View Full Version
Jum'at, 30 Nov 2018

Kesatuan yang Menguatkan

Oleh: Ulinnuha Khoirunnisa Arofati

Aku dan kamu beda. Latar belakang kita beda. Hidup kita beda. Pokoknya kita beda yang nggak bisa di satukan gimanapun caranya.

Sering bin seringkali ada fenomena seperti diatas muncul di kehidupan keseharian kita. Terkadang kita terpisah sekat perbedaan yang memang menjadi kewajaran.

Misalnya sekat wilayah atau kesukuan, orang jawa dengan orang sumatera, orang sumatera dengan orang Kalimantan, atau juga karena sekat perbedaan nasab dan kedudukan. Kedudukan anak lulusan SMP dengan anak seorang rektor perguruan tinggi dipandang pasti beda. Buat yang punya gelar masih keturunan ningrat (dalam adat kejawen sih), ada strata perbedaan lebih tinggi dari keturunan orang biasa. Perbedaan pasti ada.

Perbedaan ini tidak jarang pula menyelinap di kalangan kaum muslimin, yang beragama satu, memiliki Illah yang satu, dan berpedoman pada aturan yang satu. Sekat perbedaan kecil seperti berbedanya madzab, seringkali menimbulkan sulutan perbedaan yang menghasilkan jarak tersendiri. Ah iya, wajar saja, bukankah fitrah manusia memang ingin dikenal eksistensinya.

Islam memiliki jati diri sebagai agama yang merahmati perbedaan. Ikhtilafuu ummati rahmatun- perbedaan yang ada di kalangan ummatku adalah rahmat-. Rasulullah SAW menyampaikan pesan ini.

Ini terbukti saat Rasul dan para sahabatnya sedang berada dalam perang bani quraydhah. Mereka bertolak setelah melaksanakan perang khandaq sedang saat itu Rasul menyuruh dengan cepat segera ada di quraydhah. Rasul berpesan, “Jangan sekali-kali kalian sholat ashar kecuali berada di bani quraydhah!”

Para sahabat yang mendengarkan hal itu berselisih paham tentang perintah dari Rasul ini. Ketika di perjalanan sahabat yang berada dalam golongan A meyakini maksud Rasul dalam perintah itu adalah jika telah masuk waktu ashar sedang mereka masih ada di perjalanan maka shalat ashar di perjalanan diperbolehkan Rasul. Para sahabat golongan A meyakini perintah tersebut bermakna mereka harus bergegas. Sehingga mereka shalat di perjalanan.

Sedangkan apa yang terjadi pada sahabat golongan B? Mereka memaknai maksud perintah Rasul tersebut sesuai pengertian yang dimaksud dalam ucapan beliau. Merekapun yang berada pada golongan B menunda shalat ashar hingga nanti sampai di bani quraydhah.

Ketika kedua golongan dari para sahabat Rasul sama-sama sampai di bani quraydhah, mendapati para sahabat memiliki daya paham yang yang berbeda-beda, Rasul justru bukan menyalahkan golongan A lantas membenarkan golongan B, ataupun sebaliknya. Rasul malah membenarkan pemahaman keduanya.

Perbedaan kecil memang berpotensi menyulutkan kebencian. Keterpecahan. Tetapi selama perbedaan itu masih sesuai dalam koridor syariah bukankah itu halal dan tidak bermasalah? Seperti yang dialami para sahabat diatas.

Dan saat ini kita sedang berada dalam upaya ‘disibukkan’ oleh adanya perbedaan kecil itu. Masih ingatkah dengan peristiwa demonstrasi terbesar dalam sejarah saat seluruh kaum muslimin berkumpul jadi satu pandangan, tumpah ruah untuk membela sebuah kebenaran ;ayat Al Quran yakni Al Maidah 53 yang dinistakan? Nggak ada yang pantas diperbedakan disitu.

Soal suku, golongan, organisasi apapun tidak jadi pertanyaan. Yang diperhatikan saat itu Cuma satu: yaitu dengan dorongan keimanan dan ketaatan pada agama islam, segalanya harus diperjuagkan. Dan bersatunya kaum muslimin yang berbeda beda itu sejatinya karena mereka punya kesamaan iman.

Hakikat muslim adalah bersaudara. Dan bersaudara bagaimanapun pasti berbeda. Bersaudara bagaikan satu tubuh yang saling menguatkan. Sehingga perbedaan jika ada dalam kesatuan akan tetap saling menguatkan satu sama lainnya.

Maka sudah saatnya kita, kaum muslim saling bersatu. Dalam kesatuan kaum muslimin yang sama-sama memperjuangkan agamaNya. Perbedaan tidak akan menjadi penghalang. Karena keyakinan iman yang sama yang mempersatukan kita. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version