View Full Version
Kamis, 29 Nov 2018

[Story Hamka-11] Hamka Menolak Tunduk Pada Penguasa

Oleh: Roni Tabroni*

Ketika Hamka diminta Soekarno untuk datang ke Jakarta dan mengembangkan dakwahnya di sana, berdasarkan pertimbangan matang dan konsultasi ke berbagai pihak, Hamka memenuhinya. Di Jakarta, Presiden Pertama itu menyiapkan rumah secara khusus, tetapi Hamka menolaknya.

Hamka memilih mencari rumah sendiri. Walaupun baru pertama kali ke Jakarta, dengan perbekalan yang pas-pasan, Hamka beserta Istrinya Siti Raham dan kedua anaknya berjalan berkilo-kilo meter mencari tempat kontrakan.

Setelah lelah berjalan, akhirnya Hamka berhenti di sebuah rumah di ujung gang yang kemudian menjadi tempat tinggal pertamanya. Rumah sederhana ini diceriterakan dalam buku Irfan Hamka, berada di daerah yang sangat plural. Selain di sana terdiri dari penduduk dengan keragaman suku bangsa, juga berbeda-beda agamanya.

Namun, perangai Hamka yang humanis dan ketokohannya yang karismatik, membuat Hamka dijadikan tokoh disana. Kehadiran Hamka begitu diterima dan bergaul dengan baik. Keragaman tidak dijadikan persoalan, bahkan Hamka begitu toleran.

Namun, ketika suatu masa dimana Hamka diminta untuk mencabut fatwa terkait larangan natal bersama, Hamka menolaknya. Ketika Mentri Agama RI Letjen. H. Alamsyah Ratuperwiranegara menekannya pada tahun 1981, Hamka lebih memilih mengundurkan diri.

Ada yang mengesani jika Hamka tidak toleran. Fatwa MUI yang saat itu diketuai Hamka, dianggap sebagai bentuk sikap dan pemikiran Hamka yang eksklusif dan tidak toleran. Bagi pembaca narasi Hamka yang sepenggal, kesan itu mungkin bisa muncul. Termasuk bagaimana pemerintah juga telah gagal memahami Hamka pada aspek yang lain.

Salah satu yang penting untuk mengidentifikasi sosok Hamka adalah kukuhnya Hamka pada aqidah, tetapi sangat toleran dalam hal bermuamalah. Pergaulan Hamka sangat luas dan tidak tersekat, tetapi masalah aqidah bersifat final.

Maka ketika pemerintah meminta revisi fatwa terkait natalan bersama, Hamka menolak tunduk. Bagi Hamka kekuasaan tidak ada apa-apanya. Tidak ada yang patut ditakuti bagi Hamka kecuali tergadainya aqidah diri dan ummatnya.

Posisi MUI bagi Hamka salah satunya adalah penjaga aqidah ummat. Selain itu, keberadaan para ulama dalam organisasi MUI harus memberikan kontribusi positif dalam pengembangan ajaran Islam kepada ummat Islam itu sendiri.

Tidak selayaknya MUI menjadi instrumen kekuasaan atau hanya menjadi stempel semata. Hamka telah memberikan contoh bagaimana posisi ulama di tengah kemelut opini dan kehendak penguasa yang tidak sejalan dengan tugas dan fungsi MUI.

Keteguhan Hamka dalam mempertahankan aqidah tidak bisa dibeli oleh apapun. Jabatan puncak MUI yang sangat terhormat beliau letakkan karena mempertahankan keyakinannya itu.

Jalan dakwah dan perjuangan Islam Hamka sudah menjadi kodrat sejak muda. Hal ini pun telah dibuktikan ketika Soekarno mengeluarkan kebijakan PNS tidak boleh berpolitik praktis. Saat itu Hamka yang aktif di Masyumi, langsung keluar dari pegawai Kementrian Agama.

Begitupun ketika Masyumi dibubarkan, Hamka lebih fokus lagi pada kegiatan dakwan dan keummatan. Kendati kecewa terhadap kebijakan penguasa, namun semangat dakwah Hamka tidak pernah pudar.

Walaupun terkadang dalam beberapa hal Hamka ditekan penguasa, namuh Hamka tidak pernah membencinya secara personal. Dirinya selalu menjaga hubungan baik. Kegiatan dakwah tetap jalan dan marwah keulamaannya tidak pernah pudar.

Hamka tidak pernah tunduk pada penguasa tetapi Hamka juga tidak memutus silaturahim. Bahkan beberapa tokoh nasional yang asalnya bersebrangan, seperti Soekarno, M. Yamin, maupun Pramudia Ananta Toer, menjelang akhir hayatnya menunjukkan simpatinya kepada Hamka -- baik minta di solatkan, ada yang minta didampingi menjelang akhir hayatnya, sampai mengajari agama untuk anaknya.

Keulamaan Hamka tidak ada yang meragukan lagi, baik di dalam maupun luar negeri. Peran dakwahnya begitu luas. Walaupun sering diserang dan ditekan, namun Hamka tidak pernah berhenti berdakwah.

Dan hingga detik ini kita masih merasakan getaran dakwah Hamka yang tersebar dalam karyanya yang mencerahkan. [syahid/voa-islam.com]

*) Penulis adalah Dosen Prodi Ilmu Komunikasi USB YPKP, UIN SGD Bandung dan Pengurus MPI PP Muhammadiyah


latestnews

View Full Version