View Full Version
Kamis, 29 Nov 2018

[Story Hamka-9] Bermimpi Menjadi Istri Hamka

Oleh: Roni Tabroni*

“Kalau Buya Hamka ada sekarang (dan belum menikah) akan saya jadikan suami saya.”

Siswi kelas dua Madrasah Aliyah Kuliyatul Mubalighin (MAKM) Muhammadiyah Padang Panjang – Sumatera Barat ini melontarkan statementnya dengan reflek. Itulah jawaban meyakinkan ketika ditanya jika Hamka masih ada saat ini.

Saya tentu saja cukup terkejut, bagaimana bisa anak remaja ini bisa begitu yakin dengan jawabannya tersebut. Sambil menerawang, anak siswi terlihat bangga dengan sosok Hamka.

Sebagai siswa MAKM Muhammadiyah, tentu saja semua siswa di sini begitu akrab dengan sosok Hamka. Di sekolah yang pertama kali didirikan Hamka dengan nama Tabligh School dan kemudian berubah nama menjadi Kuliyatul Mubalighin, semua siswa mempeajari pemikiran Hamka.

Bagi siswa-siswa di sekolah ini, Hamka bukan hanya sekedar nama yang ditempel didinding. Juga bukan hanya dikenalkan foto dan nasehat-nasehatnya yang dipajang dengan frame tergantung di setiap ruangan.

Hamka, menjadi sosok yang benar-benar diidolakan bagi siswa-siswi di sekolah ini. Mengapa tidak, Hamka menjadi bagian dari pelajaran penting di sekolah yang begitu bergengsi di Padang Panjang.

Sebagai sekolah Muhammadiyah, di MAKM pasti ada pelajaran Kemuhammadiyahan. Tetapi Kemuhammadiyahan di sekolah ini dimodifikasi dengan memasukkan muatan Hamka di dalamnya.

Selain siswa belajar secara rutin tafsir al-Azhar, juga mempelajari karya-karya Hamka lainnya. Karenanya tradisi dan keteladanan Hamka sangat melekat pada siswa di MAKM ini.

Beberapa siswa di sini bahkan mengaku sebagai “anak” Hamka. Karena benar-benar mempelajari pemikiran dan perilaku Hamka, maka setiap siswa merasa belajar langsung kepada Hamka.

Beberapa keteladanan yang penting dan melekat bagi siswa-siswi di sini. Pertama, pemikiran Hamka yang sangat luas dan mendalam. Walaupun tidak mempelajarinya secara utuh, siswa-siswi di sini tahu kualitas fikiran Hamka.

Kedua, tradisi literasinya. Dengan banyaknya karya Hamka, menunjukkan sebuah tradisi baca dan tulis Hamka yang melampaui rata-rata orang pada saat itu. Bagi siswa di MAKM, apa yang dilakukan Hamka harus diikutinya.

Ketiga, keluhuran budi dan akhlaknya. Siswa-siswi di MAKM, bengakui keshalehan Buya Hamka. Maka karakter dirinya sebagai remaja muslim ingin selalu menirunya.

Keempat, keulamaan dan sastrawan. Selain belajar ilmu agama dari karya-karyanya, siswa-siswi MAKM juga selalu dilatih untuk membuat karya-karya sastra. Hamka terus menginspirasi para siswa di sini untuk tidak hanya menyerap ilmu tetapi juga menelorkan karya sastra seperti puisi dan karya sastra lainnya.

Ternyata, di ruang yang tidak begitu besar, di lembaga pendidikan yang sangat legendaris, sebagai sebuah sarana kawah candradimuka, setiap remaja berharap datang dan berada disini untuk menyerap ilmu dan meneladani sosok Hamka.

Mereka dilatih untuk bermimpi, digembleng untuk tampil berani, dibiasakan untuk siap berdakwah dalam berbagai kondisi. Karena itulah yang dilakukan Hamka.

Maka tidak aneh jika Hamka tidak hanya menjadi inspirasi, tetapi juga menjadi figur yang begitu ideal, hingga remaja muslimah pun bermimpi menjadi istrinya. [syahid/voa-islam.com]

*) Penulis adalah Dosen Prodi Ilmu Komunikasi USB YPKP, UIN SGD Bandung dan Pengurus MPI PP Muhammadiyah


latestnews

View Full Version