View Full Version
Ahad, 16 Dec 2018

Menang dengan Curang

Oleh: M. Rizal Fadillah

Pemilu, khususnya Pemilihan Presiden langsung adalah upaya dari perwujudan penegakkan kedaulatan rakyat. Legitimasi awal dan mendasar bagi peran politik dimana figur terpilih kelak memiliki otoritas untuk menetapkan kebijakan publik. Asas pemilihan simple mayority.

Suara lebih sebagai pemenang. Meski menjadi tidak didukung seluruh rakyat, namun berhaklah ia menyebut representasi rakyat. Ini ironi demokrasi yang diterima dalam budaya politik kompetisi dimanapun.

Tahun 2019 kita menghadapi Pilpres. Dua pasang bersaing. Semua berjuang untuk sukses yang didukungnya. Secara kalkulasi siapapun bisa jadi pemenang. Persoalannya jika kemenangan didapat dengan cara curang, apakah menyangkut data pemilih, proses pencoblosan atau pula saat penghitungan suara.

Untuk ini sinyal sudah ada. Ketika uang berbicara lantang, semua kemungkinan bisa terjadi. Pengawas bisa disiasati atau celakanya juga ikut jadi pemain. Pembuktian hukum seperti biasa tidak mudah, akan tetapi kecurangan itu akan sangat terasa. Publik makin cerdas dan dapat menilai.

Ketika kemenangan didapat dengan fair dan jujur, semua bisa menerima apa pun. Tapi jika sebaliknya yakni kecurangan masif yang terjadi, maka dipastikan muncul kegelisahan baru di masyarakat. Proses hukum tetap berjalan dengan ada pengaduan ke Mahkamah Konstitusi dan mungkin pidana ke proses penyidikan. Tapi kita skeptis pada proses hukum yang adil, apalagi ini kasus politik. Kekuatan politik jauh lebih kuat dan biasanya sangat menentukan.

Nah, ada beberapa hal yang mungkin terjadi jika kecurangan melekat dengan kemenangan kandidat manapun, yaitu :

Pertama, media mainstream tetap bungkam. Tidak siap untuk memgambil risiko menjadi corong suara kebenaran yang mungkin berakibat menjadi berhadapan dengan kekuasaan. Karenanya yang akan ramai adalah di dunia maya medsos. Cyber army dalam berbagai model menjadi pasukan pengobrak abrik opini dan aspirasi.

Kedua, ulama dan aktivis yang selama ini kritis akan terus melakukan teriakan moral atas buruknya perilaku dan kondisi politik negeri pasca pilpres yang curang tersebut. Jika penguasa melakukan tindakan represif, maka itu menjadi boomerang bagi stabilitas dan kondusivitas. Akibatnya kepercayaan akan mencapai titik nadir, lalu perlawanan rakyat menguat.

Ketiga, unjuk rasa sulit untuk dibendung. Di daerah-daerah maupun di ibu kota. Aksi damai 212 menjadi spirit sendiri dalam menegakkan keadilan. Alumninya mudah dipanggil untuk berkumpul, tentu dengan arah tuntutan yang semakin jelas dan fokus. Bisa mendesak batalkan hasil pemilu, pemilu ulang, atau rezim ganti tanpa syarat. Jika yang terakhir terjadi tentunya atmosfer menjadi darurat .

Keempat, tidak menutup kemungkinan pencuri keadaan akan memanfaatkan. Apakah Rusia China Komunis, Amerika dan Eropa, Syi'ah Iran, atau kekuatan ideologi global lain ikut aktif mengobok-obok negeri, yang memang sengaja diarahkan dan senang pada keadaan chaos. Kekuatan asing yang terjun langsung menendang-nendang bola perpecahan bangsa adalah bukti proxy war berjalan. Ini bahaya berat kita ke depan.

Mengingat dampak buruk yang bisa terjadi dari polarisasi dukungan kandidat Presiden dan Wakil Presiden, kiranya para petinggi negeri lebih arif menyikapi dan mewaspadai.

Adapun satu sikap dan langkah yang mesti dilakukan bersama adalah "Jangan memenangkan Pilpres 2019 dengan cara curang..!". Kecurangan adalah benih keruntuhan. Kita semua mesti mencegahnya. "Prevention better than cure". Mencegah lebih baik daripada mengobati. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version