Oleh:
Sastika Melda || Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya
PEMERINTAH RI kembali berinovasi, dimana Presiden Jokowi telah menandatangani Peraturan Presiden No.7 tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan yang mengarah pada Terorisme Tahun 2020 – 2024 (RAN PE). Perpres tersebut ditandatangani Presiden tanggal 6 Januari 2021 dan resmi menjadi undng – undang tanggal 7 Januari 2021. (kompas.com).
Ada tiga poin yang menjadi dasar diterbitkannya Perpres PAN PE, dimana intinya adalah “semakin meningkatnya ancaman ekstrimisme berbsis kekerasan yang mengarah pada Terorisme di Indonesia, sehingga dibutuhkan strategi komprehensif dengan melibatkan peran aktif seluruh pemangku kepentingan sebagai upaya pencegahan, maka perlu adanya perpres Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2O2O-2O24, lebih jelasnya bisa diakses di laman jdih.setkab.go.id.
Dilansir dari tribunnews.com, Wakil ketua DPR RI yakni Azis Syamsuddin menyatakan dukungannya terhadap Perpres RAN PE, beliau menuturkan bahwasannya “butuh strategi komprehensif, guna memastikan langkah sistematis, terencana, terpadu serta komitmen seluruh instansi pemerintah dan peran aktif masyarakat sebagai acuan dalam mencegah dan menanggulangi ancaman ekstrimisme di Indonesia. Senada dengan Wakil DPR RI, Pengamat Intelijen, Susaningtyas Kertopasi, ketika dihubungi sindonews juga menyatakan dukunganya, bahkan beliau juga menghimbau bahwasannya semua pihak wajib mendukung perpres ini.
Satu hal menarik dari perpres RAN PE yakni adanya “optimalisasi peran pemolisian masyarakat dalam pencegahan Ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah pada Terorisme” dan melalui perpres yang sudah disahkan akan dilakukan Pelatihan Pemolisian masyarakat, juga sosialisasi promosi pemolisian masyarakat sebagai upaya pencegahan ekstrimisme berbasis kekerasan yang engarah pada terorisme, yang mana semua hal tersebut tertuang dalam lampiran Perpres RAN PE.
Hal tersebut tentu menyita perhatian khalayak, salah satunya pengamat terorisme Harits Abu Halya yang mengatakan bhwasannya perpres RAN PE berpotensi melahirkan kontraksi sosial, dimana masyarakat akan semakin terbelah karena diajarkan menjadi “tukang lapor” masalah ekstrimisme. Beliau juga menduga akan bertebarannya fitnah ditengah masyarakat. (viva.co.id)
Ekstrimisme dan Terorisme sebenarnya bukan permasalahan baru di Indonesia, bahkan untuk terorisme sudah ada Undang – Undangnya. Dua hal ini memang selalu menjadi sorotan dan perhatian khusus Pemerintah, terlebih setelah kejadian penembakan dan pembubaran bulan lalu. Saking perhatiannya pemerintah dengan masalah ekstrimisme dan terorisme, rasanya tidak cukup dengan membubarkan yang dianggap “ekstrim” tapi kini pemerintah hadir dengan perpresnya untuk mengajak masyarakat berperan aktif dalam mencegah ekstrimisme dan terorisme,melalui adanya “pemolisian masyarakat”.
Perpres ini akan menjadikan masyarakat saling curiga antar sesama, dan mereduksi kerukunan di masyarakat. Pasalnya istilah “terorisme” sendiri masih tabu, tidak sedikit masyarakat salah dalam mnegartikan kata “terorisme”. Masyarakat hanya tahu terorisme itu identik dengan muslim berjeggot, bersorban, dan bercelana cingkrang. Sedangkan penjahat semisal OPM hanya dilabeli dengan “kelompok bersenjata”. Besar kemungkinan RAN PE ini mejadi kebijakan yang memang dibuat dalam rangka memperkuat isu – isu terorisme dengan tujuan menyerang Islam,mempertebal framing “Islam identik dengan Terorisme”, yang kemudian memunculkan pandangan – pandangan yang salah terhadap islam dan muslim, dan automatis mucul sikap saling tidak percaya, saling curiga, dan berburuk sangka di dalam diri umat muslim sendiri.
Sudah semestinya umat muslim waspada dengan adanya RAN PE ini, mengingat ekstrimisme dan terorisme erat kaitannya dengan muslim. Umat muslim harus sadar betul bahwa saat ini sedang dalam suasana perang, dimana amar ma’ruf selalu difitnah dengan tuduhan – tuduhan “ekstrimis, radikal bahkan teroris”.
Maka, tugas saat ini adalah teguh dalam amar ma’ruf dan meyakinkan kepada umat bahwasannya Islam melarang bersikap saling curiga. Sebagaimana firman Allah dalam surah Al- Hujurat ayat 12 yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang”. (TQS 49 : 12) Ayat ini diperkuat dengan hadits Rasulullah Saw yang berbunyi “Jauhilah oleh kalian prasangka, karena sesungguhnya prasangka adalah perkataan paling dusta.” (Muttafaq alaih—Shahih)
Sudah cukup jelas, bahwasannya saling curiga, berburuk sangka dilarang dalam Islam, semua harus pegang itu karena satu – satunya yang wajib ditaati adalah syariah bukan RAN PE rancangan manusia, yang menimbulkan kecurigaan – kecurigaan dan prasangka. Sejatinya umat muslim itu satu, satu pemikiran,dan satu perasaan, tidak ada yang boleh memecah umat muslim, apalagi tuduhan yang belum jelas maknanya seperti terorisme, ekstrimisme, dan radikalisme.
Benar, umat muslim butuh pelindung yang dapat menghindarkan umat muslim dari prasangka dan sikap slaing curiga, sehingga kemudian terwujud rasa saling percaya. Tentu yang demikian tidak akan ditemui dalam sistem kapitalisme saat ini.*