Oleh:
Emil Apriani, S.Kom || Pemerhati Sosial dan Generasi
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al-Israa : 32)
Arus global liberalisasi mengepung kaum muslim saat ini di seluruh aspek kehidupan, baik kalangan orang tua maupun anak-anak. Dengan pandangan ide liberalisasi tersebut, memberikan ruang kebebasan bagi seseorang atas perilaku yang dilakukan.
Belum lama ini, sempat menuai kontroversi pengakuan dari seorang publik figur terkait sikap dirinya jika anak-anaknya menonton konten film porno. Ia menyatakan bahwa dirinya membolehkan anak-anaknya menonton film atau konten porno. Menurutnya orang tua tidak boleh bersifat kolot dan mesti berpikir terbuka. Karenanya dia menilai, pembelajaran tentang seks sejak usia dini sangat penting saat ini.
Terkait pernyataan tersebut, Ketua Komisi Perlindungan Anak (KPAI), Susanto menilai bahwa konten porno tak boleh ditonton oleh anak-anak meski diawasi atau ditemani. Menurutnya, konten porno tetap memiliki dampak buruk. Bahkan dia meminta orang tua berhati-hati dalam mendidik anak (detik.com, 28/6/2021). Namun ternyata tidak sedikit juga yang malah mengapresiasi dan mendukung sikap publik figur tersebut.
Inilah salah satu fakta yang menjadi keprihatinan gaya asuh bagi keluarga muslim saat ini. Di mana orang tua yang seharusnya menjadi kontrol terdekat dalam pengawasan anak-anaknya terhadap konten pornografi, malah memberi peluang bagi anak dalam mengakses hal tersebut . Menonton video berkonten pornografi dengan diawasi ataupun ditemani orang tua, justru akan meracuni pemikiran anak. Menjadikan anak berpikir bahwa boleh-boleh saja dilakukan dan bukan sesuatu yang salah.
Pemikiran terbuka orang tua dalam memberikan pendidikan seksual sejak dini ternyata akan memberikan pengaruh buruk bagi anak. Hal tersebut tidak lepas dari arus global yang disebarkan oleh Barat selama ini dalam menerapkan pendidikan seksual yang komprehensif.
Dilansir dari CNNIndonesia.com, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) menyarankan setiap negara di dunia untuk menerapkan pendidikan seksual yang komprehensif, termasuk Indonesia. Rekomendasi ini berdasarkan pada kajian terbaru dari Global Education Monitoring (GEM) Report, UNESCO (14/06).
GERM Report menyebut bahwa pendidikan seksual mesti dimulai sejak dini. Anak-anak usia lima tahun misalnya, perlu memahami fakta-fakta dasar tentang tubuh mereka, keluarga, hubungan sosial, mengenali perilaku yang tidak pantas, dan mengidentifikasi pelecehan. Anak-anak dan remaja juga harus menerima pendidikan seksual komprehensif sebelum menjadi aktif secara seksual.
Dengan dalih memberikan pembekalan informasi kepada anak dengan pendidikan seksual komprehensif malah memberi ruang terbuka kebebasan di tengah kondisi kehidupan yang semua aspeknya digempur budaya overseksualiasi. Di mana nilai kehidupannya mengagungkan kebebasan dan kepuasan diri termasuk di dalamnya kepuasan seksual sebagai puncak kebahagiaan.
Bahkan sistem saat ini memfasilitasi individu dan korporasi meraup untung sebesar-besarnya dari industri dengan konten seksual dan pornografi. Dampak dari budaya overseksualisasi tersebut berupa kerusakan yang merajalela, seperti praktik prostitusi dan aborsi dimana-mana, yang membawa kerugian materiil bahkan ancaman lost generation.
Hal ini sebagai bentuk dari ide liberalisme yang dijajakan ke negeri-negeri Muslim termasuk Indonesia. Liberalisme adalah paham kebebasan yang muncul dari sekularisme yang dimiliki oleh ideologi kapitalisme. Di mana sekularisme memisahkan dan menjauhkan aturan agama dari kehidupan, termasuk menjauhkan pendidikan generasi dari aturan agama Islam. Mendorong adanya liberalisasi seksual dan menjadikan manusia sebagai penentu aturan berdasarkan hawa nafsunya.
Padahal sebagai seorang muslim, seharusnya tunduk dan taat pada aturan Allah SWT yang menciptakannya. Islam memberi ruang privat (pribadi) dalam pembahasan seksual terkait dengan gharizah nau, yaitu naluri melestarikan jenis atau keturunan sebagai bagian dari ibadah. Adapun pemenuhan naluri tersebut melalui hubungan pernikahan, sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT dan Allah punmemberikan aturan-Nya terkait hal tersebut.
Islam menempatkan naluri seksual secara indah, menyelaraskan dengan tujuan penciptaan manusia. Menerapkan aturan-aturan, tidak membebaskan dan bukan pula dengan mengebirinya. Islam memerintahkan menundukkan pandangan, menutup aurat, melarang khalwat dan ikhtilat, juga mengharamkan zina dan liwath dengan sanksi yang sangat tegas.
Maka cara Islam ini bukan hanya menjaga generasi dari bahaya serta kehinaan dunia dan akhirat. Namun juga meniscayakan hadirnya sebuah generasi peradaban mulia. Wallahu’alam bishowab.*