View Full Version
Kamis, 29 Nov 2018

Aksi 212 Tak Sekedar Reuni, Ini Gelombang Persatuan Umat

Oleh: Nurhayati, SST*

            Berawal dari aksi BelaQuran, aksi 212 menjadi momen bersejarah sekaligus monumental bagi umat Islam. Bagaimana tidak, aksi ini menjadi pembuka mata dan hati kita bahwa umat Islam itu ternyata besar dan kuat jika bersatu. Coba lihat, jika tidak ada pelecehan QS. AL Maidah:51 mungkin umat Islam sendiri tidak akan tahu potensi yang ada pada dirinya. 

            Kini dua tahun sudah berlalu, maka Reuni 212 digelar. Tahun lalu, reuni digelar sebagai bentuk aksi bela ulama dari persekusi. Tahun ini mengangkat tema aksi Bela Tauhid. Hal ini berawal dari aksi pembakaran bendera tauhid di hari santri lalu. Namun apakah reuni ini sekedar “membakar” ghirah umat tentang agamanya? Adakah makna politis di balik reuni ini?

Ghirah Umat Islam Semakin Nyata

Penghinaan terhadap ayat-ayat Allah, simbol-simbol Islam dan segala yang berkaitan dengannya tentu membuat kita marah. Hal ini seringkali mengundang protes dalam bentuk aksi-aksi. Aksi-aksi inilah yang kemudian mendulang kenyinyiran sebagai wujud ketakutan dan kekhawatiran akan potensi umat bila mereka bersatu. Beberapa tuduhan nyinyir itu seputar bahwa aksi ini ditunggangi oleh aktor politik, pesertanya dibayar, dan tuduhan-tuduhan tak berdasar lainnya.

Faktanya, umat Islam 'hanya' merasa marah ketika agamanya dihina. Memang marah adalah salah satu sifat tercela, tapi ada marah yang dianjurkan bahkan menjadi wajib ketika agama, nabi, dan Islam dijadikan sebagai bahan olok-olok. Maka aksi yang berjilid-jilid pasca penistaan Al-Quran 2016 lalu disebut dengan ghirah.

Ghirah, yang diterjemahkan oleh Buya Hamka sebagai “kecemburuan”. Dan ghirah itu adalah konsekuensi iman. Orang yang mengaku mengimani Allah akan tersinggung jika agamanya dihina, bahkan agamanya itu akan didahulukan daripada keselamatan dirinya sendiri. Bangsa-bangsa penjajah pun telah mengerti tabiat umat Islam yang semacam ini. Perlahan-lahan, dikulitinyalah ghirah umat. Jika rasa cemburunya sudah lenyap, sirnalah perlawanannya.

Terlihatlah saat ini, ada saja orang-orang yang menganggap bahwa membela agama adalah bukti intoleransi terhadap umat lain yang tidak satu keyakinan dengannya. Orang-orang ini merasa biasa saja ketika agamanya dihina. 

Di zaman Rasulullah saw., dulu pernah kejadian dahsyat yang berawal dari suatu peristiwa bahwa ada Muslimah yang dikaitkan ujung  pakaiannya ketika berada di pasar kaum Yahudi Bani Qainuqa, ternyata jeritan muslimah itu membuat seorang pemuda marah lalu ingin membunuh seorang Yahudi yang (mungkin) iseng saja melakukan pelecehan itu, namun pemuda itu akhirnya terbunuh oleh orang Yahudi. Rasulullah saw. mengambil langkah tegas yaitu langsung memerintahkan pengepungan kepada Bani Qainuqa’ sampai mereka menyerah dan semuanya diusir secara hina dari kota Madinah. Itulah ghirah yang kini hilang dari diri umat Islam.

Dan melalui penistaan terhadap Islam ini kita (umat Islam) melihat siapa yang masih memiliki ghirah ini. Umat menjadi terpolarisasi mana yang di barisan mukmin dan pendukung Islam dan mana yang berislam tapi hatinya tidak terketuk/terpanggil untuk membela agamanya.

Makna Politis Dibalik #Reuni212

            Dengan ghirah yang tetap menyala, sejatinya aksi besar-besaran umat Islam tak berhenti pada upaya menuntut kepada pemerintah agar penista al-Quran, Nabi, dan simbol-simbol Islam  diadili secara tegas. Sebab telah banyak kita saksikan hukuman yang dijatuhkan pada orang-orang sebelumnya pun dirasakan tidak fair bagi umat Islam itu sendiri. Umat Islam menjatuhkan harapan pada orang yang salah sebab demokrasi adalah hukum buatan manusia. Maka wajar saat pertimbangan “perikemanusiaan” dijadikan sebagai landasannya. Bukan marah dan ridho-Nya Sang Pencipta.

Maka aksi besar-besaran umat Islam harus terus dilanjutkan dengan tuntutan kepada para penguasa untuk segera menerapkan seluruh isi Al-Quran (syariah Islam) secara kaffah. Hanya dengan cara itulah segala bentuk penodaan dan penghinaan terhadap Islam dan semacamnnya dapat dihindari.

Umat Islam harus menempatkan marah dan ridhonya sesuai dengan kondisi dan tempatnya. Marah ketika Islam dinomorduakan dalam kehidupan bernegara dan ridha hukum Allah diterapkan di bumi-Nya, tempat kaki ini berpijak.

Lagi saya mengutip isi tulisan Buya Hamka, “dan apabila ghirah telah tak ada lagi, ucapkanlah takbir empat kali ke dalam tubuh ummat Islam itu. Pocongkan kain kafannya lalu masukkan ke dalam keranda dan hantarkan ke kuburan.” Wallahu’alam bish shawab. (rf/voa-islam.com)

*Penulis adalah anggota Media Muslimah Kendari

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version