View Full Version
Jum'at, 30 Nov 2018

Ironi Nasib Guru Honorer di Negeri Ini

Oleh: Amaleea

Tak berlebihan sebetulnya keinginan ribuan guru honerer pada saat mendatangi istana yaitu menanyakan bagaimana kejelasan status kepegawaian mereka. Mereka menginginkan adanya perubahan status dari guru honorer menjadi PNS.

Wajar karena mereka sudah bertahun tahun bahkan berpuluh tahun telah mengabdikan diri untuk pendidikan. Namun tak kunjung ada jaminan atas status meraka. Padahal guru adalah tonggak dalam kemajuan pendidikan sebuah bangsa.

Namun sayang dayung tak bersambut, alih alih ingin mengadukan nasibnya pada sang penguasa, guru honorer  yang datang dari berbagai daerah ini tak ditemui oleh siapapun. 

Bahkan mereka harus sampai bermalam di depan istana. Dengan alas tidur seadanya bahkan tanpa alas tidur mereka bertahan disana hanya untuk bisa bertemu Sang Presiden. Namun sampai pada akhirnya mereka harus pulang sambil gigit jari tak ada satupun yang bersedia menemui mereka.

Deputi IV kantor staf Presiden Eko Sulistyo menyarankan para guru honorer yang hendak bertemu dengan Presiden JokoWidodo untuk mengajukan surat permohonan, menurut dia, cara tersebut lebih efektif ketimbang melakukan aksi unjuk rasa di depan istana (tribun-timur.com), masih menurut beliau, tuntutan para guru honorer yang ingin di angkat menjadi PNS adalah masalah teknis, tidak perlubertemu dengan presiden langsung cukup bertemu menteri terkait.

Pihak istana sejatinya telah mengupayakan agar para guru honorer bisa bertemu menteri terkait. Namun sayang, para menteri terkait yaitu menteri hukum dan HAM, menteri keuangan dan kementrian PAN-RB tak ada yang bisa hadir saat itu.

Alhasil, para guru honorer yang berunjuk rasa hanya ditemui oleh perwakilan setneg dan KSP, namun tentu saja pihak setneg tidak bisa menjanjikaan apa apa karena meraka bukan pengambil keputusan. Sudah dapat ditebak akhirnya para guru honorer pulang tanpa membawa hasil apapun, ironi.

Berbeda dengan Moeldoko kepala staf kepresidenan (KSP) menanggapi unjuk rasa ribuan guru honerer  pada tanggal 31 oktober 2018, beliau mengatakan “bukan enggak mau nerima, sama sama padat semua kemarin ya” (liputan6. News). Masih menurutnya, pemerintah sudah menyiapkan solusi atas persoalan ini yaitu salah satunya adalah pekerja honorer menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K).

Ya inilah potret kesemerawutan birokrasi di negeri tercinta ini. Coba kita bandingkan dengan kondisi pada saat kekhilafahan, betapa guru memiliki posisi yang sangat penting bahkan penghargaan terhadapnya sangat diperhatikan.

Karena negara menyadari bahwa pendidikan bagi seluruh warga negara adalah tanggung jawabnya. Kualitas bangsa sangat ditentukan oleh kualitas pendidikannya, tak heran jika pada saat islam berjaya jangankan harus berunjuk rasa, para guru lebih disibukkan untuk mencerdaskan bangsa tanpa harus dibuat pusing oleh kesejahteraannya.

Ini bukan sebuah utopis atau angan-angan, namun  ini contoh konkret barangsiapa menggunakan hukum allah dalam segala urusan insyaAllah bukan saja selesainya permasalahan namun keberkahan menyertainya. Walahu’allam. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version