Oleh:
Lely Novitasari ||Aktivis Muslimah Peduli Generasi
RAMADHAN tiba, serentak hampir 2 milyar umat Islam di seluruh dunia bersatu dan bersiap menyambut bulan yang penuh keberkahan ini. Kehidupan masyarakat pun tiba-tiba berubah khusus di bulan ini. Dari sisi pakaian, kaum hawa yang memakai jilbab atau setidaknya berkerudung jauh lebih mudah ditemui.
Bahkan tempat maksiat seperti diskotik, bar, lokalisasi dipaksa tutup untuk sementara. Masjid dan mushola mendadak sangat sempit. Jamaahnya hingga luber tidak tertampung, meski hanya bertahan di minggu pertama. Masya Allah.
Berbagai media elektronik pun tidak ketinggalan berlomba-lomba menyemarakkan dengan berbagai acara bernuansa Islam sepanjang hari, mulai waktu sahur hingga kembali sahur. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang selaku pengawas siaran pertelevisian, mengeluarkan surat edaran sejak 17 Maret 2021 lalu.
Dalam Surat Edaran Nomor 2 tahun 2021, lembaga penyiaran memperketat tanyangan dan himbauan untuk tidak menampilkan muatan yang mengeksploitasi konflik dan atau privasi seseorang, bincang-bincang hubungan ranjang, serta muatan yang bertentangan dengan norma kesopanan dan kesusilaan. Lembaga penyiaran juga diminta untuk tidak menampilkan muatan yang mengandung lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LaGiBeTe), hedonistik, mistik/horor/supranatural, praktik hipnotis atau sejenisnya. (Sumber : DeskJabar.com)
Pertanyaan kritisnya, apakah ada yang salah dengan fenomena yang terjadi khusus di bulan Ramadhan ini?
Secara logika dangkal, tentu realitas ini sangat luar biasa, wajib diapresiasi setinggi-tingginya dan dilestarikan. Tapi bagi seorang muslim yang mensyukuri nikmat akal dari Nya, dan yang telah memahami konsep islam sebagaimana contoh Rasulullah SAW dan para shahabatnya, tentu fenomena ini justru memprihatinkan. Sebuah penampakan tradisi kehidupan yang naif, seakan berbagai aturan Allah SWT wajib terlaksana dan ditampakkan ditengah-tengah kehidupan hanya saat bulan Ramadhan saja, tapi tidak dibulan-bulan lainnya.
Saat Ramadhan berlalu, jalannya kehidupan pun dengan segera kembali bebas seakan baru saja lepas dari belenggu, nyaris tanpa bekas. Acara-acara televisi kembali semarak dengan muatan hedonisme. Bar, diskotik, dan tempat lokalisasi kembali dibuka dan ramai dikunjungi pelanggannya, tanpa siapapun yang berhak melarang. Justru jika ada pihak yang berani melarang bisa dijerat hukum karena dianggap mengganggu hak asasi dan hak kebebasan individu. Subhanallah.
Sekularisme lebih berbahaya dari Komunisme
Fenomena ini semakin menunjukkan bahwa agama di negeri yang sekuler hanya dinilai sebagai sebuah ceremonial semata. Umat manusia digiring untuk memenuhi acara-acara keagamaan sebatas sarana pemenuhan naluri beragama dan tidak lebih dari itu. Berbagai regulasi aturan beragama diatur dalam konteks yang sifatnya personal saja agar naluri beragama pada manusia tersalurkan.
Berbeda halnya dengan komunisme, yang meniadakan agama sama sekali, bahkan membenci agama. Maka tidak heran di negara komunis masyarakatnya terus bergejolak dan membuat manusia yang hidup di dalamnya merasa tidak nyaman. Karena naluri beragama adalah potensi yang Allah berikan bersamaan dengan penciptaan manusia.
Dari realitas ini, di sini letak kelicikan dari ide sekularisme. Ide ini senantiasa mengambil metode jalan tengah dalam mengatasi berbagai problem kehidupan. Hal ini sejalan dengan awal kelahiran ide sekularisme itu sendiri, yaitu sebagai bentuk jalan tengah antara kaum agamawan dan kaum cendikiawan.
Meski secara permukaan, sekularisme itu seakan lebih baik daripada komunisme, padahal di sinilah letak bahayanya ide ini. Daya rusaknya perlahan tapi daya mematikannya sama dengan ide komunisme, yaitu bagaimana menyingkirkan peran agama dalam kehidupan. Jika dianalogikan paham sekularisme ibarat penyakit kanker yang menggerogoti dan merusak tubuh umat manusia dari dalam, sementara komunisme langsung menyuntik mati.
