View Full Version
Senin, 21 Oct 2019

Mengkritisi dan Menangkal Upaya Asing dalam Menghancurkan Bangunan Keluarga

Oleh: Mela Ummu Nazry Najmi Nafiz (Pemerhati Generasi)

Bonus demografi yang dialami Indonesia dan sederet negeri muslim lainnya menjadi ancaman nyata bagi negara asing yang mengalami penurunan angka kelahiran dan pertumbuhan penduduk.

Sedangkan salah satu syarat berkembangnya  sebuah peradaban adalah tingginya tingkat kelahiran dan pertumbuhan penduduk suatu negeri. Karenanya terjadi penggembosan isu jika tingginya angka kelahiran dan pertumbuhan penduduk suatu negeri adalah ancaman bagi keberlangsungan hidup suatu negeri.

Dibuatlah teori-teori sesat dan menyesatkan jika tingginya angka kelahiran dan pertumbuhan penduduk suatu negeri akan menyebabkan kemiskinan dan kelaparan. Padahal sejatinya teori tersebut adalah salah dan menyesatkan.

Tersebab kemiskinan dan kelaparan suatu negeri bukan ditimbulkan dari tingginya angka kelahiran dan pertumbuhan penduduk melainkan dari kesalahan pengurusan urusan rakyat oleh penguasa akibat penerapan sistem sekuler kapitalistik yang membelit negeri.

Sialnya, teori salah dan menyesatkan ini diadopsi oleh negara saat ini hingga menjadi sebuah bentuk kebijakan publik yang sangat jauh dari nalar sehat manusia, hingga lahir wacana pembatasan usia pernikahan diangka 19 tahun,  upaya legalisasi elgebete dan "pemaksaan" para wanita keluar rumah dengan dalih kesetaraan gender dan emansipasi wanita ataupun pemberdayaan wanita untuk kemandirian ekonomi yang sebetulnya hal ini akan berpengaruh besar pada hilangnya naluri pengasuhan seorang ibu.

Padahal sejatinya ibu adalah tiang negara, sebagai guru, teladan dan pemberi kasih sayang sejati bagi anak-anaknya. Artinya kesalahan cara pandang dan penilaian terhadap bonus demografi yang terjadi dinegeri ini akan berpotensi untuk menghancurkan bangunan keluarga dengan harapan dapat menurunkan angka kelahiran dan pertumbuhan penduduk, sehingga sebuah negeri tidak dapat membangun peradabannya.

Padahal keluarga  adalah benteng pertahanan terakhir pembangun peradaban manusia. Artinya jika bangunan keluarga hancur, maka hancurlah peradaban yang dibangunnya.

Karenanya, haruslah ada upaya sistemik dan sistematis untuk menangkal seluruh agenda asing dalam upaya penghancuran bangunan keluarga tersebut. Upaya tersebut dapat diuraikan dari beberapa sisi sebagai berikut :

1) Memahamkan kepada manusia jika kelahiran anak adalah anugerah, sebuah bentuk kebaikan, tersebab setiap anak yang dilahirkan adalah fitri atau suci atau tidak berdosa. Kelahiran ini hanya akan membawa kebaikan jika proses kelahirannya baik dan berasal dari bibit yang baik dan halal. Berasal dari suami istri yang terikat dalam ikatan pernikahan yang sah sesuai syariat. Suami adalah seorang laki-laki. Dan isteri adalah seorang perempuan yang diikat dengan akad pernikahan yang sah sesuai syariat.

Dari sini maka segala bentuk faham kebebasan dan elgebete akan tertolak secara otomatis. Tersebab tidak sesuai dengan fitrah penciptaan manusia, tidak memuaskan akal dan tidak menentramkan jiwa. Dan hanya akan menimbulkan masalah demi masalah bagi manusia, karena faham kebebasan dan elgebete adalah biang masalah.

2) Memahamkan manusia jika pembatasan usia pernikahan diangka 19 tahun adalah salah. Tersebab tidak sesuai dengan fakta pertumbuhan manusia secara biologis. Dimana manusia akan matang secara biologis adalah direntang usia 9 hingga 15 tahun. Malah faktanya ada yang kurang dari usia tersebut.

Saat manusia matang secara biologis maka, akan timbul dorongan untuk menikah sebagai salah satu solusi halal dalam pemenuhan naluri dari matangnya manusia secara biologis. Laki-laki ditandai dengan keluarnya sperma dan wanita ditandai dengan menstruasi.

Maka pembatasan usia menikah diangka 19 tahun bukanlah solusi tepat dalam pemenuhan naluri seksual yang lahir dari matangnya manusia secara biologis. Tersebab faktor pencetus matang dini manusia secara biologis saat ini sangat tinggi, banyak dan beragam. Mulai dari masuknya suguhan pornografi dan pornoaksi yang sangat mudah untuk diakses hingga faktor makanan. Belum lagi sajian liberalisasi diseluruh sektor kehidupan, semacam gaul bebas.

Maka solusi atas hal demikian bukanlah dengan pembatasan usia menikah diangka 19 tahun, namun dengan cara menutup seluruh akses yang dapat mempercepat matang dini unsur biologis manusia. Karena faktanya tidak ada anak kecil yang belum baligh atau belum matang tubuhnya secara biologis yang meminta untuk menikah. Sebaliknya yang ingin menikah adalah manusia yang telah matang secara biologis.

Maka seharusnya negara memudahkan bahkan memfasilitasi orang-orang yang ingin menikah dalam rangka menjaga kesucian dan kehormatan diri. Bukan malah membatasi diangka usia 19 tahun.

3) Memahamkan manusia jika konsep kesetaraan gender adalah konsep yang sesat. Tersebab tidak sesuai dengan fitrah penciptaan manusia yaitu selamanya ada laki-laki dan perempuan yang memiliki kekhasan sifat masing-masing yang tidak akan pernah bisa ditukar dan dipertukarkan. Karenanya timbul apa yang disebut sebagai hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan, berdasarkan karakter penciptaannya.

Karenanya diharapkan dengan minimal tiga upaya diatas, manusia akan kembali sadar dan kembali pada fitrah penciptaannya masing-masing. Sehingga laki-laki tidak akan menuntut dan bertransformasi menjadi perempuan dan mengambil peran-peran perempuan, pun sebaliknya wanita tidak akan menuntut dan bertransformasi diri menjadi laki-laki dan mengambil peran laki-laki. Semua akan berjalan sesuai dengan fitrahnya sebagai manusia.

Karenanya dengan kesadaran ini, diharapkan bangunan keluarga menjadi kokoh kembali dan mampu menangkal seluruh upaya asing dalam menghancurkan bangunan keluarga.


latestnews

View Full Version