Oleh:
Salim A Fillah
Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun. Mungkin lebih mudah menulis kenangan seandainya aku hanya mengenalmu dari jauh, atau bertemu beberapa kali, atau akrab di waktu singkat. Tapi apa yang harus kutulis untuk 21 tahun kebersamaan yang tak ada satupun keburukan kutemukan pada dirimu, Mas?
Sesungguhnya kami tidak mensucikan seorangpun di sisi Allah. Kekuranganmu, kesalahanmu, tentu ada. Menyempurnakan dirimu sebagai manusia bersama berbagai kelebihanmu. Tapi keburukan? Tidak. Tidak ada, Mas. Adapun kebaikanmu, takkan cukup dikisahkan oleh berjilid-jilid buku.
Di tahun 2000 itu aku yang kelas 2 SMA jatuh cinta pada Jogokariyan. Ketika akhirnya bergabung dengan kegiatan Remaja Masjid yang kaupelopori, kau memintaku menulis untuk media dakwah cetaknya. Saat harus semakin intens melibatkanku dalam kegiatan dakwah, kau datang ke rumah. Kepada Bapak dan Ibuku kaukatakan, "Saya nyuwun ikhlasnya Bapak-Ibu, Dik Salim mau saya ajak berjuang."
Sejak itu, kau menjadi kakak dan guruku yang aku sebagai adik dan murid tersaruk-saruk melihat betapa gigih dan giatnya kaukerahkan segenap dirimu untuk dakwah. Sekali keluar rumah, bisa empat-lima urusan kauselesaikan sekaligus. Sekali bergerak, bisa empat-lima potensi ummat kausinergikan. Sekali bermusyawarah, bisa empat-lima persoalan kaurumuskan solusinya.
Suatu hari kaubertanya, "Dik, kalau saya ubah usaha cetak undangan saya menjadi penerbitan, Njenengan mau nggak jadi penulisnya?" Dan Pro-U Cetak-cetak yang punya motto kelakar 'Sedia Undangan dan Orangnya' itu berubah menjadi Penerbit Pro-U Media. Ditakut-takuti seorang tokoh perbukuan senior bahwa banyak penerbit Islam 'dibunuh' oleh para agennya sendiri dengan tunggakan pembayaran tak menyurutkan langkahmu untuk menerbitkan tulisan amburadulku. Sempat hendak kaugadaikan motor Astrea Prima tua itu untuk biaya cetak, yang dengan motor itu juga kaubonceng aku untuk bersama menempel poster publikasi launching buku dari Masjid ke Masjid di Jogja. Masjid Gede Kauman, tempat di mana buku pertama Pro-U Media tulisanku diluncurkan dan dihadiri 2000-an orang itu, beberapa bulan kemudian menjadi tempat pernikahanmu dengan Mbak Dini.
Semakin aku kenal dengan keluargamu, dan Ayahmu, HM. Syabani yang juga mengantar dan mewakili keluargaku saat melamar Indah istriku menyebutku, "Mas Salim ini Ragil (anak bungsu) saya yang nomer dua." Ya karena engkaulah putra beliau keempat dari 4 bersaudara. Bapak, yang sejak serangan jantung beberapa tahun lalu selalu kautuntun pergi-pulang ke Masjid, kausiapkan dan pakaikan sandalnya; begitu tabah dan tegar kautinggalkan. Senyum beliaulah penguat kami hari ini. Dia pasti sangat bangga pada putra bungsu sejatinya, Muhammad Fanni Rahman, yang merentang 'amalnya dari Jogokariyan, Yogyakarta, Merapi-Merbabu, Indonesia beserta pelosok-pelosoknya, hingga Rohingya, Uyghur, Yaman, Syam, dan Palestina.
Mas, betul, kan? Kalau sudah cerita tentang dirimu, susah sekali berhenti. Memang musykil. Kalau cerita tentang kebaikanmu kepadaku, dan aku memang merasa akulah orang yang terbanyak mendapat kebaikan darimu, kata-kata takkan cukup menggambarkannya. Bahkan selalu kauprioritaskan untukku aneka hal melampaui apa yang kaunikmati untuk dirimu sendiri. Tapi aku setengah yakin, hampir semua orang yang mengenal dekatmu akan merasa begitu. Merasa bahwa merekalah yang mendapatkan kebaikan terbanyak darimu. Dari para Asatidz yang selalu kaubantu, para mantan preman kota maupun gunung yang tadi tergugu-gugu menangisimu, hingga para dhu'afa yang kau selalu ada untuk mereka.
Menceritakan kiprahmu dalam dakwah akan lebih musykil lagi. Sebab inilah perkara yang paling merisaukan kami.
Kenapa?
Pertama; karena selama ini engkau paling suka mengambil segala peran di belakang layar; dari harta hingga jiwa. Gagasan dahsyat, perencanaan matang, lobi mumpuni, pengerjaan yang cekatan, pendanaan yang deras, hingga semangat kuatmu mempertautkan dan menyatukan aneka anasir ummat. Lalu nama-nama orang banyak kaupinjam untuk ditampilkan. Yaa Rabb. Betapa aku sering harus malu, sebab namaku pula kadang kausebut-sebut untuk apa yang kaulakukan.
Kedua; karena terlalu banyak yang kaulakukan, yang tampakpun kami sudah akan muntah-muntah untuk bisa melanjutkannya, meski dibagi-bagi ke beberapa orang. Apalagi yang tidak kautampakkan. Yaa Rabb. Ungkapan 'Umar untuk Abu Bakr Radhiyallahu 'Anhumaa rasanya mewakili, "Engkau telah menyulitkan orang yang akan menggantikanmu."
Ya Allah... Mas. Mungkin sebenarnya sakit dan tumpukan kelelahan sudah lama ada, tapi tak pernah kau pikir dan rasa. Hanya di sela perjalanan, kadang kami lihat wajah lelahmu terlelapkan. Rahimakallaah. Selesai sudah semua sakit yang menggugurkan dosamu. Selesai sudah semua perjuangan yang selalu kaunomorsatukan di atas semua hal pribadi. Rahimakallaah.
Dan di sini kami menangis dan termangu. Diri sangat ragu, tapi semoga Allah menguatkan kami untuk meneruskan semua perjuanganmu. Allaahummaa laa tahrimnaa ajrahu wa laa taftinnaa ba'dahu waghfirlanaa wa lahu.*