri, pemerintah juga akan bentuk panja pemerintah yang pasti mereka punya perspektif tersendiri terkait RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. Proses seperti itu diakatakan biasa dalam penyusunan legislasi.

Tentu saja, polemik ini menjadi bukti bahwa Undang-undang buatan manusia itu sarat akan perselisihan dan perbedaan pandangan. Dan ini jugalah yang membuat harapan akan terjaminnya Pendidikan di Pondok pesantren beserta masa depan santri yang cerdas secara intelektual juga memiliki kualitas moral dan spiritual hanyalah sebatas isapan jempol saja. Mengingat, negeri kita saat ini masih mengambil legislasi hukum buatan manusia, yang secara fitrah memiliki karakter serba lemah dan terbatas akalnya.

 

Islam menjamin lahirnya generasi Cerdas dan bertaqwa

Pendidikan di dalam Islam merupakan salah satu aspek pokok kehidupan yang sangat penting bagi setiap individu muslim. Islam memberikan tanggung jawab kepada negara sebagai intitusi penyelenggara pendidikan. Dalam penyelenggaraan pendidikan ini negara tidak boleh membatasi usia seseorang, tetapi harus memberikan ruang waktu yang luas bagi warga negara untuk terus belajar.

Di samping itu, negara tidak boleh memberikan beban yang berat kepada rakyat dalam menuntut ilmu. Salah satunya negera tidak boleh menjadikan pendidikan sebagai media bisnis mencari keuntungan, atau melempartanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ini kepada swasta.

Adapun tujuan diselenggarakannya pendidikan Islam adalah membentuk kepribadian islami (syakhshiyah islamiyah) setiap Muslim dan membekali dirinya dengan berbagai ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan.

Secara struktural, kurikulum pendidikan Islam memuat tiga aspek utama, yang pertama adalah untuk membentuk kepribadian islam; yang kedua adalah penguasaan tsaqofah Islam; yang ketiga, penguasaan ilmu pengetahuan umum yang berhubungan dengan skil/ketrampilan/keahlian.

Oleh karena itu, harus ada sebuah negara yang memiliki karakter sebagai pelayan umat/rakyat dalam memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya termasuk dalam hal pendidikan. Sebab dalam Islam, negara adalah pelayan, sudah seharusnya melayani rakyat dengan sebaik-baiknya, Rasulullah saw. Bersabda:

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya. (HR. Bukhari & Muslim).

Sehingga, apabila dalam penyelenggaraan pendidikan negara terdapat penyelewengan tanggung jawab, maka sudah semestinya negara harus dimintai pertanggungjawabannya.

Apabila hal ini dapat diterapkan maka sistem pendidikan akan melahirkan generasi-generasi bangsa yang memiliki kepribadian Islam yang baik (bertaqwa) dan ahli/trampil (cerdas) dalam intelektualisnya, bahkan menjadi ‘agent of change’ yang mampu membangun peradaban Islam yang diridloi Allah SWT. Wallahua’lamu bish shawab. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version