View Full Version
Jum'at, 21 Dec 2018

Ada Tapi Tiada

Oleh: M Rizal Fadillah

Pas ungkapan ini diberikan untuk Presiden. Soal Uyghur sepi pernyataan politik tanda solidaritas, malah Wapres JK yang komen, itu pun mengecewakan "Ujghur urusan domestik Cina".

Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Mestinya tingkat kepedulian tinggi terhadap nasib muslim di negara lain. Bukan ikut campur, tapi memunjukkan solidaritas, mengingatkan, dan bila perlu menekan. Ini lebih sekedar persoalan penindasan etnik muslim, tapi kejahatan kemanusiaan.

Presiden sering hilang disaat penting atau genting. Dulu dalam kasus Ahok yang dikenal gerakan 411 pimpinan umat ingin bertemu menyampaikan aspirasi dan dialog. Eh malah kabur ke tanjung priok.

Ketika guru honorer ingin sekedar diterima dan diperhatikan masalahnya, larilah ke acara Wanita Katolik Republik Indonesia. Ketika ribuan guru menginap di jalan, bukan ditemui, malah blusukan ke pasar Bogor.

Menghindar dari masalah adalah kebiasaannya. Urusan tanggung jawab sangat minimalis. Soal BPJS yang carut marut mengeles "mengapa harus menjadi urusan saya".

Dollar terhadap rupiah meroket cuek saja. Hutang bejibun pun dianggap risiko membangun. Bersepeda santai bermotor besar. Kebal dan bebal. Sungguh perasaan rakyat dipermainkan. Negara ini ada Presidennya atau tidak ? Ada, tapi tiada.

Sekaliber kepala pemerintahan bisa mengajak rakyat beternak kalajengking dan mengganti kebun sawit dengan jengkol. Menjual pelabuhan dan jalan tol. Kesulitan masyarakat soal pembuatan KTP el dan banyaknya Yang rusak/invalid adalah masalah besar, tapi tak menarik perhatian.

Tak ada gagasan strategis untuk memajukan bangsa. Nawa cita dan revolusi mental jadi alat membual. Faktanya demokrasi meluncur ke tingkat otoritarian menuju wujud negara gagal. Lawan lawan politik dibungkam dengan sandera kasus, fasilitas, atau memang dikriminalkan. Hukum menjadi alat efektif untuk menutup suara kritis. Semua jaringan bekerja. Pak Presiden tetap tiada.

Siapa dibalik "kegaiban" ini? Tentu orang atau kelompok kepentingan. Ada perwira, pengusaha, media, partai, tokoh agama, atau lainnya yang merasa perlu atau berlindung dibalik keluguan dan keterbatasan kemampuannya.

Merekalah yang tak butuh Presiden yang berkualitas berwawasan atau berbuat hebat untuk meningkatkan martabat bangsa. Berebut pengaruh untuk mengendalikan dan memanfaatkan. Semakin tiada semakin 'ada' mereka. Karenanya "political standing" untuk mr President adalah ada tapi tiada.

Masalahnya yang jadi korban adalah masyarakat dan rakyat. Rakyat butuh pemimpin yang membawa cahaya arah perjalanan. Perlu solusi dari masalah yang dihadapi. Pemimpin yang selalu hadir, bukan yang suka lari lari. Ingat ungkapan Nabi tentang penggembala yang diamanati menggembala kambing, ia lalai atau tertidur, maka ketika tersadar atau terbangun, kambing kambing sudah digembalakan oleh Serigala.

Serigala nilai tengah mengancam rakyat dan bangsa Indonesia. Sekularisme, liberalisme, dan komunisme sudah menancapkan kuku kukunya. Siap mencabik-cabik.

Sebelum parah kondisi negara dan bangsa, maka rakyat mesti berbuat. Cepat ganti pemimpin yang suka tidur atau abai. Yang ada tapi tiada.

Alangkah naifnya kita jika pemimpin model ini tetap dipertahankan. Terlena oleh tipu daya. Rayu dan main sandera. Seenaknya menempatkan lawan di penjara. Yang dipilih oleh pemilih di kotak suara terbuat dari kardus semata.

Pilihan kita adalah esok ceria atau lebih menderita. Semoga kita bukan termasuk pemilih gila. Sayangilah negara dan bangsa Indonesia. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version