Oleh:
Puji Ariyanti || Pegiat Literasi untuk Peradaban
KEMERDEKAAN RI kembali menjelang. 76 tahun Indonesia merdeka. Kali ini diperingati dengan penuh rasa haru biru, karena pandemi belumlah berlalu. Dan masih menjadi persoalan rumit bagi pemerintah pusat maupun daerah. Masyarakat pun masih dibatasi dengan kebijakan PPKM yang berjilid-jilid. Membatasi saat bepergian jika tak mau berurusan dengan petugas.
Namun begitu, rasa cinta terhadap negerinya tetaplah sama. Seolah rasa Nasionalisme tetaplah terpatri kuat. Sehingga rakyat harus memberi untuk bangsa ini. Kata mutiara ini begitu indah dan melenakan. "Jangan tanyakan apa yang sudah negara berikan untukmu, tetapi tanyakanlah sumbangsih apa yang telah kamu berikan pada negara". Ini sebuah diksi sesat menyesatkan.
Nasionalisme adalah virus yang kerap dihantamkan pada masyarakat yang seolah nyinyir atas setiap kebijakan pemerintah. Seolah kritik masyarakat untuk pemerintah adalah nyinyir abadi. Sehingga selalu muncul pertanyaan: Apa yang telah kamu kerjakan buat bangsamu ini? Jadi tidak layak rakyat melontarkan kritik terhadap pemerintah.
Sejak kapan warga negara tak boleh mengkritik pemerintah? Benarkah warga negara yang pandai mengkritik pemerintah pasti minus distribusi? Sehingga pantas dilabeli tak memiliki akal sehat.
Jika pernyataannya demikian, pantaslah disebut membungkam rakyat yang protes dalam meminta tanggung jawab pemerintah. Bukankah telah menjadi tugas negara, sebagai penyelenggara pemerintahan untuk memenuhi semua kebutuhan rakyatnya?Sebagai institusi penyelenggara keadilan dan kesejahteraan sudah selayaknya rakyat meminta haknya dipenuhi.
Sejak Indonesia dinyatakan merdeka telah dirumuskan asas di republik ini. Secara sistemik negara atau pemerintah memiliki amanah untuk menciptakan kehidupan rakyat nan adil dan sejahtera. Jadi bukan tugas rakyat sipil. Rakyat hanya diminta menjalankan kewajiban, taat membayar pajak.
Hingga kini pun tetaplah dilakukan, walaupun pajak menjadi hal yang memberatkan bagi rakyat. Karena wajib pajak adalah semua lapisan masyarakat miskin ataupun kaya. Dengan demikian bukankan rakyat sudah memberikan kontribusi? Harus dengan apalagi rakyat memberi?Bukankah sudah menjadi tugas negara dalam menjaga, mengayomi bahkan mensejahterakan rakyatnya?
Sejatinya akar persoalan yang patut dicermati. Kemiskinanlah yang membuat rakyat acap kali melakukan serangkain protes. Drama ketidakadilan sering dipertontonkan berulang. Penegak hukum yang seharusnya menghukum siapa saja yang bersalah, namun tak dilakukan. Sehingga hukum terkesan tumpul keatas runcing ke bawah. Jurang pemisah antara si miskin dan si kaya, si kuat dan si lemah adalah bukti nyata bahwa kemakmuran dan keadilan pada masyarakat tidaklah sama.
Layak jika rakyat tidak sejahtera, karena sistem yang menaungi bangsa ini adalah sistem demokrasi, sebuah sistem yang menghamba pada kebebasan kejeniusan berfikir manusia. Sehingga melahirkan aturan sekularisme. Allah tak layak mengatur kehidupan manusia di ruang publik. Buah fikir inilah yang dilegalkan oleh undang-undang. Menjadi aturan yang setiap saat dapat berubah sesuai dengan kebutuhan penguasa.
Padahal di era kejayaan kekhilafaan kritik adalah hal yang lumrah dilakukan masyarakatnya. Bahkkan Khalifah Umar bin Khattab ra adalah seorang pemimpin yang bisa dijadikan contoh atas kepemimpinannya, karena beliau suka dikritik. Konstruksi berfikir memang sudah dilakukan pada masa ini, karena Islam sendiri adalah agama yang saling menasehati.
Allah SWT berfirman yang artinya:
Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran. (QS, Al-'Asr Ayat 2-3).
Jadi tak layak jika mempertanyakan kontribusi rakyat pada negara. Negaralah yang wajib memberi, melayani dengan sepenuh hati pada rakyatnya. Bukan menghitung untung atau rugi. Karena, Allah SWT telah menganugerahkan negeri ini SDA yang melimpah ruah yang harus dikelola sendiri oleh negara dan hasilnya diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat. Wallahu'alam bish shawab.*