Oleh: Abu Muas T.(Pemerhati Masalah Sosial)
Bagi alumni jamaah haji Indonesia tentu masih ingat saat melihat dan mendengar kata-kata yang dilontarkan para pedagang pakaian, suvenir atau cenderamata dan lain-lain di area dekat pemondokan haji baik saat di Madinah maupun di Makkah dengan kata-kata: murah, murah, murah.
Dengan penguasaan bahasa Indonesia yang sangat terbatas, rupanya para pedagang tahunya kalau menawarkan dagangannya ke para jamaah Indonesia yang suka belanja cukup dengan mengatakan murah, murah, murah.
Langsung saja para jamaah mendekat dan melihat-lihat barang-barang yang ditawarkan, mulailah bahasa Tarsan terjadi antara penjual dan pembeli karena faktor bahasa lisan yang tidak nyambung.
Kata-kata murah, murah, murah, kini rupanya layak bukan hanya milik otoritas para pedagang yang ada di sekitar pemondokan haji Indonesia di Madinah dan Makkah saja, tapi sepertinya pantas pula dilontarkan oleh anak bangsa di negeri ini yang cenderung harga sebuah nyawa manusia di negeri ini sudah begitu sangat murahnya.
Murahnya harga nyawa manusia di negeri ini sudah tak sebanding lagi dengan naiknya harga cabe dan bahan pokok kebutuhan sehari-hari jelang Ramadhan. Kalau kita mau runtut dari yang tersingkat waktunya dengan kejadiannya, di antaranya periode Desember 2020 - Maret 2021 dimulai tewasnya enam laskar di Km.50 Jakarta - Cikampek, tak lama kemudian tiga nyawa melayang di kafe RM kawasan Cengkareng oleh oknum aparat, kemudian dua nyawa gadis melayang dicekik oleh oknum aparat, dan korban ledakan bom Gereja Ketedral Makasar, serta yang teranyar satu korban nyawa perempuan terkapar ditembak mati aparat di halaman Mabes Polri.
Dari rentetan kejadian melayangnya nyawa manusia yang waktunya relatif singkat, sudah layakkah kiranya jika kita katakan harga nyawa manusia di negeri ini murah, murah, murah? Yang menjinjikkan lagi seiring dengan murahnya nyawa manusia diiringi pula murahnya lontaran kata-kata radikal-radikul, teroris-teyoyis, intoleran-intoyeyan yang sangat tendensius ditujukan kepada kelompok tertentu berlabel Islam.
Begitu murahnya nyawa seorang manusia, hanya seorang perempuan yang berjalan riwa-riwi di halaman Mabes Polri harus ditembak mati, tidak dilumpuhkan dengan gas airmata atau sejenisnya untuk melumpuhkannya sehingga dapat dikorek informasi dari yang bersangkutan. Atau siapa tahu yang bersangkutan terindikasi "gila" atau "sakit jiwa" seperti indikasi-indikasi pelaku teror di lingkungan masjid yang disebutnya "gila" atau "sakit jiwa".
Semoga murahnya harga nyawa manusia di negeri ini segera bisa diakhiri, sehingga lontaran kata-kata murah,,murah,,murah hanya layak dilontarkan para pedagang di kawasan pemondokan haji Indonesia di Madinah dan Makkah saja.