Oleh: M Rizal Fadillah (Pemerhati Politik dan Kebangsaan)
HU Tribun Jabar hari ini memberitakan mengenai aksi buruh atas disahkan RUU Cipta Kerja menjadi UU. Ridwan Kamil Gubernur Jawa Barat menyarankan agar UU tersebut diterima dulu, kemudian dievaluasi 1 atau 2 tahun. Saran ini sepertinya bijak akan tetapi sebenarnya gambaran dari ketidak-pekaan terhadap perasaan buruh yang menolak dan berunjuk-rasa.
Emil lihat dong bagaimana cara pengambilan keputusan malam hari di DPR fair atau rekayasa. Agenda tanggal 8 tiba-tiba dimajukan menjadi tanggal 5 Oktober dengan pengundangan yang mendadak.
Bukan saja tidak layak tapi tidak beradab. Administrasi anggota yang terhormat seperti kacangan. Mengabaikan dan mempermainkan aspirasi masyarakat khususnya kaum buruh. DPR licik dan pengecut.
Pengesahan terburu-buru seperti tikus yang kepergok makan keju ini jelas menunjukkan UU Cipta Kerja itu sarat kepentingan. Bukan produk hukum yang berorientasi kerakyatan. Sangat merugikan hak-hak kaum buruh. Dari Rancangan Undang-Undang sudah bisa ditangkap misi politik pragmatis kepentingan pemerintah dan pengusaha.
Persoalan bukan pada pelaksanaan satu atau dua tahun. Pasal-pasal itu mengikat sejak diundangkan. Korban sudah lebih dahulu berjatuhan. Buruh yang telah menjadi budak majikan.
Solusi bukan evaluasi pelaksanaan tahun-tahun, tetapi batalkan misalnya dengan Perppu. Itu jika beritikad baik dan hendak menerapkan prinsip good governance.
Disnaker Jabar juga sok bijak dengan menyarankan proses hukum uji materiil ke MK. Rezim ini dalam konteks Omnibus Law seperti sudah all out untuk memaksakan kehendak. Rezim kongkalikong. Karenanya persoalan MK jika ditempuh hanya menjadi hiburan hukum yang ujungnya pasti semakin menyesakkan dada kaum buruh. Omnibus Law bukan persoalan hukum murni tapi ekonomi dan politik.
Baiknya Gubernur bersikap tidak hanya sebagai kepanjangan tangan Pemerintah Pusat tetapi juga sebagai Kepala Daerah yang menjadi pemimpin rakyatnya di daerah. Peduli dan peka pada perasaan rakyat Jawa Barat khususnya yang sedang kecewa terhadap putusan sewenang-wenang Pemerintah dan DPR. Arogansi politik menunggangi undang-undang. Hukum yang diperalat.
Emil harus memahami bahwa unjuk rasa buruh dan mahasiswa adalah bagian dari penegakkan demokrasi. Masyarakat tidak akan bergerak ke jalan dengan menerobos ancaman Covid 19 jika persoalan yang dihadapinya bukankah hal yang dianggap serius.
Sangat serius, pak Gubernur.