Oleh: Siti Saodah, S. Kom
Cabai menjadi sayuran yang sering dicari masyarakat untuk melengkapi masakannya. Rasanya yang pedas membuat selera makan naik saat menikmatinya. Cabai ini dihasilkan dari para petani lokal yang telaten dan sabar mengurus cabai hingga panen kemudian dapat dipasarkan. Namun kesedihan meliputi para petani lokal dengan anjloknya harga cabai di pasaran.
Anjloknya Harga Cabai di Petani Lokal
Anjloknya harga cabai menimpa petani dari Sleman dan Brebes. Menurut Ketua Forum Petani Kalasan yaitu Janu Riyanto mengeluhkan harga cabai yang merosot hingga 50 persen dari petani lokal. Beliau mengatakan bahwa harga cabai normal sekitar 11.000 per kilogram, namun kini hanya dihargai 5.000 per kilogram (yogya.ayoindonesia.com). Rendahnya harga cabai memicu petani cabai membagi-bagikan hasil panen kepada masyarakat sekitar. Aksi ini wujud kekecewaan mereka terhadap rendahnya harga cabai.
Rendahnya harga cabai dipasaran dipicu oleh meningkatnya impor cabai selama masa pandemi. Fakta ini diutarakan oleh Anggota Komisi IV DPR RI bapak Slamet, beliau mengatakan bahwa impor cabai di semester I 2021 sebesar 27, 851 ton. Angka ini naik 50 persen dibandingkan tahun sebelumnya (m.rctiplus.com). Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak berpihak kepada petani lokal.
Tersakiti Hati Petani Lokal dengan Kebijakan Impor Cabai
Petani lokal merasa tersakiti hatinya dengan kebijakan impor cabai. Mereka ramai-ramai melampiaskan kekecewaannya melalui aksi membagi-bagikan cabai ke masyarakat hingga aksi merusak tanaman cabai sendiri yang kemudian viral di media sosial. Aksi semacam ini tidak akan muncul jika pemerintah mengutamakan nasib petani lokal. Ditambah masa pandemi menjadi pukulan berat petani lokal untuk memasarkan hasil panennya, dikarenakan daya beli masyarakat menurun.
Kebijakan impor cabai rupanya bukan tanpa alasan, seperti biasa pemerintah berdalih melakukan impor cabai untuk menstabilkan harga cabai di pasaran. Padahal fakta di lapangan, petani lokal panen cabai sangat surplus dan cukup untuk kebutuhan masyarakat negeri ini. Negeri yang kaya raya akan sumber daya alam, sayur mayur, buah-buahan, rempah-rempah dan lainnya semua tersedia di alam yang hijau dengan persediaan berlimpah ruah. Hasil panen yang berlimpah ruah ini sudah cukup memenuhi kebutuhan masyarakat dan pemerintah tak perlu melakukan impor hasil pertanian lagi.
Negara Kita Ketergantungan Impor
Impor hasil pertanian bukan hal baru lagi, pasalnya pemerintah sudah sering melakukan impor salah satu contohnya adalah garam. Impor menjadi senjata andalan demi menstabilkan harga bahan pangan di lapangan. Walaupun di tengah masa pandemi, pemerintah terus menggenjot impor bahan pangan demi mencukupi kebutuhan masyarakat. Akibatnya negeri kita menjadi ketergantungan impor sehingga tak mampu melindungi para petani lokal, industri lokal dan lainnya.
Impor barang kebutuhan baik bahan pangan ataupun lainnya sudah menjadi kebutuhan bagi negara ini. Sebab impor ini didukung oleh kebijakan pemerintah yang mementingkan asing. Mereka (asing) adalah aset bagi rezim kapitalis untuk berkuasa. Oleh sebab itu asing diberikan karpet merah untuk melakukan kerjasama bisnis impor barang-barang. Kerjasama impor barang ini menjadikan negara tak mampu mandiri.
Kebijakan Impor dalam Negara Islam
Impor barang kebutuhan pangan dipandang dalam Islam adalah sesuatu yang boleh. Namun disini harus dilihat urgensitasnya, apakah memang negara dalam kondisi kritis masalah pangan ataukah mencukupi hanya mengandalkan hasil petani lokal? Hal ini yang akan menjadi landasan negara Islam dalam mengambil keputusan impor. Dalam mengambil kebijakan impor, negara Islam akan mementingkan nasib dari petani lokal ataupun industri lokal.
Impor barang kebutuhan pangan bukan hal yang baru, hal ini pernah dilakukan di masa kepemimpinan Umar Bin Khatab ra. Ia melakukan kebijakan impor disebabkan negara Islam tak mampu menghasilkan sendiri barang tersebut. Seperti Gandum yang diimpor dari luar daulah Islam, bahkan pedangang kafir harbi yang pertama kali masuk ke wilayah kepemimpinan Islam adalah dari Ming. Umar bin Khatab juga menerapkan usyur yaitu bea cukai perdangangan antar negara, bagi siapa saja yang ingin berdagang di wilayah daulah islam.
Kebijakan impor yang dilakukan Umar Bin Khatab dapat terlaksana sebab sistem Islam yang diterapkan secara menyeluruh dalam kehidupan. Kebijakan ekonomi Umar Bin Khatab sangat berpihak kepada warga negara Islam. Terbukti dengan penerapan usyur yang berbeda-beda bagi para pedagang luar negeri. Seperti pedagang asing yang berada di luar wilayah teritorial Islam dikenakan usyur 10%, kafir dzimmi yang hidup di wilayah daulah Islam dikenakan 5%, dan masyarakat muslim dikenakan 2,5% dari harga barang dagangan. Pajak ini dipungut jika barang dagangan telah melebihi 200 dirham.
Kebijakan ekonomi Islam yang pernah dilakukan oleh para khalifah pendahulunya didukung penuh oleh sistem pemerintahan islam. Pemerintahan Islam yang berkeadilan yang dipimpin oleh pemimpin yang adil dan amanah yang menghasilkan kebijakan-kebijakan yang mampu mendukung kesejahteraan para petani lokal, industri lokal dan lainnya. Waalahualam bisshowab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google