View Full Version
Selasa, 11 Dec 2018

Toleransi Salah Kaprah

Oleh: M Rizal Fadillah

Setara Institute yang didirikan tokoh "kiri" Hendardi seperti biasa merilis 94 kota paling toleran dan paling intoleran. Tahun 2017 DKI ditempatkan paling intoleran disusul Banda Aceh.

Pada tahun ini Sabang disusul Medan. Lalu yang kota paling toleran 2017 Manado lalu Pematang Siantar. Tahun 2018 yang paling toleran Singkawang disusul Salatiga. Salah satu indikator penilaian soal kebebasan beragama dan keyakinan.

Sangat jelas misi dibalik penelitian. Lihat hasil kota paling intoleran dulu DKI Jalarta sekarang Sabang. Basis muslim. Sedang paling toleran dulu Manado sekarang Singkawang. Basis non muslim. Kita tak perlu percaya pada hasil penelitian ini, tapi rilis telah membangun pencitraan bahkan bisa penyesatan. Domain keagamaan menjadi dasar toleransi.

Kementrian Hukum dan Ham Jawa Barat dalam rangka memperingati hari HAM menyelenggarakan di SMA/SMK/Aliyah "Apel Pagi Serentak" dengan tema "Jawa Barat Tolak Intoleransi".

Pejabat Kemenhukham menjadi Pembina Upacara dan Nara Sumber. Di samping hal ini merupakan intervensi ke lembaga sekolah di bawah Kemendikbud, juga tema yang diangkat asumtif dan tendensius. Selalu sikap intoleran dikaitkan dengan masalah keagamaan yang dihubungkan dengan HAM. Kelompok muslim sering jadi tertuduh.

Salah kaprah dalam masalah toleransi keagamaan dan keyakinan ini, antara lain.

Pertama, memaknai HAM dengan kebebasan sebebas bebasnya, setara dengan setara setaranya. Harusnya ada proporsi yang ditimbang atau ada 'kewajiban' yang melekat, termasuk penghargaan pada mayoritas.

Kedua, membuat parameter salah HAM dengan perspektif barat yang "bebas nilai", seharusnya HAM dalam parameter ideologi Pancasila yang "sarat nilai". Dengan parameter ideologi maka kapitalisme, sex bebas, gay dan lesbian, bukan obyek perlindungan HAM.

Ketiga, toleransi harus dimaknai saling memahami prinsip keyakinan masing masing, bukan memaksakan "saling memasuki". Muslim yang mengucapkan selamat Natal pada umat lain atau sebaliknya, bukan wujud dari toleransi.

Keempat, menghambat pendirian rumah ibadah di lingkungan mayoritas penganut agama lain, sesuai aturan yang ada, bukan sikap intoleran. Tapi membangun kerukunan yang hakiki.

Kelima, atas dasar HAM semua faham boleh berkembang. Keimanan dan kestabilan negara dapat terancam bila demikian. Karenanya melarang dan mencegah faham komunisme dan kesesatan dalam beragama seperti "The Children of God", Ahmadiyah dan Syi'ah bukanlah sikap intoleran. Justru menegakkan HAM.

Keenam kenaifan luar biasa jika menyamakan prinsip da'wah yaitu amar ma'ruf nahi munkar dengan sikap intoleran. Tidak mungkin ada toleransi pada kemaksiatan, kedurhakaan, penistaan agama, ataupun menyebarkan faham sesat. Da'wah itu tidak lain untuk membangun kekuatan masyarakat dan negara. Segala yang merusak tatanan harus dicegah. Tak boleh dan tak bisa berlindung di HAM apalagi ditoleransi.

Memang saat ini masif sekali upaya merusak makna toleransi. Bisa tendensius seperti penelitian Setara Institute atau program Kemenhuk&ham. Tapi begitulah jika basis moral berbangsa dan bernegara sudah goyah dan tergerus. Pemimpin yang hanya memikirkan jabatan. Pancasila hanya slogan. Makna dan pengamalan yang jauh menyimpang.

Intoleran, radikal, anti kebhinekaan menjadi tudingan dan stigma. Umat Islam selalu jadi sasaran. Toleransi salah kaprah. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version