View Full Version
Kamis, 22 Nov 2018

Mungkinkah Suatu Negara Berjalan Tanpa Pajak

Oleh: Herny Wulandari Pangestu

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyebutkan bahwa pendapatan negara adalah semua penerimaan yang berasal dari penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak serta penerimaan hibah dari dalam dan luar negeri. Tiga sumber itulah yang menjadi lumbung penerimaan kas negara dan nantinya akan digunakan untuk menyejahterakan rakyat.

Sumber pendapatan negara yang berasal dari pajak dibagi dalam tujuh sektor yaitu Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Ekspor, Pajak Perdagangan Internasional serta Bea Masuk dan Cukai. Namun pada faktanya, sumber pendapatan yang diperoleh dari ketujuh sektor tersebut belum dapat memenuhi lumbung kas negara.

Hal itu terbukti dengan masih banyaknya rakyat yang berada di zona kemiskinan. Lebih lanjut, penerimaan pajak di Indonesia dapat mencapai Rp 1.500 triliun – Rp 1.600 triliun. Angka tersebut bukanlah angka yang kecil apabila pendapatan negara yang berasal dari pajak tersebut dapat diberikan kepada 26 juta penduduk miskin Indonesia. Namun bagi pemerintah, penerimaan pajak tersebut masihlah sangat kurang.

Sehingga, Kementrian Keuangan membuat upaya terobosan baru yaitu mewajibkan setiap mahasiswa untuk memiliki NPWP. Padahal saat membuat NPWP, mahasiswa akan menemui permasalahan ketika mengisi kolom jenis pekerjaan, mengingat statusnya sebagai mahasiswa yang belum memiliki penghasilan.

Rencana tersebut otomatis akan menambah jumlah wajib pajak di Indonesia, dan memudahkan pemerintah dalam menargetkan potensi penerimaan pajaknya dimasa yang akan datang. Hal tersebut membuktikan, bahwa pemerintah sudah menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara dan berusaha untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya dari rakyat layaknya seorang pengusaha yang sedang menimbun keuntungannya.

Lain halnya dengan Islam, dimana pendapatan negara diperoleh dari lima sumber, yaitu harta rampasan perang (ghanimah), harta kekayaan yang diambil dari musuh tanpa melakukan peperangan (fai), zakat, pajak tanah (kharraj), dan pajak kepala (jizyah).

Untuk pajak sendiri, penguasa muslim tidak memungutnya secara rutin setiap tahun namun ketika negara dalam keadaan darurat untuk memenuhi kebutuhan atau untuk mencegah kerugian yang menimpa, sedangkan perbendaharaan negara tidak cukup dan tidak dapat menutupi biaya kebutuhan tersebut, dan pajak ditetapkan atas orang-orang kaya bukan kepada seluruh rakyat. Hasil dari pemungutan pajak pun wajib dialokasikan untuk berbagai kepentingan umat dengan cara yang adil.

Suatu hal yang mungkin apabila suatu negara berjalan tanpa pajak. Karena Allah telah menjanjikan pada firmanNya, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (Al-A’raf [7] : 96].

Dari ayat tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa dengan diterapkannya pajak secara rutin merupakan salah satu akibat dari pelanggaran ayat di atas, sehingga permasalahan ekonomi tidak pernah selesai padahal nilai pajak yang diterima oleh negara sudah besar.

Kalau manusia mau beriman dan beramal shalih dengan menjalankan semua perintah dan menjauhi segala laranganNya, niscaya Allah akan berikan janjiNya yaitu keberkahan yang turun dari langit dan bumi.

Bukankah beberapa negeri yang kondisi alamnya kering lagi tandus, tatkala mengindahkan perintah Allah mendapatkan apa yang dijanjikan Allah berupa berkah/kebaikan yang melimpah dari langit dan bumi.

Sebaliknya, Indonesia yang kondisi alamnya sangat strategis untuk bercocok tanam dan memiliki banyak sumber daya alam, tidak dapat merasakan berkah dari langit dan bumi. Maka, hanya dengan penerapan Islam secara Kaffah solusi dari permasalahan yang terjadi. Wallahu’alam. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version