View Full Version
Senin, 23 Nov 2020

Andalkan Utang Luar Negeri, Mustahil Menjadi Negara Mandiri

 

Oleh:

Novita Fauziyah || Intellectual Muslimah Squad

 

 

PEMERINTAH Indonesia mendapat pinjaman dari Pemerintah Australia dengan nilai mencapai 1,5 miliar dollar Australia. Angka tersebut setara dengan Rp 15,45 triliun (kurs Rp 10.300). Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pinjaman dari Pemerintah Australia tersebut merupakan dukungan yang memberi ruang untuk melakukan manufer kebijakan dalam penanganan pandemi (money.kompas.com, 12/11/2020). 

Tak lama berselang, pemerintah kembali menarik pinjaman pada luar negeri. Lewat akun twitter resmi Keduataan Jerman disebutkan bahwa pada tanggal 14 November 2020 perjanjian pinjaman senilai 550 juta euro telah ditandatangani secara terpisah di Kantor bank pembangunan Jerman KfW di Frankfurt dan di Kementerian Keuangan di Jakarta, menyesuaikan dengan kondisi pandemi. Pemerintah Indonesia menarik pinjaman senilai 550 juta euro Eropa, atau setara Rp 9,1 triliun, lewat program Covid Active Response and Expenditure Support (CARES) I dan II oleh pemerintah Jerman. 

Sementara itu pada 18 November 2020, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan didampingi Duta Besar Indonesia untuk AS Muhammad Lutfi bertemu dengan Presiden Exim Bank AS Kimberly Reed di Washington. Dilansir dari katadata.co.id (19/11/2020), Indonesia dan Amerika Serikat telah menandatangani Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) mengenai pendanaan infrastruktur dan perdagangan senilai US$ 750 juta atau setara Rp 10,5 triliun (kurs Rp 14.070/USD). 

Kebijakan utang baru dari luar negeri untuk menagatasi Corona mendapatkan kritikan lantaran beban utang Indonesia sudah tinggi. Kritikan salah satunya datang dari mantan Menteri Keuangan Rizal Ramli. Rizal Ramli yang juga mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indonesia di era Presiden Jokowi tersebut berujar, Indonesia mulai kembali menumpuk utang dari pinjaman bilateral setelah sebelumnya banyak menarik utang dari obligasi. "Makanya mulai ganti stratetegi jadi 'pengemis utang bilateral' dari satu negara ke negara lain,, itu pun dapatnya recehan wajah menyeringai itu yang bikin shock," ucap rizal Ramli (money.kompas.com, 21/11/2020). 

Pelan tapi pasti, Indonesia terus menuju pada jerat utang para kapitalis. Utang seperti resep andalan dalam mengatasi permasalahan ekonomi negeri ini. Bahkan utang sudah menjadi salah satu sumber penting pembangunan Indonesia. Sebelum pandemi saja kebiasaan utang sudah sering terjadi. Terlebih saat pandemi dan dihantam dengan badai resesi. 

Data yang dihimpun dari www.bi.go.id posisi ULN Indonesia pada akhir Agustus 2020 tercatat sebesar 413,4 miliar dolar AS, terdiri dari ULN sektor publik (Pemerintah dan Bank Sentral) sebesar 203,0 miliar dolar AS dan ULN sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar 210,4 miliar dolar AS. 

Ironis, jeratan utang justru terjadi di negeri yang memiliki potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah. Kapitalisasi dan liberalisasi menjadikan para kapitalis menguasai  berbagai pos SDA tersebut. Sementara rakyat terus hidup dalam jeratan kemiskinan. 

Pemberian utang sejatinya akan terus membuat negara pengutang maskin miskin. Besarnya cicilan pokok dan bunga yang bayarkan terus menyedot APBN. Akibatnya untuk menutupi kekurangan negara terus mencari alternatif pemasukan lain termasuk pajak. Kapasitas untuk pelayanan dan kesejahteraan rakyat pun makin terbatas. Tak hanya itu, ketergantungan terhadap asing dalam berbagai pendanaan akan menjadikan negara pemberi utang dapat mengintervensi kebijakan baik di bidang ekonomi maupun politik. Inilah yang menjadi senjata bagi para negara kapitalis untuk mengamankan kepentingan mereka. Menjadikan utang dengan berbagai kedok sebagai jalan untuk mengendalikan kebijakan sesuai dengan keinginan mereka. Penguasanya pun hanya akan menjadi regulator yang selalu siap melayani para kapitalis pemberi utang. 

Jika sudah demikian mustahil sebuah negara akan menjadi negara yang mandiri dan terdepan. Kebijakan yang diintervensi, kekayaan SDA yang tergadaikan juga turunnya wibawa penguasa di mata dunia adalah gambaran ketika sebuah negara tunduk di bawah kekuasaan asing lewat berbagai pinjaman. Padahal mestinya dengan berbagai potensi SDA yang dimiliki juga kelengkapan aturan dalam Islam, Indonesia mampu menjadi negara mandiri juga terdepan.

Islam memiliki cara pandang yang khas bagaimana sebuah negara dapat berdiri tegak tanpa adanya intervensi asing. Negara akan menutup celah bagi asing untuk menguasainya. Allah berfirman dalam Q.S An-Nisa ayat 141 yang artinya “… dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin”. Negara tidak akan membiarkan asing menguasai SDA juga proyek stategis dan vital. Negara juga tak akan mudah terjerat utang ribawi dengan berbagai kedok. 

Dalam sebuah negara Islam, terdapat baitul mal yang dikhususkan untuk semua pemasukan atau pengeluaran harta yang menjadi hak kaum muslimin. Baitul mal memiliki sumber pemasukan tetap yaitu fa’i, ghanimah, anfal, kharaj, jizyah dan pemasukan dari hak milik umum, pemasukan dari hak milik negara, usyur, khumus, rikaz, tambang serta harta zakat. Hanya saja harta zakat  tidak diberikan kecuali kepada delapan ashnaf. Negara akan membelanjakan anggaran untuk pembangunan infrastruktur publik yang akan memperlancar kegiatan ekonomi dan pastinya berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Negara akan memenuhi kebutuhan rakyatnya secara mandiri tanpa mengemis kepada negara lain. 

Indonesia memiliki potensi sumber daya alam melimpah. Jika potensi ini dikelola dengan sebaik-baiknya sesuai dengan aturan Sang Pencipta maka akan menggerakkan roda perekonomian. Negara juga akan bebas dari jeratan hutang ribawi yang berbahaya. Ini akan terwujud manakala negeri ini mau melepaskan diri dari kapitalisme dan menjadikan Islam sebagai satu-satunya solusi dalam mengatasi masalah termasuk masalah pengelolaan keuangan negara.*


latestnews

View Full Version