View Full Version
Kamis, 13 Dec 2018

Virus Islamophobia di Balik Stigma Radikal

Oleh:

Ulfiatul KhomariahFounder Ideo Media, Pemerhati Masalah Sosial dan Politik

 

AKHIR-AKHIR ini kata ‘radikal’ seolah sengaja dibuat booming. Episodenya terus berlanjut hingga penonton tak asing lagi dengan karakter pemainnya, bahkan bisa jadi penonton pun sudah tak asing lagi dengan jalan ceritanya. Jika di dalam sebuah karya fiksi, ada yang namanya tokoh antagonis dan protagonis, maka dalam dunia nyata pun sama. Begitulah jalan ceritanya, tokoh antagonis akan selalu menyerang tokoh protagonis agar tak menyainginya dalam hal apapun.

Begitupun dalam dunia politik, kita biasa sering mendengar istilah “black campaign” atau ‘kampanye hitam’ untuk menjatuhkan lawan melalui isu-isu negatif. Maka dalam dunia adu argumentasi, kita juga biasa mendengar istilah “character assassination” atau ‘pembunuhan karakter’. Jika kita kaji tentang dua istilah ini, maka yang kita temukan adalah berbeda dalam berbagai hal, baik dari segi semantik maupun sosiolinguistiknya. Namun perlu diketahui bahwa keduanya memiliki karakter yang sama, yakni sama-sama memiliki upaya jahat untuk menyerang pribadi atau karakter seseorang ketika tidak mampu lagi menandingi atau membantah argumentasi yang ditujukan kepadanya.

Cara yang dilakukan pun beragam, terkadang dilakukan dengan menyebarkan berita-berita miring, menyebarkan fitnah, atau menunjukkan sisi negatif orang yang berlawanan arah dengannya. Alhasil, fitnah itu pun digoreng oleh media pendukung sehingga sosok yang menjadi target benar-benar terjebak dalam situasi ‘seolah-olah benar’ atas semua fitnah yang disebarkan.

Bukan suatu hal yang tabu lagi, kecanggihan media sekuler ternyata mampu membalikkan korban kejahatan menjadi pelaku kejahatan. Begitupun sebaliknya, pelaku kejahatan bisa saja diframingkan menjadi korban kejahatan.

Sebagaimana beberapa waktu yang lalu begitu santer isu tentang masjid radikal dan penceramah radikal. Hal ini didasarkan oleh hasil survei Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) terhadap 100 masjid di Jakarta. 100 masjid tersebut terdiri atas 35 masjid di Kementrian, 28 masjid di Lembaga Negara dan 37 masjid di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hasil analisa dari survei tersebut menyatakan bahwa ada 41 masjid yang terindikasi radikal. Tentu hasil survei ini begitu sangat mencengangkan dan menjadi polemik di tengah masyarakat bahkan para tokoh agama.

Menela’ah Makna Radikal

Jika mendengar kata radikal, apa yang ada di dalam benak kita? Sebelum berfikir yang macam-macam, mari kita tela’ah bersama-sama apa makna radikal itu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), radikal dimaknai (1) secara mendasar (sampai pada hal prinsip), misalnya dalam frasa ‘perubahan yang radikal’; (2) amat keras menuntut perubahan (undang-undang pemerintahan); (3) maju dalam berpikir atau bertindak.

Setelah memahami arti kata radikal, barulah kita bisa mencari konotasi atau kecenderungan citra dari makna radikal itu sendiri. Radikal bisa menjadi positif maupun negatif tergantung sudut pandang yang digunakan juga keberpihakan dari media yang mengopinikan. Misalnya pandangan Presiden Pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno dalam sebuah buku bertajuk “Mentjapai Indonesia Merdeka” (Maret 1933). Di dalam buku itu beliau menulis bahwa untuk menuju Indonesia merdeka harus dipimpin oleh sebuah partai pelopor.

