Oleh: Abu Muas T. (Pemerhati Masalah Sosial)
Kiranya layak ditelisik setelah lebih dari sepekan pascaputusan Majelis Hakim PN Lhosukon Aceh Utara, Senin (14/6/2021) yang menjatuhkan vonis lima tahun penjara bagi tiga nelayan penolong pengungsi etnis Rohingya yang terobang-ambing di tengah lautan.
Kasus vonis terhadap tiga nelayan ini kiranya perlu ditelisik, karena putusan vonis ini terasa sangat mengusik rasa keadilan dan kemanusiaan. Di satu sisi jiwa kemanusiaan nelayan muncul tatkala melihat para pengungsi etnis Rohingya terombang-ambing di tengah lautan, di sisi lain majelis hakim hanya secara kontekstual melihat aturan yang terdapat pada Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian Juncto Pasal 55 KUHP.
Menelisik kondisi dua sisi di atas yang saling berhadapan, kini layak timbul pertanyaan, tidakkah ada pertimbangan bagi majelis hakim sebelum memutuskan amar keputusannya atas tindakan yang didasari kemanusiaan nelayan menolong pengungsi etnis Rohingya yang terdampar di Pesisir Pantai Seunuddon Aceh Utara?
Kini layak pula timbul pertanyaan berikutnya, masih adakah peluang hukum untuk menolong ketiga nelayan tersebut setelah putusan hakim memutuskan lima tahun penjara? Jika upaya menolong ketiga nelayan dari hukuman tidak dilakukan, dikhawatirkan akan menjadikan traumatis bagi para nelayan lain yang pada gilirannya dapat mengikis jiwa solidaritas kemanusiaan para nelayan.
Dengan putusan majelis hakim yang memenjarakan ketiga penolong pengungsi yang terombang-ambing di lautan, kini perlu dipertanyakan wawasan kebangsaannya? Terlebih selama ini para pemangku kebijakan negeri ini selalu mengagung-agungkan nilai-nilai Pancasila. Pancasialiskah majelis hakimnya dan layakkah kita mengklaim diri Pancasialis dengan membiarkan ketiga nelayan penolong pengungsi harus mendekam di penjara selama lima tahun?