View Full Version
Kamis, 03 Jan 2019

Politik Sinterklas

Oleh: M Rizal Fadillah

Sinterklas atau Santa Klaus atau Santo Nikolas dalam budaya Kristen Barat muncul di saat Natal. Dengan kendaraan ditarik rusa di musim salju, Sinterklas membagi bagi hadiah kepada masyarakat khususnya anak anak. Setiap Natal anak anak menunggu datangnya Bapak Santo yang akan membagi bagi hadiah tersebut.

Beredar video Presiden Jokowi sedang bagi bagi amplop yang berisi uang. Diberikan kepada tukang becak dan orang dipinggir jalan langsung dari jendela mobil yang melaju lambat. Wajah Jokowi nampak jelas.

Isinya dua puluh lima ribu rupiah. Adapula dalam gambar video lain di Ngawi sambil berdiri amplop itu dibagi bagi. Konon berisi seratus ribu. Masuk pula dalam berita televisi.

Yang dilakukan Jokowi "baik hati" bagai sinterklas ini tidak jelas apakah sebelum musim kampanye atau sudah. Jika sudah masuk, maka tentu ini pelanggaran pemilu, namun jika belum, ya itu tadi bangunan budaya politik sinterklas yang sedang dimainkan Presiden.

Dengan asumsi bukan di masa kampanye inilah kita melihat hal ini sebagai sinterklas politik. Mengingat foto maupun video ini tidak dibantah atau disesalkan beredarnya, maka kesengajaan ini menjadi bagian dari "kampanye" pencitraan.

Membagi uang sebagai wujud kebaikan ya bagus bagus saja. Tetapi jika ini dikaitkan dengan pencitraan di atas tentu menimbulkan masalah yang kurang baik. Apalagi dilakukan demonstratif oleh seorang Presiden Republik Indonesia.

Pertama, hal ini menambah predikat sebagai Presiden yang gemar "action" dibalik slogan 'kerja kerja". Kedua, di tengah upaya memberantas "politik uang" di negara ini, ironinya justru budaya buruk "politik uang" dipertontonkan dan dicontohkan. Ketiga, membangun kecemburuan sosial pada masyarakat, ada yang dapat ada yang tidak. Sedih melihat kerumunan rakyat berebut amplop uang.

Lucunya ketika kasus tsunami Banten kemarin, masyarakat ada yang protes "Jokowi cuma lewat, tidak bawa apa apa..". Lalu beredarlah foto foto sendirian di tepi pantai. 'Berfose' di tengah musibah.

"Man tasyabbaha bi qaumin fa huwa min hum" (HR Abu Dawud). Ikut ikutan budaya asing, sama dengan mereka. Di samping ikut ikutan natal atau merayakan tahun baru itu "budaya kristiani", juga "politik sinterklas" bukan budaya asli bangsa.

Istilah yang dikenal masyarakat dengan bagi bagi "angpaw" menunjukkan asal kultur itu. Kesananya "bagi bagi proyek". Nuansanya adalah suap.

Hentikan politik sinterklas, berilah rakyat kampak atau kail. Ketrampilan untuk berkreasi dan memproduksi. Bukan menjadi pengemis yang berharap datangnya "bantuan langsung" lalu dikonsumsi segera dan tetap saja mereka miskin.

Sementara itu sang artis tetap ingin jadi Presiden lagi. Mengais suara dengan "angpaw-angpaw". [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version