Hasilnya bisa kita saksikan mengapa ide komunisme jauh lebih cepat runtuh dan hilang secara peradaban global karena kerusakannya sangat mudah terlihat dan disadari oleh umat manusia. Sedangkan ide sekularisme, kerusakannya yang mengantar kepada kehancuran peradaban manusia itu perlahan dan halus, sehingga hanya manusia-manusia yang berakal cemerlang saja yang mampu menyadari efek mematikan dari paham ide ini. Oleh sebab itulah paham sekularisme masih bertahan sampai dengan hari ini dan bahkan mayoritas umat manusia belum menyadari daya rusaknya. Inilah dasar logika mengapa ide sekularisme hakikinya lebih berbahaya dari komunisme.
Lalu apakah negeri ini kehidupannya mengadopsi sekularisme?
Fenomena hingar-bingar keagamaan terjadi di bulan Ramadhan dan juga momen hari besar keagamaan saja, akan tetapi di luar itu agama sepi dari realitas kehidupan. Itulah ciri khas sebuah sistem sekular. Tayangan-tayangan yang diperketat hanya saat bulan Ramadhan, sementara di bulan lain tidak demikian.
Upaya KPI dalam melakukan pengawasan dan pengontrolan di bulan Ramadhan patut kita apresiasi. Namun makna agama menjadi sempit. Agama seolah-olah hanya sebatas ritual. Padahal Allah Swt menurunkan Islam untuk menjadi panduan jalannya kehidupan, agar selamat didunia maupun di akhirat. Jadi bukan hanya di bulan Ramadhan saja. Tetapi dalam setiap tarikan nafas tanpa mengenal tempat dan waktu.
Ide sekularisme lahir di Eropa saat mereka diselimuti oleh kezhaliman para penguasanya yang mengatasnamakan Tuhan dan direstui oleh pihak gereja. Disitulah Eropa mengalami masa dark age atau masa kegelapan. Sebelum abad ke-15, kaum gerejawan menguasai semua ranah kehidupan masyarakat. Mulai dari politik, ekonomi, pendidikan, dan semuanya tanpa terkecuali. Semua hal yang bukan berasal dari kitab suci mereka (Injil) dianggap salah.
Ketika kaum cendikiawan memajukan keilmuwan dengan menemukan berbagai penemuan baru, justru dianggap berseberangan oleh penguasa yang disetir oleh kaum gerejawan. Pemikiran masyarakat Eropa pada saat itu sudah terdoktrinasi oleh Gereja. Pemikiran-pemikiran itulah yang menjadi pemicu munculnya gerakan Renaissance dimana perlawanan terhadap Gereja di berbagai negara Eropa.
Ide sekularisme digaungkan sebagai sistem pemerintahan yang baru. Dan hingga kini sekularisme menjadi paham dan berkembang ke seluruh negeri bahkan ke negeri-negeri kaum muslimin. Dalam sistem pemerintahannya, disusun undang-undang yang mewajibkan seluruh masyarakatnya menghilangkan simbol-simbol keagamaan karena dianggap pemicu pertentangan dan perpecahan (konflik) dalam masyarakat. Realitas ini telah membuat trauma tersendiri bagi kehidupan masyarakat eropa dan barat secara umum. Lalu akankah umat Islam mengadopsi ide rusak semacam ini?
Jelas realitas ini jauh bertolakbelakang dengan sistem Islam. Catatan sejarah, justru ketika Islam diterapkan secara sempurna dalam kehidupan, tidak hanya ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat, tapi juga diikuti keharmonisan kehidupan secara umum. Dengan mudah kita temui hasil karya ilmuwan-ilmuwan Islam yang kini justru menjadi dasar kemajuan era modern saat ini.
Pemerataan distribusi ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat negeri islam juga telah menjadi catatan fenomenal bagi peradaban manusia yang belum pernah diraih oleh peradaban manapun sebelumnya. Coba bandingkan dengan hasil yang kita rasakan dinegeri ini dan bahkan dunia, ketika menjadikan sekularisme sebagai dasar kehidupan!
Firman Allah swt:
“Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka. Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” (Q.S Thaha: 123, 124).
Inilah dasar logika mengapa umat manusia secara umum butuh sistem yang akan menjaga mereka untuk tidak menyia-nyiakan hidupnya hanya untuk memenuhi hawa nafsunya. Sistem Islam tidak hanya menjaga namun juga memotivasi serta mengingatkannya akan hakikat dari kehidupan agar selamat tidak hanya dimensi dunia tapi juga dikehidupan abadi kelak. Maka silahkan bertanya pada akal sehat kita, adakah sistem selain islam dimana lingkupnya sekomprehensif ini?
”Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil 'alamin)”. (QS: al-Anbiya’ : 107). Wallahu’alam.*