“Terkejut” demikianlah respon Eti Kurniawati, seorang Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) non muslim yang menerima SK pengangkatan sebagai guru CPNS dengan penempatan di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Tana Toraja. Hal ini tentu tak kalah mengejutkan bagi masyarakat muslim, sebab keberadaan madrasah yang disuasanakan berbeda dengan sekolah umum yakni kental dengan nilai-nilai Islam, kenapa justru membuka peluang bagi hadirnya tenaga pengajar non muslim.
Di sisi lain, Analisis Kepegawaian Kementrian Agama (Kemenag) Sulsel Andi Syaifullah mengatakan, kebijakan penempatan guru beragama kristen di sekolah Islam atau madrasah sejalan dengan peraturan Menteri Agama Republik Indonesia. Lebih lanjut lagi, dirinya menyebut guru non muslim akan ditempatkan di madrasah untuk mengajarkan mata pelajaran umum, bukan pelajaran agama.
“Kan guru non muslim yang ditempatkan di madrasah ini akan mengajarkan mata pelajaran umum, bukan pelajaran agama. Jadi saya pikir tidak ada masalah. Bahkan ini salah satu manifestasi dari moderasi beragama, dimana Islam tidak menjadi eksklusif bagi agama lainnya” ungkapnya (suarasulsel.id, 30/01/2021).
Mendudukkan masalah ini tentu perlu untuk dipahami terlebih dahulu bagaimana peran guru dalam Islam. Dengan demikian akan sangat adil untuk mengambil sebuah keputusan apakah akan menerima guru dari non muslim atau hanya dikhususkan pada guru muslim saja untuk mengajar di sekolah Islam. Terkait hal ini, pendidikan dalam Islam pada dasarnya bukan hanya untuk melahirkan generasi yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi semata, tetapi sekaligus mencetak para generasinya agar berkepribadian Islami serta menguasai tsaqafah Islam.
Dengan demikian, kehadiran guru bukan sekedar mentransfer pengetahuan, tetapi juga dapat memberikan teladan islami bagi siswa baik melalui tutur kata maupun perbuatannya. Di samping itu, seorang pendidik harus memastikan para siswanya terikat dengan syariat Islam dalam seluruh aktivitasnya.
Inilah kenapa para pengajar dalam Islam harus memenuhi kualifikasi yang telah ditentukan apabila mereka ingin ikut andil dalam memajukan dunia pendidikan. Diantara kualifikasinya yakni:
Amanah, yaitu bertanggung jawab dalam keberhasilan proses pendidikan. Dimana seorang pendidik berkomitmen tinggi untuk membentuk kepribadian Islam pada diri peserta didiknya/mahasiswanya.
Kafa’ah (memiliki keahlian di bidangnya), pengajar tentu harus menguasai bidang yang diajarkannya baik dalam aspek iptek dan keahlian maupun tsaqafah Islam. Berikut memahami dengan seksama aspek paradigma pendidikan yang menjadi landasan visi, misi, dan tujuan pendidikan sesuai jenjangnya.
Himmah atau mmiliki etos kerja yang baik. Disiplin, bertanggung jawab, kreatif, inovatif, dan taat kepada akad kerja dan tugas.
Berkepribadian Islam. Guru/dosen harus menjadi teladan bagi siswa/mahasiswanya agar tidak hanya sekedar menjalankan fungsi mengajar melainkan juga fungsi mendidik. Artinya, upaya menanamkan kepribadian Islam kepada siswa/mahasiswa harus dimulai dngan tersedianya guru/dosen yang berkepribadian Islam kuat.
Maka dngan kualifikasi trsbut, mungkinkah tnaga pngajar non muslim dapat mmnuhi smua kritria? Smua ini tidak dimaksudkan untuk mnjadi agama yang ksklusif, sbab kualifikasi ini brlaku untuk siapapun. Mngapa kualifikasi ini bgitu rinci yang bahkan guru mata plajaran umum skalipun dituntut untuk mmiliki kpribadian yang Islami dan bahkan diwajibkan mmiliki tsaqafah Islam yang bagus? Dmikianlah harusnya pndidikan berjalan, karna yang hndak dibntuk adalah gnrasi unggul dalam semua aspek, generasi yang memiliki akidah keislaman yang mantab dan akan dibentuk sejak skolah jenjang pertama hingga tingkat perguruan tinggi. Oleh karenanya dibutuhkan para pengajar yang mampu menjalankan semua tugas tersebut.
Sementara itu, para pengajar non muslim tentulah tak sesuai dengan kualifikasi tersebut. Akidah yang berbeda melahirkan kepribadian dan kebiasaan yang berbeda pula. Bahkan dengan terbukanya sekolah Islam terhadap semua pengajar non muslim justru menjadi kekhawatiran tersendiri akan nasib akidah generasi muslim. Sebab guru yang ditiru justru menunjukkan teladan yang tidak berasaskan Islam, suasana sekolah pun akan terasa jauh dari kesan Islami.
Maka keputusan untuk membuka kesempatan bagi tenaga pengajar non muslim di lingkungan sekolah Islam hendaknya memperhatikan arah pendidikan yang hendak diwujudkan dalam Islam. Bukan justru menutup mata terhadap dampak buruk yang akan timbul di kemudian hari. Bahkan alangkah lebih bijak jika dengan kondisi saat ini, guru didorong untuk mengembangkan wawasan, baik terkait dengan dunia pendidikan secara umum maupun pada bidang ilmu yang menjadi spesialisasinya, serta tsaqafah Islamnya.*
Sri Wahyuni, S.Pd
Tinggal di Kabupaten Banyuwangi