Oleh:
Fakhiratun Nisa
DILANSIR dari cnbcindonesia.com, utang luar negeri Indonesia melonjak hingga 6.074,56 triliun pada akhir Desember 2020. Hal ini berarti dalam setahun terakhir kita telah berhutang sebanyak Rp 1.296,56 triliun. Apa sesungguhnya yang menjadi faktor pemicu lonjakan hutang pemerintah RI? Yang kerap-kerap disebut adalah adanya defisit APBN, dan kebetulan diperparah oleh hantaman COVID-19.
Dalam laman Kementrian Keuangan https://www.djppr.kemenkeu.go.id/pahamiutang/index.php, dijelaskan bahwa utang merupakan konsekuensi logis yang harus ditempuh pemerintah sebab belanja negara lebih besar dari pendapatan negara yang diperoleh melalui perpajakan, bea cukai, PNBP, dan hibah.
Urgensi utang, menurut mereka adalah untuk menghindari hilangnya momentum atau opportunity loss khususnya terkait proyek-proyek strategis. Bisa dikatakan hampir segala lini pembangunan di negara kita mengandalkan utang, seperti misalnya kereta api, pelabuhan, jalan raya, pemukiman, pendidikan, hingga kesehatan. Parahnya—masih menurut laman tersebut—, bahkan untuk sistem keamanan dalam negeri pun, kita bergantung pada dana pinjaman, yakni untuk alutsista (Alat Utama Sistem Senjata Tentara Nasional Indonesia) dan alamatsus (Alat Material Khusus) Polri.
Defisit APBN tampaknya adalah fenomena berulang setiap tahun, sehingga setiap tahun kita hampir harus selalu menambah utang. Mantan Direktur Bank Dunia sekaligus Menteri Keuangan kita, Ibu Sri Mulyani, membela diri terkait hal ini. Menurutnya, bukan hanya Indonesia saja yang berhutang. Ia menyeret nama-nama negara lain seperti AS, Cina dan beberapa tetangga lainnya seperti Malaysia, Filipina, dan Singapura yang rasio utangnya bahkan lebih tinggi dari Indonesia.
Defisit anggaran yang berujung pada utang luar negeri sepertinya memang fenomena lumrah di sistem kapitalisme. Situs countryeconomy.com misalnya, melaporkan perbandingan angka defisit negara-negara di dunia pada pada tahun 2018 / 2019, berikut utangnya. Negara adidaya, Amerika Serikat, bahkan tak luput dari daftar tersebut.
Bank Dunia juga merilis laporan sejenis berjudul International Debt Statistics 2021, yang memuat daftar utang luar negeri berbagai negara. Indonesia, salah satunya disebut sebagai negara yang utang luar negerinya selalu meningkat dari tahun ke tahun bahkan masuk peringkat 10 negara dengan utang luar negeri terbesar, bersama Argentina, Brazil, India, Meksiko, Afria Selatan, Thailand, Turki, dan Rusia.
Beban utang negara-negara di era kapitalisme ini sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari fakta pembiayaan mereka yang sangat bergantung pada pajak. Menurut International Centre for Tax and Development, hampir separuh dari total negara di dunia menggantungkan 80% pemasukan nasionalnya pada pajak dan separuh sisanya bergantung pajak sebesar 50%.
Sistem ekonomi yang berdiri hampir sepenuhnya di atas pajak ini sangatlah rapuh. Ketika penarikan pajak mengalami kemacetan misalnya karena kelesuan ekonomi, perang, atau hantaman pandemi seperti sekarang, maka defisit anggaran tidak bisa terelakan. Negara-negara kapitalis di dunia faktanya hampir selalu mengalami defisit anggaran, tak terkecuali AS, Inggris, dan Cina.
Adakah solusi untuk keluar dari jeratan utang dan berulangnya defisit anggaran ini? Tentu ada.
