View Full Version
Selasa, 25 Dec 2018

Sertifikat Khatib

Oleh: M. Rizal Fadillah

Beberapa waktu yang lalu Kemenag meluncurkan rencana untuk melakukan sertifikasi da'i atau mubaligh. Sudah tercatat konon 200 mubaligh. Rencana tersebut tak berkelanjutan karena protes dan keberatan banyak fihak termasuk dari ormas ormas Islam, ulama, dan kalangan mubaligh sendiri.

Kini di media sosial muncul kembali gagasan atau rencana sertifikasi Khatib. Kali ini diungkap oleh Ikatan Khatib Dewan Masjid Indonesia (DMI) dengan alasan banyaknya Khatib yang isi khutbah menjelekkan orang lain, mengumbar kebencian, dan menjelekkan pemimpin negara.

Semakin parah negeri ini mengatur proporsi mubaligh, da'i atau khatib. Melengkapi kebingungan di segala bidang. Ekonomi yang sudah berantakan, politik yang jauh dari nilai-nilai kerakyatan, hukum terkooptasi, agama pun terus diacak acak. Hilang kemandirian. Perda agama dimasalahkan, hukum perkawinan digerus, para mubaligh pun digoyang-goyang. Hawa nafsu mengendalikan akal sehat dan syari'at.

Apa dasar kompetensi Ikatan Khatib DMI dapat mensertifikasi, adakah peraturan perundang-undangan yang melandasi? Tanpa itu namanya sewenang wenang. Ini baru "alif". Selanjutnya apa kriteria atau tolok ukur khatib mendapat sertifikat atau tidak.

Siapa yang berhak membuat? ini "ba". Dimana peran jamaah yang bisa merasakan perlu dan manfaat isi khutbah ? Apa mereka itu kumpulan orang orang bodoh yang hilang haknya untuk menilai khatib ? Ini "ta". Nah, akan banyak masalah yang muncul yang jika diurut bisa sampai "ya".

Oleh karena itu adanya pernyataan atau rencana Ikatan Khatib DMI mengenai sertifikasi dinilai berlebihan dan rentan kritik bahkan, gugatan. Janganlah umat menilai para Pengurus Ikatan Khatib DMI adalah orang orang yang tak mengerti syariat, sok berkuasa, penjilat, menistakan jama'ah, serta jauh dari bertahkim pada Sunnah Nabi Muhamnad SAW.

Dari pada mengambil kebijakan kontraproduktif soal sertifikasi, lebih baik mencari upaya untuk meningkatkan kuantitas, kualitas, serta kesejahteraan para Khatib. Pada umumnya Khatib berkesempatan berkhutbah itu atas permintaan jamaah melalui pengurus DKM nya.

Jika Khatib buruk, hanya bisa menjelek-jelekkan, menghasut, "radikal" dan lain-lain, maka jamaah kelak tidak akan memintanya lagi berceramah. Itu sanksi sosialnya. Dengan demikian kita mesti yakin dan percaya bahwa jamaah itu selektif dan cerdas.

Di sisi lain, para Khatib jangan disamakan dengan profesional tertentu yang bisa saja mengharuskan sertifikasi. Para Khatib adalah pengembang agama yang ikhlas.

Mujahid da'wah yang tak butuh sertifikat. Apalagi sertifikat yang bernilai agunan. Khatib adalah pejuang di jalan Allah yang tak berharap imbalan. Tak ada tarif untuk itu. Jangan rendahkan niat dan langkah para Khatib di masjid-masjid. Berprasangka buruk pada mereka adalah dosa.

Ini bukan negara kekuasaan yang semua mesti diatur atur secara ketat. Ini bukan negara Komunis yang para penceramah diawasi dan khutbah disensor sensor. Misi Khatib adalah mengubah akhlak masyarakat ke arah yang lebih baik. Sertifikasi merupakan pelecehan dan perendahan martabat pejuang Allah yang bergerak dari mimbar ke mimbar, dari Masjid ke Masjid.

Moga Ikatan Khatib DMI bukan menjadi lembaga politik penguasa yang berfungsi sebagai "tukang ikat" para Khatib. Jika demikian, celakalah! [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version