Oleh:
Fita Rahmania, S. Keb., Bd.
SEMBOYAN Indonesia sebagai negeri gemah ripah loh jinawi rupanya kini patut dipertanyakan. Gemah ripah loh jinawi memiliki arti tentram dan makmur serta sangat subur tanahnya. Seluruh dunia pun mengakui kekayaan alam Indonesia. Bahkan, di masa lampau Indonesia mampu menjadi tumpuan produksi rempah dunia.
Para penjajah berbondong-bondong mengeruk kekayaan alam Indonesia demi meraup keuntungan. Namun sayang, saat ini makna dari semboyan gemah ripah loh jinawi yang masyhur itu tak lagi terdengar gaungnya, akibat ulah penguasa negeri ini yang lebih mencintai mengimpor produk dibanding mengoptimalkan potensi dalam negeri.
Kebijakan impor yang semakin tidak jelas selalu menuai polemik baru di tengah masyarakat. Bukan lagi kebutuhan pokok yang diimpor dari negara lain, komoditi seperti garam pun terus-menerus diimpor. Dilansir dari cnnindonesia.com, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyebut pemerintah telah memutuskan akan melakukan impor garam sebanyak 3 juta ton. Keputusan itu diambil dalam sebuah rapat yang dihadiri Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita.
Angka impor garam tahun ini mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2020 yang tercatat sebanyak 2,7 juta ton. Kebijakan tersebut tentu membuat resah petani garam. Dewan Presidium Persatuan Petambak Garam Indonesia (PPGI) Amin Abdullah berpendapat, pemerintah memang tidak pernah serius menunjukkan keberpihakan kepada petambak garam sejak lama.
Pada tahun 2017 saja, Indonesia mengimpor garam dari Australia yang totalnya mencapai 2,29 juta ton. Kemudian pada tahun 2018, impor garam dari Australia mengalami peningkatan menjadi 2,6 juta ton. Adapun pada tahun 2020, impor garam dari Australia tercatat sebanyak 2,22 juta ton. Sementara dari China, impor garam mencapai 568 ton pada tahun 2019. Kemudian berlanjut pada tahun 2020, impor garam China mencapai 1.320 ton. Sama halnya dengan impor garam dari India. Pada tahun 2019 dan 2020, impor garam dilakukan masing-masing 719.550 ton dan 373.930 ton. (kompas.com)
Padahal sebagai negara maritim, Indonesia memiliki garis pantai mencapai 95.181 kilometer (km), hingga mendapat predikat sebagai negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia. Seharusnya dengan modal ini seharusnya dapat memberikan banyak manfaat kelautan bagi Indonesia, termasuk potensi pasokan garam yang besar sehingga mampu mencukupi kebutuhan. Sayangnya yang terjadi di lapangan tidak demikian. Pemerintah beralasan Indonesia harus terus impor garam meski sumber daya alamnya tinggi, karena industri garam nasional memang belum optimal kapasitas produksinya.
Walaupun begitu solusi yang diambil oleh pemerintah tak layak menjadikan impor sebagai jalan keluar dari permasalahan krisis garam yang menjadi langganan tiap tahunnya. Dikutip dari medkom.id, Ketua Umum Pimpinan Pusat Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama Witjaksono meminta pemerintah berdiskusi kepada asosiasi terkait dan para nelayan dengan harapan para petani garam di Indonesia bisa meningkatkan kualitas garam sehingga tidak perlu ada impor.
Masyarakat kembali kecewa atas keputusan pemerintah. Di kala perekonomian rakyat kian sulit di tengah pandemi, pemerintah memupuskan harapan petani garam dengan membuka kran impor garam. Keberpihakan penguasa kepada importir asing semakin kentara tanpa harus menjelaskan secara blak-blakan di muka publik. Kalau memang mereka ada di pihak rakyat, harusnya mereka sibuk membangun industri garam dalam negeri sejak dulu, bukan malah impor tiap tahun. Namun, demikianlah sistem kapitalisme yang tengah diemban di negeri ini bekerja. Sistem ini akan menciptakan kebijakan yang pasti menguntungkan satu pihak, yaitu pengimpor atau korporasi.
Berbeda dengan peraturan Islam dimana bukan rakyat yang melayani penguasa. Akan tetapi, penguasalah yang melayani rakyatnya. Melayani dalam arti menjamin kebutuhan dasar mereka serta mengerahkan segala potensi SDA dan SDM untuk kemaslahatan rakyat.*