Islam sesungguhnya telah memberikan panduan yang cukup lengkap bagaimana negara seharusnya mengelola keuangannya. Ada banyak pos pemasukan negara yang diperkenalkan dalam Islam, dan pajak justru merupakan pos alternatif paling buncit, bukan yang utama. Khilafah Islamiyah tercatat memiliki lebih dari 10 pos pemasukan, meliputi: (1) Anfal, Ghanimah, Fa’i, dan Khumus; (2) Al Kharaj; (3) Al Jizyah; (4) Macam-macam harta milik umum; (5) Pemilikan Negara berupa tanah, bangunan, sarana umum dan pemasukannya; (6) Al Usyur; (7) Harta tidak sah para penguasa dan pegawai, harta yang didapat secara tidak sah dan harta denda; (8) Khumus rikaz (barang temuan) dan tambang; (9) Harta yang tidak ada pewarisnya; (10) Harta orang yang murtad; (11) Zakat; baru kemudian (12) Pajak. Jika pos-pos lain telah teroptimalkan dengan sangat baik, negara bahkan tidak perlu sampai memungut pajak dari rakyatnya.
Pos-pos pemasukan negara tak hanya berhenti di situ saja. Masih ada pos harta milik umum (rakyat/umat), yang dibedakan dari pemasukan negara, meskipun beban pengelolaannya juga ada pada negara, seperti lahan tambang, hutan, sungai, dan lautan yang melimpah hasilnya. Negaralah yang mengatur produksi dan distribusi aset-aset tersebut untuk rakyat, baik dengan pemanfaatan secara langsung oleh masyarakat umum, maupun dengan pemanfaatan di bawah pengelolaan negara.
Hasil pengelolaan harta milik umum ini kemudian dibelanjakan untuk segala keperluan operasional, baik dari segi administrasi, perencanaan, eksplorasi, eksploitasi, produksi, pemasaran dan distribusi. Selain itu hasilnya juga bisa dibagikan gratis kepada seluruh rakyat dalam bentuk air minum (PDAM), listrik, gas, minyak tanah, dan lain-lain hingga pengadaan pasar-pasar murah untuk rakyat.
Mengacu kepada hukum syara’, APBN negara dalam Islam harusnya bersifat tetap dalam pos-pos pendapatan maupun pengeluarannya, namun alokasi anggarannya yang bersifat fleksibel. Negara bisa menggenjot alokasi pendapatan maupun pengeluaran jika dirasa perlu. Kebijakan keuangan dalam negara Islam juga menganut prinsip sentralisasi.
Dana dari seluruh wilaya ditarik ke pusat, dan didistribusikan ke masing-masing daerah berdasarkan kebutuhannya, bukan dilihat dari seberapa besar pemasukan daerah tersebut. Wilayah dengan pemasukan daerah yang sedikit bisa saja mendapat kucuran dana lebih besar jika dipandang lebih membutuhkan dari wilayah lain. Dengan kata lain, penguasa bisa melakukan kebijakan subsidi silang sehingga pembangunan di setiap daerah menjadi merata.
Secara umum, negara Islam minimal mempunyai empat sumber ekonomi, yaitu pertanian, perdagangan, jasa, dan industri, yang pengelolaannya ditopang dengan politik ekonomi. Untung mendukung terjaganya stabilitas ekonomi, ia akan menjaga agar daya beli masyarakat tetap tinggi dan kompetitif, dengan kebijakan moneter yang hanya menggunakan standar emas dan perak, sehingga inflasi bisa nol persen.
Negara juga memastikan mekanisme pasar berjalan dengan baik dan benar, dengan kondisi supply and demand yang sehat. Negara juga mengharamkan penimbunan, mafia, kartel, penipuan, dan riba. Negara tidak akan berhutang pada pemberi hutang yang berpotensi membahayakan kestabilan negara, yakni ketika utang menjadi sarana untuk mendominasi, mengekploitasi, dan menguasai kaum Muslimin.
Dengan pengelolaan ekonomi semacam ini, negara yang dilandaskan pada syariat Islam akan tumbuh menjadi negara yang memiliki ketahanan dan kemandirian secara ekonomi, serta mampu bertahan dalam menghadapi kondisi-kondisi sulit seperti pandemi maupun embargo dari negara lain. Wallahu a’lam.*