Oleh: Hana Annisa Afriliani,S.S
Sungguh benar adanya jika sekularisme di negeri ini kian kaffah saja. Bagaimana tidak, negeri yang penduduknya mayoritas muslim terbesar di dunia nyata-nyata melegalkan minuman keras (miras) untuk diproduksi dan dikonsumsi, bahkan diperjualbelikan secara bebas.
Ya, pada 2 Februari 2021 kemarin, Presiden Jokowi baru saja menandatangani Pepres Nomor 10 tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Salah satu hal yang dibahas dalam Perpres tersebut adalah investasi miras. Dengan kata lain, lewat Perpres tersebut, miras dilegislasi di negeri ini secara terbuka, khususnya untuk kepentingan industri.
Meski dinyatakan bahwa pelegislasian ini bersyarat, yakni dengan tetap memperhatikan budaya dan kearifan lokal, artinya investasi miras hanya dapat dilakukan di wilayah-wilayah yang didalamnya miras telah membudaya, seperti Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua. Namun tetap saja negara melegalkan sesuatu yang telah nyata keharamannya dalam Islam.
Beginilah ketika sekularisme bergandengan tangan dengan kapitalisme, aturan agama ditabrak demi mendongkrak perekonomian negara. Sungguh memprihatinkan!
Wajar saja jika kemudian Perpres ini menuai kritik, khususnya dari kalangan umat Islam. Sebab dalam Islam, miras atau khamr adalah diharamkan secara mutlak zatnya. Keharamannya tersebut sangat tegas disampaikan dalam nash-nash syara, diantaranya firman Allah Swt:
"Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: "pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan". Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir." (QS. Al-Baqarah: 219).
Keharaman khamr bersifat mutlak, meski dikonsumsinya hanya sedikit dan tidak sampai memabukkan. Bahkan laknat Allah atas miras ini bukan hanya bagi peminumnya, tapi juga bagi pembuatnya dan orang-orang yang terlibat denganya. Rasulullah Saw bersabda:
"Khamr itu telah dilaknat zatnya, orang yang meminumnya, orang yang menuangkannya, orang yang menjualnya, orang yang membelinya, orang yang memerasnya, orang yang meminta untuk diperaskan, orang yang membawanya, orang yang meminta untuk dibawakan dan orang yang memakan harganya." (Diriwayatkan oleh Ahmad (2/25,71), Ath-Thayalisi (1134), Al-Hakim At-Tirmidzi dalam Al-Manhiyaat (hal: 44,58), Abu Dawud (3674)).
Efek samping dari mengonsumsi miras ini juga sangat nyata keburukannya. Banyak orang membunuh dan memerkosa karena mabuk akibat miras. Banyak juga orang yang meninggal akibat over dosis miras. Bahkan banyak orang yang mencelakakan orang lain juga akibat miras, seperti kasus tabrakan maut di Tugu Tani beberapa tahun silam.
Oleh karenanya, mengonsumsi miras tidaklah ada kebaikannya apa-apa kecuali merusak kesehatan dan melemahkan akal. Itulah mengapa Islam melarang keras, karena miras (khamr) hanya akan mendatangkan dharar (bahaya) bagi manusia. Dengan demikian, melegislasi miras sama sama dengan melegislasi azab Allah atas negeri ini. Mengapa? sebab negara telah membenarkan apa yang diharamkan oleh Sang Maha Pencipta.
Oleh karena itu tidaklah layak bagi negeri yang berpenduduk mayoritas muslim ini melegislasi miras hanya demi kepentingan rupiah. Bukankah sama saja itu menantang azab Allah?
Saatnya kita kembali pada fitrah penciptaan kita sebagai seorang hamba, yakni tunduk pada aturan penciptanya. Bukan menghamba pada dunia yang sementara. Inilah yang akan diakomodasi oleh Khilafah Islamiyah sebagai institusi penerap syariat Islam, yakni menjaga rakyat di bawahnya agar tetap berada dalam koridor rida Ilahi dan menutup pintu-pintu maksiat serapat-rapatnya. Maka Khilafah tak akan melegalkan jual beli sesuatu yang haram demi menggenjot perekonomian. Sebaliknya Khilafah hanya akan melegislasi sesuatu yang halal dan toyib, sehingga perekonomian pun tumbuh dalam dekapan rida Ilahi. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google