Oleh: Lilik Yani
Rezeki datang bisa tak terduga, berasal dari tempat tak disangka-sangka. Tiba-tiba ada pertanyaan berat ketika hari hisab tiba. Darimana kau peroleh dan ke mana kau membelanjakannya?
Adalah satu masyarakat sederhana tiba-tiba menjadi milyarder mendadak. Mereka membelanjakan sebagian hartanya untuk membeli mobil mewah. Adakah yang salah?
Dilansir dari kompas.com bahwa warga desa di Kabupaten Tuban mendadak kaya raya dan menjadi miliarder gara-gara pembebasan lahan proyek kilang minyak. Siapa sangka proyek New Grass Root Refinery (NGRR) itu awalnya ditolak oleh warga Desa Sumurgeneng pada tahun 2019. Namun bak mendapatkan durian runtuh, warga desa itu kini bisa memborong ratusan mobil dalam waktu hampir bersamaan.
Kilang minyak di Kecamatan Jenu, Tuban tersebut merupakan proyek gabungan antara Pertamina dan Rosneft, perusahaan minyak dan gas asal Rusia. Perusahaan gabungan itu dinamai PT Pertamina Rosneft Pengolahan dan Petrokimia. Berdasarkan kepemilikannya, Pertamina memiliki saham mayoritas dengan 55 persen, sisanya ialah saham Rosneft. (Kamis, 18 Februari 2021).
Lalu, bagaimana cara masyarakat memperoleh uang hingga jadi milyarder?
Masyarakat Tuban menjadi milyarder gara-gara pembebasan lahan proyek kilang minyak. Awalnya mereka menolak karena merasa ganti ruginya belum memadai. Setelah melalui proses panjang hingga akhirnya dinaikkan harganya. Selain itu warga diberikan pemahaman bahwa proyek yang bekerja sama antara Pertamina dan Rosneft, perusahaan minyak dan gas asal Rusia itu untuk kepentingan umum.
Perusahaan gabungan yang dinamai PT Pertamina Rosneft Pengolahan dan Petrokimia ini berani meningkatkan harga agar pembebasan tanah segera terealisasi. Bermilyar-milyar uang diserahkan pada masing-masing warga sesuai luas tanah yang dibebaskan.
Bagai mendapat durian runtuh, milyaran uang yang diterima dadakan itu membuat warga langsung ingin menikmati. Masyarakat sederhana yang semula bekerja sebagai petani, tiba-tiba jadi milyarder mendadak. Dengan sistem kapitalisme sekuler seperti saat ini apa yang terpikirkan selain materi dan kemewahan. Maka uang yang berlimpah itu pun dipakai untuk membeli materi pula, mobil, rumah, dan segala kemewahan dunia lainnya.
Sistem yang ada pun mendukung masyarakat hidup konsumtif. Ada uang banyak maka dibelanjakan saja untuk kenikmatan dunia. Meski beberapa pemimpin sudah mengarahkan agar sebagian uangnya digunakan untuk modal usaha demi meningkatkan taraf hidup mereka, tapi itu semua sia-sia belaka.
Sebetulnya, bagaimana pemerintah Islam memandang tentang kepemilikan harta?
Menurut Islam, kepemilikan individu harus benar-benar dijaga, dikelola, dan dimanfaatkan maksimal. Harta mereka tidak boleh diambil meskipun negara membutuhkannya. Namun ketika negara membutuhkan tanah kepemilikan individu tersebut untuk kepentingan umum, maka negara harus membeli dengan cara yang benar dan dengan pemberian kompensasi harga yang wajar.
Jika ada warga yang tidak merelakan tanahnya diambil oleh negara, meskipun itu untuk kepentingan umum, maka tidak boleh ada pemaksaan.
Sedangkan dari sisi warga yang memiliki tanah, ketika tahu kalau tanah miliknya diperlukan oleh negara untuk kepentingan umum, maka seharusnya mereka tidak mempersulit. Tidak boleh ada aji mumpung, sehingga tanah dijual dengan harga sangat mahal agar mendapat keuntungan yang banyak.
Mengapa tidak ada keinginan untuk memudahkan semua urusan? Jika memang benar tanah miliknya akan dimanfaatkan untuk kemaslahatan umum, bukan untuk keuntungan pribadi maupun kelompok perusahaan. Alangkah baiknya bila mereka saling memudahkan transaksi. Jika dijual maka juallah dengan harga wajar. Kalau berorientasi akherat maka bisa diwakafkan, demi mendapat jariyah pahala.
Demikianlah Islam mengatur tentang kepemilikan. Jika memang itu kepemilikan individu, harus ada kerelaan individu untuk melepaskan. Bisa dengan cara dijual, disewakan, maupun diwakafkan.
Jika menyangkut kepemilikan umum, maka properti atau harta itu harus bisa dinikmati seluruh umat, tidak boleh dikuasai oleh kelompok tertentu, atau disewakan pada asing, bekerja sama dengan swasta, atau lainnya. Negara yang berperan mengelola semaksimal mungkin untuk kepentingan umat secara umum.
Kalau pun negara kesulitan untuk mengelola, maka bisa dilakukan kerjasama dengan swasta maupun asing. Namun satu hal yang harus diingat, status swasta atau asing itu sebagai pekerja atau pegawai yang dibayar, bukan pemilik ataupun penyewa.
Jika aturan Islam diterapkan dalam pengelolaan kepemilikan, maka insya Allah kesejahteraan bisa dirasakan seluruh umat. Wallahu a'lam bish shawwab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google