Berikut kutipan teksnya, “Di antara obor-obornja pelbagai partai jang masing-masing mengaku mau menjuluhi perdjalanan rakjat, massa lantas melihat hanja satu obor jang terbesar njalanja dan terterang sinarnja, satu obor jang terkemuka njalanja, ja’ni obornja kita punja partai, obornja kita punya radikalisme!” tulisnya. Makna radikal yang tertera dalam tulisan ini adalah positif, yakni perubahan yang sifatnya mendasar menuju ke arah kebangkitan.

Namun sayangnya, belakangan ini makna radikal dikonotasikan negatif. Bahkan lebih mirisnya kata radikal sering disematkan kepada Islam dan gerakan Islam yang berupaya untuk menyelamatkan Indonesia dari penjajahan gaya baru (neoimperialisme) dengan Syariat Islam yang bersumber dari Kitabullah dan Sunah Rasulullah. Terutama bagi siapapun yang memperjuangkan tegaknya khilafah sebagai ajaran Islam pasti langsung di cap sebagai radikal. Sungguh sangat miris sekali!

Sebenarnya pemberian label negatif terhadap Islam bukanlan suatu hal yang baru. Sejak dimulainya War on Terorism (WoT) oleh Amerika, kita mendapati bahwa pelan tapi pasti beberapa istilah-istilah Islam mulai distigma negatif. Pertama adalah syariat jihad, kata jihad mulai distigma negatif, setelah itu diberikan penafsiran-penafsiran lain bahwa kata jihad pasti akan mengarah kepada tindakan terorisme. Namun kebangkitan Islam semakin tampak, mereka pun melakukan agenda War on Radicalsm (WoR) dengan menyematkan kata radikal kepada para aktivis dakwah Islam yang menginginkan penerapan Islam secara kaffah.

Tak hanya itu, stigma negatif terhadap para pejuang Islam juga sudah disematkan sejak dulu. Sebagaimana yang terdapat dalam majalah The New York Times, edisi 20 November 1945 menampilkan headline ‘Moslem Fanatics Fight in Surabaya’. Para pejuang yang mengusir penjajah yang dipimpin Bung Tomo dengan semangat takbir itu dicap sebagai ‘Moslem Fanatics’. Padahal, perjuangan mulia yang mereka lakukan didasari jihad fisabilillah, yaitu berjuang di jalan Allah Swt.

Kurang lebih seperti itulah cara halus yang mereka mainkan untuk menghadang dakwah para da’i yang memperjuangkan tegaknya syariat Islam secara kaffah. Ketika argumentasinya tidak mampu lagi mereka bantah, maka yang diserang adalah kepribadiannya. Julukan ustad ekstrim, muslim fanatik, radikal, anti pancasila, intoleran, mengancam kebhinnekaan, pendukung teroris dan sebagainya bertujuan agar mereka dijauhi oleh masyarakat dan menjadikan masyarakat phobia terhadap ajaran Islam.

Sejatinya konotasi negatif terhadap makna radikal, berlebih lagi pelekatanya kepada Islam dan gerakan Islam yang menyuarakan Islam secara kaffah adalah bentuk penyebaran Islamophobia. Paham yang menggiring masyarakat, bahkan Muslim sendiri untuk merasa phobia terhadap ajaran Islam itu sendiri sehingga menjadikan muslim enggan menerapkan islam secara kaffah. Dan lebih parahnya ada tuduhan bahwa paham radikal dengan ciri mengusung khilafah menginspirasi tindakan terorisme.

Tuduhan-tuduhan seperti ini sengaja digoreng terus menerus oleh negara-negara kafir penjajah yang didukung oleh para anteknya. Tujuannya untuk terus melanggengkan penjajahan mereka di negeri-negeri Islam. Mereka ingin terus menguras sumberdaya alam yang melimpah-ruah di negeri-negeri kaum muslim. Padahal neo-imperialisme atau penjajahan gaya baru yang saat ini menyelimuti dunia Islam hanya akan tercerabut dari akarnya jika kaum muslim menerapkan syariah Islam dan bersatu padu tanpa sekat-sekat negara bangsa. Hal ini meniscayakan tegaknya khilafah sebagai institusi pelaksana syariah dan pemersatu umat. Wallahu a’lam bish-shawwab.


latestnews

View Full Version