View Full Version
Selasa, 13 Nov 2018

Nasib Guru, Riwayatmu Kini

Aksi guru di akhir oktober lalu berakhir tanpa hasil. Tidak terkira kecewa yang dirasakan oleh para pahlawan tanpa tanda jasa ini. Berharap presiden menemui mereka, berharap mau menjawab mengapa janjinya tidak ditepati. Dengan alasan presiden tidak bisa ditemui dadakan, meskipun para guru honorer memperpanjang aksinya, tetap saja presiden tidak menemui mereka. Terkesan mengabaikan, meremehkan, atau lebih tepatnya tidak menghormati tamu istana kali ini. Terlebih mereka adalah guru, profesi yang penting untuk kelangsungan kecerdasan bangsa.

Para guru ini telah datang dari berbagai daerah di Indonesia, pengorbanan waktu, harta, tenaga dan pendidikan anak didik telah mereka lakukan. Demi menagih janji kesejahteraan untuk guru honorer dari presiden RI, Joko widodo sejak 1 Juni 2014. Berarti sudah empat tahun berlalu, para guru honorer ini mengharap ada perubahan untuk kehidupan mereka menjadi sejahtera.

Tujuh puluh ribu guru honorer yang ingin bertatap muka dengan presiden hanya mendapat solusi untuk ikut seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) bila mereka sudah berusia lebih dari 35 tahun. Tetap saja solusi itu bukan penunaian janji presiden yang dengan jelas berjanji akan mengangkat guru honorer menjadi Pegawai Negeri Sipil. Padahal mereka telah mengabdi mengajar selama puluhan tahun.

Sepertinya sangat sulit menghadirkan kesejahteraan bagi guru honorer oleh rejim gemar ingkar janji ini. Alasan klise yang berulang kali muncul akan kembali diberikan. Mulai dari tawaran cara lain yang bisa ditempuh guru honorer agar bisa menjadi pegawai negeri sampai alasan bahwa gaji guru honorer bukan tanggung jawab pemerintah pusat,tetapi menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.

Alasan bahwa APBN sudah banyak mengalokasikan dana untuk pendidikan hingga 20%, tetapi kenyataannya tetap tidak mampu membiayai gaji seluruh guru di persada negeri ini. Pertanda pula, bahwa dengan pengelolaan negara dengan sistem sekular dan memakai sistem ekonomi kapitalis, tidak mampu menghormati guru. Tidak mampu melihat terhormatnya profesi guru yang menjadi ujung tombak pencetak Sumber Daya Manusia Indonesia di masa yang akan datang.

Sangat kontras sekali dengan bagaimana Islam mendudukkan profesi guru. Sebagai orang yang berilmu, dalam al qur'an surat Al Mujadilah ayat 11, Allah Swt meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu daripada yang lain. Tidaklah mengherankan para Khalifah sangat memuliakan guru. Para Khalifah berpesan kepada anak-anaknya, bahwa seorang Khalifah sekalipun, di depan seorang guru dia adalah orang yang hina. Kecintaan dan penghormatan mereka ditunjukkan dengan sering berkunjungnya para Khalifah dan anak-anaknya untuk sekadar meminta nasihat dan petunjuk akan suatu masalah.

Perhatian negara kepada para guru tidak berhenti pada pribadi sang Guru, tetapi juga kepada keluarganya dan anak-anaknya. Untuk menjamin kesejahteraan guru di zaman Khilafah, gaji besar bagi guru bukanlah suatu masalah. Di masa umat ra. guru dibayar 15 dinar perbulan, di masa Shalahuddin al ayyubi seorang guru digaji 40 dinar perbulan, dan yang menggiurkan pada masa Abbasiyah, seorang guru dibayar 50 hingga 200 dinar tiap bulannya. Bila 1 dinar setara dengan Rp2.250.000, berarti pada masa Khilafah seorang guru menerima gaji dari Rp33.750.000 hingga Rp450.000.000. Kompensasi yang setimpal bagi profesi yang menentukan masa depan negara.

Sejarah ini bisa kita temui di berbagai literatur, nyata adanya dituturkan oleh penulis muslim maupun non muslim. Bila masih ada yang menolak gagasan penerapan syariah dengan sistem negaranya bisa disimpulkan dia gagal melihat segala kemuliaan yang dibawa oleh Islam. Sungguh malang nasib orang seperti ini, seolah melihat kuman di seberang lautan tampak yaitu sistem yang berasal dari keyakinan kufur. Sedangkan gajah di pelupuk mata yaitu berupa warisan peradaban Islam dengan penerapan syariahnya malah dinihilkan dan ditolak dengan terang-terangan. 

Semoga Allah menjaga kita dari perilaku demikian. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version